Detiknews.tv – Palembang | Tak terasa Bulan Juli 2021 ini, sudah dua tahun pria putra daerah ini menakhodai TVRI Sumatera Selatan. Sebagaimana janjinya diawal tugas yang juga dimuat di media lokal Sumsel, bahwa dirinya punya cara sendiri untuk menaikkan audience share. Kini janji itu terbayar sudah.
Dalam survey Nielsen, TVRI Sumatera Selatan selalu masuk tiga besar dari 10 stasiun tvri yang menjadi objek survey Nielsen di 10 kota di Indonesia. Bagi Sukirman, alumnus Fisip Universitas Sriwijaya ini, tak begitu sulit menaikan audience share tvri Sumatera Selatan.
Berbekal pengalamannya empat kali menjadi kepala tvri stasiun daerah dan memiliki pengetahuan yang ia peroleh melalui berbagai training bertaraf internasional, program tvri sumatera selatan dibenahi dan ternyata sesuai dengan adagium “proses tidak pernah membohongi hasil”.
TVRI Sumsel bangkit dan mendapat tempat di hati pemirsa. Salah satu program unggulannya yang selalu dinanti pemirsa adalah Dendang Keliling. Sayang Pandemi Covid-19, membuat produksi Dendang Keliling tidak maksimal. Masih banyak program lain yang juga cukup memberikan warna bagi tvri sumsel, sebut saja Dakwah Keliling, Ragam Palembang, Ayo Berdendang, Rentak Ulu Melayu, Belajar Tauhid, Kisah Teladan, Bukan Basa Basi, Suara Sriwijaya, Zona Tani, dan Cepat -Tepat “plus”. Kini pria yang pernah menjadi pewawancara dialog “Persepsi” TVRI Nasional tengah menggarap humor ala Palembang.
Meskipun perawakannya bukanlah tinggi besar, tetapi cara berpikirnya cukup brilian. Debutnya membenahi tvri Sumsel cukup terbukti. Selain inovasi program yang dilakukan tanpa henti, kualitas produksi dan content serta kemasan juga menjadi fokus perhatiannya. Program “Kampungku”, cukup menarik untuk menjadi perhatian. Sukirman selalu mengatakan, membuat program tidak boleh “sekali berarti setelah itu mati”, tetapi harus berkesinambungan meskipun tidak juga tabu untuk dihentikan. Dengan konsep “gagasan-narasi-aksi” program-program baru itu betul-betul memperhatikan situasi sumatera selatan, termasuk kondisi teknis tvri sumsel. Oleh sebab itu Ketika Acara Cepat-Tepat diproduksi kembali, Penulis Novel Elegi Sang Penerobos ini tidak mau asal tayang atau asal produksi, harus ada kemasan pembeda dari sebelumnya, yaitu hadirnya musik serta para peserta wajib menampilkan talenta baik di bidang iptek maupun hiburan. Gebrakannya membuahkan hasil, Cepat-Tepat memiliki rating yang sangat bagus. “Harus dipikir betul, apa tujuan program, nama program juga tidak boleh asal indah dan itu dituangkan dalam desain produksi”, tegas Sukirman, yang pernah menjadi Manager Berita TVRI nasional ini.
Diawal bertugas di TVRI Sumsel, untuk menumbuhkan minat kaum milenial mencintai tvri, pria yang pernah Diklat AIBD training on TOT ini juga membuat gebrakan dengan menampilkan anak SMA/SMK menjadi penyiar berita TVRI Sumsel selama satu bulan penuh. “jika kita teriak-teriak tontonlah tvri dan pasang sepanduk akan kurang efektif, lebih baik mereka merasakan nuansa tvri sehingga ada ikatan emosional yang ia kenang seumur hidup”, sambungnya memberikan alasan. Tak heran gagasannya untuk menghadirkan acara budaya namun tetap melibatkan anak-anak milenial merupakan suatu terobosan.
Melalui program Rentak Ulu Melayu, diharapkan budaya melayu yang menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Sumsel tetap diminati generasi milenial.
