Transformasi Paradigma Pengelolaan Unjuk Rasa: Harmonisasi Standar HAM Internasional dan Konteks Hukum Nasional dalam Praktik Kepolisian Republik Indonesia

Loading

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH

Advokat/ pengacara

Dalam lanskap demokrasi modern, unjuk rasa merupakan manifestasi fundamental dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang dijamin oleh konstitusi dan instrumen hukum internasional. Namun, kebebasan ini bukanlah tanpa batas. Negara memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban umum, melindungi hak-hak warga negara lainnya, dan mencegah terjadinya kekerasan atau anarki.

Di sinilah peran kepolisian menjadi krusial. Polisi bertugas untuk memfasilitasi unjuk rasa agar berjalan aman, tertib, dan damai, sambil tetap menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepentingan umum. Namun, praktik penanganan unjuk rasa oleh kepolisian seringkali menjadi sorotan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Refleksi atas Praktik Masa Lalu

Selama ini, pendekatan yang digunakan oleh kepolisian dalam menangani unjuk rasa cenderung represif dan reaktif. Penggunaan kekuatan berlebihan, penangkapan sewenang-wenang, dan pembatasan akses terhadap informasi menjadi keluhan yang sering dilontarkan oleh para aktivis dan organisasi masyarakat sipil.

Pendekatan semacam ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga kontraproduktif. Alih-alih meredakan ketegangan, pendekatan represif justru dapat memicu eskalasi konflik dan memperburuk citra kepolisian di mata publik.

Urgensi Transformasi Paradigma

Oleh karena itu, transformasi paradigma dalam pengelolaan unjuk rasa menjadi sebuah keniscayaan. Polri harus meninggalkan pendekatan represif dan beralih ke pendekatan yang lebih humanis, partisipatif, dan berbasis pada hak asasi manusia.

Langkah yang diambil oleh Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo untuk memperbarui model pelayanan unjuk rasa dengan merujuk pada standar HAM internasional dan praktik terbaik di negara-negara maju merupakan langkah yang tepat dan patut diapresiasi.

Belajar dari “Code of Conduct” Inggris

Merujuk pada “Code of Conduct” pengendalian massa yang diterapkan di Inggris merupakan pilihan yang cerdas. Inggris memiliki pengalaman panjang dalam mengelola unjuk rasa dengan cara yang efektif, transparan, dan akuntabel. “Code of Conduct” tersebut memberikan panduan yang jelas bagi petugas kepolisian tentang bagaimana bertindak secara profesional, proporsional, dan bertanggung jawab dalam menghadapi berbagai situasi selama unjuk rasa.

Namun, mengadopsi “Code of Conduct” Inggris secara mentah-mentah bukanlah solusi yang tepat. Polri harus melakukan adaptasi dan modifikasi agar sesuai dengan konteks hukum, sosial, dan budaya Indonesia.

Harmonisasi Standar Internasional dan Hukum Nasional

Penyusunan model pelayanan unjuk rasa harus sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan unjuk rasa di Indonesia, sambil tetap memberikan batasan-batasan yang jelas untuk menjaga ketertiban umum.

Selain itu, model pelayanan unjuk rasa juga harus selaras dengan prinsip-prinsip HAM yang diakui secara universal, seperti kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan manusiawi.

Transparansi dan Akuntabilitas

Transparansi dan akuntabilitas merupakan kunci keberhasilan transformasi paradigma dalam pengelolaan unjuk rasa. Polri harus membuka diri terhadap pengawasan publik dan memberikan akses yang mudah terhadap informasi mengenai kebijakan dan praktik penanganan unjuk rasa.

Selain itu, Polri juga harus membentuk mekanisme pengaduan yang efektif untuk menangani keluhan dari masyarakat terkait dengan tindakan petugas kepolisian selama unjuk rasa. Setiap pengaduan harus diselidiki secara independen dan transparan, dan pelaku pelanggaran harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

Pendidikan dan Pelatihan

Transformasi paradigma dalam pengelolaan unjuk rasa tidak akan berhasil tanpa adanya pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi seluruh anggota Polri. Pendidikan dan pelatihan ini harus mencakup materi tentang HAM, teknik komunikasi yang efektif, pengendalian massa yang humanis, dan penggunaan kekuatan yang proporsional.

Selain itu, Polri juga harus membangun kemitraan yang erat dengan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi HAM untuk mendapatkan masukan dan dukungan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepolisian.

Kesimpulan

Transformasi paradigma dalam pengelolaan unjuk rasa merupakan langkah penting untuk membangun citra Polri yang lebih profesional, humanis, dan akuntabel. Dengan mengadopsi standar HAM internasional, mengharmonisasikannya dengan hukum nasional, dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, Polri dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepentingan umum.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Dilema Pembangunan Berkelanjutan di Daerah Penghasil Sumber Daya Alam: Studi Kasus Morowali dan Implikasi Kebijakan Fiskal yang Berkeadilan

Jum Nov 28 , 2025
Opini: Daeng Supri Yanto SH MH yang Isu eksploitasi sumber daya alam (SDA) di daerah, khususnya yang berkaitan dengan industri pertambangan, selalu menghadirkan paradoks. Di satu sisi, eksploitasi SDA diharapkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi daerah, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain, eksploitasi […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI