![]()

Opini Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Advokat
Di tengah suasana yang penuh signifikansi di Kompleks Kejaksaan Agung Jakarta pada Rabu (24/12/2025), muncul wacana yang menggabungkan dimensi keuangan, lingkungan, dan kedaulatan negara dalam satu panggung yang kuat. Sebelum konferensi pers Kegiatan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan Penyerahan Hasil Penyelamatan Keuangan Negara – yang akan dihadiri Presiden Prabowo Subianto – pihak Kejagung telah menampakkan total uang tunai hasil rampasan penguasaan kawasan hutan ilegal sebesar Rp6.625.294.190.469,74. Angka ini bukan sekadar jumlah yang mencengangkan secara kuantitatif, melainkan merupakan bukti konkrit dari upaya negara untuk menegakkan hukum terhadap penyalahgunaan sumber daya alam dan memulihkan aset publik yang telah dirampas oleh aktivitas ilegal. Bersamaan dengan itu, target penguasaan kembali 4 juta hektare kawasan hutan ilegal pada tahun ini – yang realisasinya telah mencapai 3,7 juta hektare per 8 Desember 2025 – menunjukkan komitmen yang mendalam untuk melindungi hutan sebagai aset tak ternilai bagi masa depan bangsa.
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa penampakan uang tunai sebesar lebih dari Rp6 triliun adalah wujud dari “penyelamatan keuangan negara” yang memiliki makna simbolis dan material yang sama pentingnya. Secara material, hasil rampasan ini akan diberikan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Kehutanan – sebuah langkah yang mengintegrasikan manfaat ekonomi dari penertiban dengan kebutuhan untuk melestarikan lingkungan. Secara simbolis, angka ini menandai bahwa penyalahgunaan hutan ilegal tidak lagi menjadi aktivitas yang bebas dari konsekuensi keuangan, dan negara memiliki kemampuan untuk melacak dan merebut hasil dari tindakan yang merusak kepentingan publik. Dalam konteks teori keuangan publik, ini adalah bentuk dari “pemulihan aset” yang bertujuan untuk mengembalikan nilai yang hilang akibat pelanggaran hukum, serta sebagai pemberi peringatan bagi pihak-pihak yang berniat melakukan aktivitas serupa di masa depan.
Selanjutnya, target penguasaan kembali 4 juta hektare kawasan hutan ilegal yang hampir tercapai – dengan hanya 0,3 juta hektare lagi yang perlu dikuasai dalam dua minggu terakhir tahun ini – adalah prestasi yang signifikan dalam konteks upaya melindungi hutan Indonesia. Ketua Tim Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak yang meyakini target dapat tercapai mencerminkan kepercayaan pada efektivitas Satgas PKH, yang telah bekerja secara terkoordinasi untuk mengidentifikasi dan merebut lahan yang diambil secara ilegal. Penguasaan kembali lahan ini tidak hanya tentang memulihkan wilayah yang hilang, tetapi juga tentang memulihkan fungsi ekologis hutan sebagai penyangga iklim, habitat satwa liar, dan sumber air bersih. Dalam konteks teori ekologi, ini adalah bentuk dari “restorasi ekosistem” yang memiliki dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan manusia dan kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya.
Tegasan bahwa 1,5 juta hektare lahan telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara dan 81.793 hektare di Taman Nasional Tesso Nilo kepada Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa proses penguasaan kembali tidak berhenti pada penyerahan lahan, tetapi juga meliputi pengelolaan yang berkelanjutan. Pembagian lahan ke berbagai instansi dan badan usaha harus dilihat sebagai upaya untuk menciptakan sistem pengelolaan yang terstruktur, di mana masing-masing pihak memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas. Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kebijakan pengelolaan tersebut akan diimplementasikan, terutama dalam hal memastikan bahwa lahan yang diserahkan tidak akan kembali menjadi sasaran aktivitas ilegal atau diolah dengan cara yang merusak lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk memiliki mekanisme pemantauan dan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa tujuan restorasi ekosistem tercapai.