Konsep berpikir “out of the box” inilah yang membuat TVRI Sumsel kembali mendapat tempat di hati pemrisa. Sukirman membolak-balikkan format yang selama ini seolah jadi fatsun sebuah program. Kini ia balik, seperti TVRI mendatangi perkampungan penduduk untuk menghibur, dan itulah Dendang Keliling.
“Masyarakat diberi ruang untuk bernyanyi dan masuk tv”, ujarnya sambal tersenyum. Hampir sama dengan konsep Dakwah Keliling. Melalui Dakwah Keliling ada deversifikasi audience dan nara sumber. “karena para pendakwah yang mungkin tidak pernah masuk tv itu, juga berkualitas”, lanjutnya. Konsep ini sekaligus menunjukkan bahwa tvri hadir di tengah masyarakat.
Tak hanya layar yang memang “core-business” televisi, Gedung kantor tvri sumsel juga dibenahi. Taman yang dulu kurang tertata kini “disulap” menjadi sebuah “oase” di kantor tvri. Taman yang multifungsi ini juga selain sebagai “studio alam” tvri Sumsel, juga menjadi ajang olah raga dan rileks karyawan tvri. “tempat bersantai itu juga penting apalagi kita orang Palembang ini rata-rata bertempramen tinggi”, tegas Sukirman.
Boleh jadi pengalamannya bertugas ke sejumlah negara, menjadikan pria yang pernah belajar jurnalistik lingkungan di Bangkok ini terinspirasi dari negara-negara yang pernah dikunjungi. Dengan taman ini setidaknya memberikan nuansa sejuk dan tenang sehingga tumbuh pikiran positif yang bermuara pada kreativitas. Ia menuturkan waktu kuliah kita belajar Ilmu Budaya Dasar, intinya hanya satu adalah “sentuhan cinta”, yang merupakan lawan dari “benci”.
Rasa cinta itu harus juga diterjemahkan dalam tata ruang gedung dan perkantoran.”Jika kita ke luar negeri, setiap gedung termasuk mall ada suatu icon tempat orang bersantai. Manusia itu harus dikelola secara utuh dan tidak selesai oleh kata-kata manis”, lanjut pria yang pernah menjadi pewawancara dialog “Sarapan” di tvri nasional ini.
Suami dari Dokter Gigi Surnetty Aqwari dan ayah lima orang anak ini memiliki sederet pengalaman.
Sebelum menjadi reporter yang memungkinkannya melakukan liputan di dalam dan luar negeri, dia pernah menjadi asisten Mr. Hajime Niwa, expert NHK untuk tvri selama dua tahun (1993-1994). “Pada awal bekerja di TVRI di Jakarta, saya di tempatkan sebagai staf Jica (Japan International Cooperation Agency) expert. Jadi di ruangan saya itu ada 4 orang Jepang dan dua orang Indonesia, komunikasi kita dalam Bahasa Inggeris,” cerita Sukirman yang juga alumni Shailendra Institution Palembang ini. Mr. Niwa ketika itu adalah expert untuk tvri di bidang produksi program.
Dua tahun membantu Jica Expert, barulah kemudian dimutasi ke bagian pemberitaan. Di sinilah petualangan sebagai jurnalis televisi dimulai. Berbekal pengalaman menulis artikel di koran dan ketika masih mahasiswa aktif dalam diskusi dan kajian, tidak sulit bagi dirinya untuk meniti karier di dunia jurnalistik.
“Yang jelas cita-cita saya sebagai PNS namun tak begitu terikat dengan gaya PNS terpenuhi,”
sambung Sukirman yang pernah menjadi PNS di BKKBN Provinsi Sumsel ini. Menurut penilaiannya kegiatan jurnalistik memang sangat linier dengan kegiatan aktivis kampus. Mahasiswa aktivis sudah terbiasa dengan nalar yang kritis dan cerdas. Mereka memiliki wawasan yang lebih luas dari mahasiwa pada umumnya. Inilah beda mahasiwa biasa dengan aktivis. Meskipun bukan kolumnis terkemuka, puluhan artikel sudah diterbitkan melalui koran seperti Sriwijaya post, Media Indonesia Republika dan Harian Jayakarta.
