![]()

Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan
Di tengah dinamika pergantian kepemimpinan di lembaga pendidikan tinggi yang menjadi tonggak pembangunan intelektual dan sosial bangsa, muncul kasus yang menguji integritas proses demokrasi dalam lembaga akademik: pemeriksaan Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Jamaluddin Jompa dan dua anggota Senat Akademik oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) terkait dugaan penyimpangan dalam pemilihan rektor periode 2026-2030. Fenomena ini tidak hanya menjadi sorotan media massa seperti Kompas, tetapi juga menjadi titik temu refleksi intelektual yang mendalam terkait hubungan antara otonomi lembaga pendidikan tinggi, peran pemerintah sebagai pengawas, dan pentingnya proses pemilihan pemimpin yang adil, transparan, serta berlandaskan nilai-nilai akademik. Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini mengungkapkan kompleksitas perjuangan antara kebutuhan akan akuntabilitas dan kebebasan akademik, di mana proses klarifikasi yang disebut “biasa” oleh pihak Unhas bertemu dengan harapan masyarakat akan integritas dalam tata kelola lembaga yang memiliki peran krusial dalam membentuk generasi mendatang.
Pertama-tama, kita harus memahami signifikansi intrinsik dari pemilihan rektor di lembaga pendidikan tinggi seperti Unhas dalam konteks sistem pendidikan nasional. Rektor bukan hanya kepala administrasi, tetapi juga pemimpin akademik yang bertanggung jawab untuk membimbing arah pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Proses pemilihan rektor yang adil dan transparan merupakan prasyarat untuk memastikan bahwa lembaga mendapatkan pemimpin yang berkompeten, berintegritas, dan mampu menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Namun, dari sudut pandang teori tata kelola lembaga pendidikan tinggi, dugaan penyimpangan dalam proses ini menunjukkan adanya celah yang berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilihan pemimpin akademik. Dari perspektif intelektual, hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah mekanisme pemilihan rektor yang telah terpasang di Unhas dan lembaga pendidikan tinggi lainnya telah cukup kuat untuk mencegah penyimpangan, atau apakah ia masih membutuhkan perbaikan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi?
Kedua, kita harus mempertimbangkan peran Kemendiktisaintek sebagai lembaga pemerintah yang bertugas mengawasi lembaga pendidikan tinggi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa lembaga pendidikan tinggi beroperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai pendidikan tinggi. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Inspektorat Kemendiktisaintek terhadap Rektor Unhas dan dua anggota Senat Akademik merupakan bentuk penegakan kewajiban ini, yang dilatarbelakangi oleh aduan yang diterima. Meskipun pihak Unhas menyatakan bahwa ini adalah “proses klarifikasi biasa”, dari perspektif teori pengawasan publik, peristiwa ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya bertindak sebagai pemberi izin, tetapi juga sebagai pengawas yang aktif dalam memastikan integritas proses di dalam lembaga pendidikan tinggi. Namun, kita juga harus mempertimbangkan batasan-batasan pengawasan pemerintah terhadap otonomi lembaga pendidikan tinggi. Pertanyaan yang muncul adalah: seberapa jauh wewenang pemerintah untuk mengawasi proses internal lembaga pendidikan tinggi tanpa merusak kebebasan akademik dan otonomi yang dijamin oleh hukum?
Ketiga, kita harus memahami dinamika internal Unhas dalam menghadapi pemeriksaan ini. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Unhas Ishaq Rahman yang menyatakan bahwa substansi pemeriksaan bersifat rahasia dan menjadi domain inspektorat adalah sikap yang sesuai dengan prosedur hukum, tetapi juga menimbulkan keraguan di kalangan publik dan akademisi tentang transparansi proses. Dari perspektif sosiologis akademik, kerahasiaan yang terlalu besar dalam proses yang melibatkan kepemimpinan lembaga dapat merusak kepercayaan antar anggota komunitas akademik dan membuat mereka merasa terpinggirkan dari proses keputusan yang penting. Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan konteks penyaringan calon rektor yang telah dilakukan pada Oktober 2025, di mana Rektor Jamaluddin Jompa termasuk dalam enam bakal calon yang lolos. Dari perspektif intelektual, dugaan penyimpangan dalam proses pemilihan yang masih berjalan ini menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas calon-calon yang telah lolos penyaringan dan apakah proses tersebut telah sepenuhnya berlandaskan kriteria yang objektif dan berbasis akademik.