Di sisi lain, perincian tentang klasifikasi lahan yang belum diserahkan – antara lain 356.233 hektare lahan sawit, 874.720 hektare taman nasional, 761.795 hektare hutan tanaman industri, dan 192.300 hektare kewajiban plasma – menunjukkan kompleksitas dari masalah hutan ilegal di Indonesia. Setiap klasifikasi lahan memiliki tantangan dan kebutuhan yang berbeda, dan proses verifikasi yang sedang berlangsung untuk sebagian lahan menunjukkan bahwa penertiban membutuhkan perhatian yang cermat dan penilaian yang mendalam. Misalnya, lahan sawit yang diambil secara ilegal seringkali terhubung dengan jaringan bisnis yang kompleks, sedangkan taman nasional membutuhkan perhatian khusus untuk memulihkan habitat satwa liar yang terganggu. Dalam konteks teori tata kelola sumber daya alam, ini adalah bentuk dari “pengelolaan berbasis konteks” yang mempertimbangkan karakteristik unik dari setiap kawasan.
Selain itu, identifikasi 198 titik tambang seluas 5.342,58 hektare yang tidak sesuai peraturan – tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara – menunjukkan bahwa penyalahgunaan sumber daya alam tidak hanya terbatas pada sektor perkebunan, tetapi juga meliputi sektor pertambangan. Hal ini menegaskan bahwa masalah lingkungan di Indonesia adalah masalah yang holistik, yang membutuhkan pendekatan terpadu untuk menertibkan semua bentuk aktivitas ilegal yang merusak hutan dan sumber daya alam lainnya. Verifikasi terhadap 15 PT seluas 13.295 hektare di 12 provinsi dan penguasaan kembali terhadap 51 PT seluas 5.874 hektare menunjukkan bahwa Satgas PKH tidak hanya menargetkan individu, tetapi juga entitas bisnis yang terlibat dalam penyalahgunaan hutan ilegal. Ini adalah langkah yang penting dalam menegakkan hukum terhadap pelaku skala besar, yang seringkali memiliki dampak yang lebih luas terhadap lingkungan dan ekonomi.
Kita juga tidak boleh melupakan tentang peran Presiden Prabowo Subianto dalam menghadiri konferensi pers ini. Kehadiran presiden menunjukkan bahwa pemerintah sangat serius dalam menangani masalah hutan ilegal dan mendukung upaya Satgas PKH. Hal ini memberikan sinyal kepada semua pihak – baik di dalam maupun di luar negeri – bahwa Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi sumber daya alamnya dan menegakkan hukum terhadap pelaku aktivitas ilegal. Dalam konteks hubungan internasional, ini adalah pernyataan penting yang dapat meningkatkan citra Indonesia sebagai negara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan berkontribusi pada upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.
Sebagai kesimpulan, peristiwa penampakan uang tunai sebesar lebih dari Rp6 triliun dan target penguasaan kembali 4 juta hektare kawasan hutan ilegal yang hampir tercapai adalah prestasi yang signifikan dalam upaya Indonesia untuk melindungi sumber daya alam dan menegakkan hukum. Narasi yang terjalin antara keuangan, lingkungan, dan kedaulatan negara menunjukkan kompleksitas dari masalah ini, serta kebutuhan akan pendekatan terpadu dan terkoordinasi. Meskipun telah ada kemajuan yang signifikan, masih ada tantangan yang perlu diatasi – terutama dalam hal pengelolaan lahan yang telah dikuasai kembali dan pencegahan aktivitas ilegal di masa depan. Hanya dengan cara ini, negara dapat memastikan bahwa hutan Indonesia – sebagai karunia Tuhan dan aset bangsa – dapat dilestarikan untuk kepentingan rakyat sekarang dan masa depan.
Apakah Anda ingin saya menekankan aspek tertentu seperti dampak ekonomi dari hasil rampasan atau upaya restorasi ekosistem dalam narasi ini?