Perjalanan karier sebagai jurnalistik tentu penuh suka dan duka. “Sukanya banyak sekali”, tegas Sukirman sambil tersenyum. Satu tahun sebagai reporter sudah keliling Indonesia. “Alhamdulillah, selain keliling Indonesia, saya juga sudah mengunjungi lebih dari 40 negara, ada diantara negara-negara itu yang berkali-kali”, tegasnya. Memang betul dari bio data yang kami peroleh Alumnus SMA Ngeri 1 Baturaja Sumsel ini misalnya pernah meliput ke Amerika Serikat sebanyak tiga kali, dua kalinya meliput kunjungan Presiden SBY, dan meliput peringatan satu tahun runtuhnya menara kembar WTC di New York. Ia selama delapan tahun menjadi reporter yang bertugas di istana kepresidenan ini.
Riwayat hidupnya menyiratkan betapa luas petualangan lulusan Magister Sains, Universitas Sjakhyakirti ini dalam meliput berita. Sebut saja meliput KTT G-20 di Washington, Sidang Umum PBB di New York, KTT Apec di Peru, Sidang PBB di Jenewa Swiss, serta kunjungan Presiden RI ke sejumlah kota di Amerika serikat, Australia, Mexico, Brasilia, Jepang, Mongolia, Vietnam dan Bangladesh merupakan gambaran betapa luas pengalaman Sukirman berkat pekerjaannya sebagai pegawai TVRI.
Tsunami di Aceh tahun 2004, Konflik di Timor Timur menjelang jajak pendapat tahun 1999, serta konflik di Kalimantan tahun 2001, termasuk reformasi 1998, adalah betul-betul pengalaman yang sangat berharga, bukan saja berharga untuk penajaman profesi tetapi juga ada nuansa lain yang sulit diceritakan.
Antara suka dan duka memang berjalan beriringan dan sukanya tentu lebih banyak, “ketika itu Tahun 1997, saya pernah naik pesawat carter yang isinya hanya enam orang dari Dubai, Uni Emirat Arab menuju Damaskus, Syiria. Kami kemudian kembali lagi ke Jeddah, Arab Saudi”, kenang Sukirman. Ketika itu saya meliput kunjungan Menteri Agama Tarmizi Taher ke Damaskus. Dari Jakarta Mex ke Dubai dengan pesawat komersil.
Di Mekah Menag Tarmizi Taher menyambut Presiden Soeharto dan keluarga menunaikan ibadah umroh. Ketika pulang saya dan kemerawan berpisah rombongan dengan pak Tarmizi Taher. Kami dititipkan ke pesawat Garuda menuju Jakarta, Ketika itu pesawat yang berkapasitas sekitar 400 orang itu hanya bermuatan tidak lebih dari 17 orang. Tuhan Kembali mempertemukan saya dengan pak Tarmizi Taher, “pada tahun 1999, sepulang dari peliputan di Timor Timur saya ditugaskan untuk meliput konferensi lingkungan di Trondheim Norwegia, satu jam penerbangan dari Ibukota Norway, Oslo dan ternyata Dubes-nya pak Tarmizi Taher”, lanjut Sukirman.
Sukirman Kembali mencontohkan ketika itu ia mendapat tugas belajar selama tiga bulan di Jerma, tepatnya di stasiun TV Deutsche Welle di Berlin. Dalam training itu peserta diajak keliling Jerman selama 10 hari dengan mengendarai bus. “kami peserta dari 8 negara Asia dan Afrika itu diajak mengunjung pabrik pesawat Air Bus di Hamburg, pabrik mobil Volkswagen di Kota Wolfsburg. “apa yang saya lihat itu luar biasa, bagi saya dari sisi intelektual itu semua diluar batas berpikir saya, saya takjub dengan kemajuan orang”, lanjutnya penuh ekspresi. Ia menceritakan ini adalah cara Jerman menunjukkan kemajuan mereka, teknologi, bagaimana mereka mengelola lingkungan, mengelola tata ruang. Semuanya tampak indah dan humanis.
Sekilas penampilan pria yang bertubuh sedang ini terkesan sombong, namun kesan itu akan gugur dengan sendirinya ketika kita sudah kenal lebih jauh.
Selera humornya yang cukup tinggi. Sering, tanpa kita sadari akan membuat kita tertawa. Itulah gaya kesehariannya dalam melakukan tugas-tugas rutin sebagai Kepala TVRI Sumatera Selatan. “jadi pejabat itu tidak boleh bossy, dan tidak boleh berpenyakit SMS, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang” tambah pria yang pernah belajar jurnalistik televisi selama tiga bulan di Deutsche Welle, Berlin, Jerman ini.
Dalam sebuah profil media cetak lokal sumatera selatan, pernah dimuat tentang dirinya dengan judul “jangan kampungan”. Detiknews.tv mengulangi filosofi ini. Dengan gamblang pria yang pernah memimpin semua bulletin berita di TVRI Nasonal ini bercerita bahwa dirinya bangga menjadi orang yang lahir di desa, tetapi cara pikir kita tidak boleh kampungan. Itu satire saya.
Saya ingin mengajak semua orang untuk tidak menjadi kampungan dalam konteks kita tidak boleh selalu negative thinking . “ya bangga, harus bangga sebagai orang kampung” ujarnya lebih lanjut. Sebagai orang desa kita tau filosofi hidup orang desa yang arif dan bijak dalam menyelesaikan persoalan. Mereka bukanlah orang yang pernah “mondok” belajar agama, tetapi kearifan dan kebijakan mereka sangat erat dengan agama. Ini belum tentu diperoleh oleh orang yang hidup di perkotaan.
Sementara kita juga mencari nafkah di kota, berarti dua-duanya kita dapat. Hidup bukan ditentukan oleh kita orang desa atau orang kota, tetapi sejauh mana kita cerdas dalam memaknai hidup. Ingat, hampir semua tokoh terkenal justru datang dari desa termasuk para tokoh pendiri republik ini, tegasnya. Wawasan dan pola pikir yang luas salah satu faktor yang berpengaruh pada jalan hidup seseorang termasuk dalam menentukan pilihan hidup.
Untuk apa mengklaim orang kota tetapi wawasan, pikiran, prilaku kita justru lebih desa dari pada orang desa. “Ini yang masalah”, tegasnya.
Sukirman menekankan masalah ini, karena menurutnya banyak orang merasa orang kota, orang modern hanya karena sudah bisa berbahasa inggeris sepatah atau dua patah kata, sudah tau rasa pizza dan meninggalkan kuliner lokal. “bukan itu ciri orang modern dan cerdas, bukan , bukan seperti itu”, tegasnya.
Bukankah Korea menjadi modern dan negara maju, padahal mereka sangat membanggakan Kimchi yaitu sejenis asinan sayur yang difermentasi..?, tegas Sukirman yang pernah mewakili TVRI dalam promo film kartun dan animasi di Seoul Korea Selatan dengan nada yang sedikit meninggi.
Belajar dari korea tidak perlu meninggalkan tempoyak dan makanan tradisional lainnya hanya untuk dikatakan modern dan agar diklaim sebagai orang kota. Jika ini yang terjadi, makanya jangan heran jika kita akan menjadi generasi yang kehilangan jati diri. “Menurut saya rasa kebangsaan itu harus dimulai dari hal-hal kecil seperti ini, sehingga generasi muda punya prinsip hidup yang jelas, bukan asal manut asal meniru budaya barat yang belum tentu cocok untuk sebuah bangsa bernama Indonesia”,
lanjut Sukirman yang pernah mewakili tvri dalam Asean-China Media meeting di Nanning, China ini. Sukirman kembali mengatakan bagaimana orang Jerman sangat mencintai mobil VW mereka, sebagai bentuk dari idealisme kebangsaan.
“Hidup juga harus memiliki idealisme, karena dengan idealisme itu juga kita hidup. Idealisme juga jangan hanya diartikan sedikit-sedikit tidak boleh, sedikit-sedikit haram, “Bukan, bukan seperti itu”,
lanjutnya.