Keempat, kita harus mempertimbangkan implikasi yang lebih luas dari kasus ini terhadap komunitas akademik dan masyarakat luas. Unhas sebagai salah satu universitas terkemuka di Indonesia, terutama di wilayah Sulawesi, memiliki peran yang krusial dalam memproduksi tenaga ahli, melakukan penelitian yang berdampak, dan berkontribusi pada pembangunan daerah dan nasional. Kasus dugaan penyimpangan dalam pemilihan rektor dapat merusak citra dan kredibilitas Unhas di kancah nasional dan internasional, yang selanjutnya dapat mempengaruhi minat mahasiswa, pendanaan penelitian, dan kerja sama dengan lembaga lain. Dari perspektif teori pembangunan manusia, kerusakan citra lembaga pendidikan tinggi dapat berdampak negatif pada kualitas pendidikan dan kemampuan negara untuk bersaing di era global. Selain itu, kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab komunitas akademik—termasuk dosen, mahasiswa, dan staf—dalam memantau proses pemilihan rektor dan memastikan bahwa proses tersebut berjalan dengan adil dan transparan. Apakah mereka telah cukup aktif dalam berpartisipasi dalam proses ini, atau apakah mereka terlalu pasif dalam menghadapi potensi penyimpangan?
Kelima, kita harus mempertimbangkan upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini dan memastikan bahwa proses pemilihan rektor di Unhas dan lembaga pendidikan tinggi lainnya berjalan dengan integritas. Dari sisi Unhas, diperlukan peningkatan transparansi dalam semua tahapan proses pemilihan rektor, termasuk penyebaran informasi tentang kriteria, tahapan, dan calon-calon yang bersaing. Selain itu, juga diperlukan mekanisme pengawasan internal yang lebih kuat, seperti pembentukan tim pengawas independen yang terdiri dari anggota komunitas akademik dan tokoh masyarakat yang berintegritas. Dari sisi Kemendiktisaintek, diperlukan penegakan hukum yang konsisten dan adil terhadap setiap dugaan penyimpangan dalam pemilihan rektor, tanpa memandang posisi atau status pelaku. Namun, penting juga untuk memastikan bahwa pengawasan pemerintah tidak melampaui batasan yang diizinkan oleh hukum dan tidak merusak kebebasan akademik. Dari perspektif teori keadilan, semua upaya ini bertujuan untuk menciptakan proses pemilihan pemimpin akademik yang adil, transparan, dan berlandaskan nilai-nilai yang benar, sehingga lembaga pendidikan tinggi dapat menjalankan tugasnya dengan optimal untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun, kita juga tidak boleh mengabaikan sisi lain dari masalah ini. Dalam beberapa kasus, aduan yang diterima oleh lembaga pengawas tidak selalu berdasar fakta, tetapi terkadang merupakan bentuk penentangan politik atau pribadi di dalam lembaga. Hal ini menunjukkan bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Kemendiktisaintek harus dilakukan dengan cermat dan objektif, untuk membedakan antara aduan yang berdasar dan yang tidak. Dari perspektif intelektual, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana lembaga pengawas dapat memastikan bahwa proses klarifikasi tidak digunakan sebagai alat untuk menekan atau menggangu kepemimpinan lembaga pendidikan tinggi yang sedang berjalan. Masalah utama adalah bagaimana menemukan keseimbangan antara kebutuhan akan akuntabilitas dan perlindungan terhadap penyalahgunaan mekanisme pengawas.
Sebagai kesimpulan, kasus pemeriksaan Rektor Unhas Jamaluddin Jompa dan dua anggota Senat Akademik oleh Kemendiktisaintek terkait dugaan penyimpangan dalam pemilihan rektor adalah peristiwa yang signifikan yang menguji integritas tata kelola lembaga pendidikan tinggi dan peran pemerintah sebagai pengawas. Fenomena ini tidak hanya menjadi perdebatan publik, tetapi juga menjadi titik temu refleksi intelektual yang mendalam terkait hubungan antara otonomi akademik, akuntabilitas, dan proses pemilihan pemimpin yang adil. Meskipun terdapat tantangan yang besar dalam mengatasi masalah ini, upaya untuk memastikan bahwa proses pemilihan rektor berjalan dengan integritas adalah penting untuk memelihara citra dan kredibilitas lembaga pendidikan tinggi, serta untuk memastikan bahwa mereka dapat menjalankan tugasnya sebagai tonggak pembangunan intelektual dan sosial bangsa. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat membangun sistem pendidikan tinggi yang berkualitas dan mampu bersaing di era global.