Salah satu kelemahan masyarakat urban jika pulang kampung adalah “ngamboki” dalam Bahasa Palembangnya. Ini tidak sehat, apalagi kita sebagai PNS, itu sangat tidak mendidik, mengapa….?. Karena penghasilan PNS itu secara umum sangat terukur, walaupun tidak berarti sama. Jika prilaku ini kita biarkan, seakan materi jadi ukuran segalanya. Tak heran jika terjadi degradasi nilai, merantau ke kota identik dengan kesuksesan materi. Antitesis dari kampungan itu adalah minimal harus bangga dengan orang cerdas, bangga dengan orang sukses, bukan iri dan dengki. “Bukan SMS, susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah, inilah yang dimaksud dengan jangan kampungan itu”, tegas Sukirman yang pernah mengikuti training broadcasting tentang program music K-pop dan hiburan di Korea Selatan ini.
Ibarat sebuah pisau operasi, ngobrol dengan Sukirman yang sering menghadiri pertemuan Asia-Pacific Broadcasting Union dalam wadah Asia Vision ini bak pisau bedah yang mengoperasi pola pikir kita yang selama ini terbelenggu. Bisa jadi selama ini kita merasa benar tetapi pada kenyataannya kita keliru.
Terhadap koleganya sesama pegawai, filosofi-filosofi hidup ini sering terucap dalam berbagai rapat dan pertemuan. Berangkat dari filosofi inilah menurutnya dia mengajak kolega pegawai professional dalam pekerjaan. “tidak ada manusia yang dilahirkan bodoh”, ujarnya. “Yang ada hanyalah kemalasan kita untuk belajar”, lanjutnya.
Sukirman yang pernah menjadi Koordinator Pertukaran Berita Ineternasional ini mencontohkan jika di stasiun tvri lain bisa berbuat sesuatu mengapa kita tidak bisa. Hal-hal seperti ini kerap terjadi dengan dalih bermacam-macam, padahal intinya hanya satu, karena tidak tau. Tidak tau karena tidak mau belajar, malu bertanya ke sesama kolega.
Sehingga kita menelan “kebodohan” itu hingga pensiun. Orang seperti ini boleh jadi sudah bekerja lebih dari 30 tahun dan bercerita bahwa berpengalaman selama 30 tahun, padahal sejatinya orang seperti ini tidak tahu apa-apa. Tak lebih dari orang yang pasif dan tidak mengerti mau berbuat apa.
Membaca biodata Sukirman sebanyak 9 halaman yang diterima Detiknews tv, membuat kiat tertegun. Sebagai broadcaster Sukirman memiliki pengalaman dari meliput tukang becak hingga satu pesawat dengan Presiden dalam kunjungan ke luar negeri. Tak sebatas itu pengalamanannya yang merangkak dari bawah mulai dari reporter, redaktur, produser, pewawancara hingga menjadi pejabat struktural di lingkungan tvri seperti menjadi Manager Berita TVRI Nasional (TVRI Pusat) serta Kepala TVRI di Gorontalo, Bengkulu, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, membuat kapasitasnya tak diragukan lagi. Dari sisi intelektual, puluhan training mulai yang berskala internasional seperti di Korea, Jerman, Prancis, Thailand dan Jakarta serta skala nasional termasuk in house training menunjukkan bahwa ia menikmati profesi ini. Itu-pun belum cukup, puluhan artikelnya di berbagai media massa termasuk sebuah novel karyanya dan sederet pengalamannya mewakili tvri dalam pertemuan di luar negeri, semakin membuat decak kagum kita pada pria low profile ini. “Ya, selain sebagai produser dan EIC (editor in Chief) saya juga adalah pegawai yang juga bertugas mengurusi pertukaran berita internasional yang tergabung dalam Asia vision.
Asia vision itu adalah organisasi dibawah ABU/Asia-Pasific Union”, jelas Sukirman. Kiprahnya ini adalah bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa Kepsta TVRI Sumsel ini memang mumpuni di bidangnya.
Ketika masih aktif di redaksi pemberitaan tvri nasional yang ia lakoni sekitar 15 tahun, Sukirman yang pernah mengikuti Reuters training on tv news production ini juga memiliki program khas yaitu “Sorotan”. Program semacam kritik dan editorial tvri yang tayang setiap minggu di TVRI Nasional merupakan karya nyatanya sejak Tahun 2001-an selama 8 tahun. Ketajaman dan kata-kata satir-nya dalam menulis naskah, membuat program sorotan itu cukup dikenal oleh pemirsa.
Selamat Berkarya untuk kampung halaman Sukirman.(Red)