oleh ; Daeng Supriyanto
Pengadaan barang dan jasa yang baik diperlukan dalam menunjang berjalannya roda perekonomian bangsa. Berbagai temuan dan laporan dari aparat pemeriksa banyak menunjukkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa ini. Penyimpangan ini ditandai dengan banyaknya kasus penanganan tindak pidana yang ditangani oleh aparat hukum.
Ada beberapa Modus Operandi atau praktik yang memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa antara lain penyuapan, memecah atau menggabung paket, penggelembungan harga, mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa, penunjukan langsung, kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan barang dan jasa.
Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah diindikasikan dengan banyaknya penanganan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun oleh penegak hukum lain di Indonesia. KPK menyatakan, kasus korupsiyang paling banyak dilakukan pejabat pemerintah umumnya dalam proyek pengadaan barang dan jasa.
Penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan keuangan negara merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Definisi korupsi itu sendiri diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Definisi didalam pasal tersebut memuat unsur-unsur; secara melawan hukum; memperkaya diri sendiri; orang lain atau suatu korporasi; yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Faktor-faktor yang menjadikan pengadaan barang dan jasa sebagai ladang subur praktek korupsi, diantaranya adalah banyaknya uang yang beredar, tertutupnya kontak antara penyedia jasa dan panitia lelang dan banyaknya prosedur lelang yang harus diikuti. Proses pengadaan ini walaupun tercium adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi pembuktiannya sangat sulit karena sistem administrasi dari pemberi dan penerima pekerjaan ini sangatlah rapi. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan proses yang terbuka dalam pengadaan barang dan jasa. Proses yang transparan ini akan memberikan kesempatan yang sama kepada penyedia barang dan jasa dan dalam pelaksanaannya akan mendapatkan pengawasan dari masyarakat (KPK : 2007)
Praktik yang Memicu Tindak Pidana dalam Pengadaan barang dan jasa
Terdapat 3 (tiga) unsur untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, Pertama, menyalahgunakan kewenangannya, kedua, memberikan keuntungan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan ketiga, menimbulkan kerugian keuangan negara. Bila proses yang sedang berjalan, walaupun belum final/akhir, namun sudah ada indikasi atau “dugaan kuat” adanya penyimpangan bisa atau dapat dikategorikan pelanggaran terhadap UU Korupsi.
Berikut adalah beberapa perbuatan yang bisa memicu terjadinya tindak pidana pada pengadaan barang dan jasa pemerintah antara lain Penyuapan, Larangan penyuapan diatur pada pasal 6 Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 yaitu berkaitan dengan etika pengadaan.
Ancaman hukuman terhadap penerima suap diatur pada pasal 418 KUHP :
Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sedangkan pada pasal 419 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun apabila seorang pejabat :
- Menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
- Yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Kemudian pada UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupssi ancaman hukuman terhadap penerima suap disebutkan :
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pa sal 418 KUHP, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp.50.000.000 dan paling banyak Rp.250.000.000,-
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425 atau pasal 435 KUHP dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 dan paling banyak 1.000.000.000.
Modus yang ke dua adalah menggabungkan atau memecah paket pekerjaan, Berkaitan dengan pemaketan pekerjaan Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 24 ayat 3 mengatur prosedur, Pemecahan atau penggabungan paket bisa dilakukan dengan pertimbangan yang jelas dan sesuai dengan prinsip pengadaan yang efektif dan efisien.
Pemecahan paket dapat dilakukan karena perbedaan target penyedia, perbedaan lokasi penerima/pengguna barang yang cukup signifikan, atau perbedaan waktu pemakaian dari barang dan jasa tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur ancaman perbuatan menggabungkan atau memecah paket. Pada perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 juga tidak ada ancaman terhadap penggabungan atau pemecahan paket. Ancaman tindak pidana muncul apabila dapat dibuktikan bahwa pemecahan atau penggabungan paket tersebut diikuti dengan praktek penggelembungan harga. Apabila hal ini terjadi maka praktek penggelembungan harga inilah yang diancam hukuman.
Modus Ketiga, Penggelumbungan harga Merujuk pada Perpres 54 tahun 2010 diatur mengenai etika pengadaan dimana pada pasal 6 disebutkan salah satunya adalah menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang dan jasa. Etika pengadaan tersebut menegaskan bahwa rekanan maupun pengelola pengadaan secara tegas dilarang melaksanakan pengadaan barang/jasa yang dapat mengakibatkan pemborosan keuangan negara. Semua peristiwa tindak pidana pengadaan barang dan jasa hampir selalu mengakibatkan pemborosan.
Praktek penggelembungan harga ini diawali dari penentuan HPS yang terlalu tinggi karena penawaran harga peserta lelang/seleksi tidak boleh melebihi HPS sebagaimana diatur pada pasal 66 Perepres 54 tahun 2010 dimana HPS adalah dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/JasaLainnya dan Pengadaan Jasa Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Penyusunan HPS dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kasus mark up yang lain misalnya mark-up pada pengadaan dua unit Helikopter jenis MI-2 buatan Rostov-Rusia oleh Pemda NAD dengan terdakwa Sdr. Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. (mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam). Pengadilan Tipikor dan diperkuat oleh MA telah memvonis Ir. H. Abdullah Puteh 10 tahun penjara, uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5 miliar rupiah. Terdakwa dipidana 10 tahun penjara dan harus membayar uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5 miliar rupiah.
Selanjutnya Modus dengan mengurangi kuantitas dan atau kualitas barang dan jasa, Dalam setiap pengadaan barang dan jasa senantiasa diikuti dengan bukti perjanjian baik dalam bentuk Surat Perjanjian/kontrak maupun Surat Perintah Kerja (SPK). Kontrak adalah bentuk kesepakatan tertulis antara penyedia dan pengguna barang/jasa tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam kontrak selalu diatur tentang kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang diperjanjikan, sehingga setiap usaha untuk mengurangi kuantitas atau kualitas barang dan jasa adalah tindak pidana.
Pengurangan kuantitas dan kualitas ini seringkali dilakukan bersamaan dengan pemalsuan dokumen berita acara serah terima barang, dimana penyerahan barang diikuti berita acara yang menyatakan bahwa penyerahan barang telah dilakukan sesuai dengan kontrak. Terhadap hal ini KUHP pada pasal 263 menyatakan :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 18 diatur tentang tugas pokok dan kewenangan dari Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), dimana PPHP mempunyai tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut :
- melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;
- menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui pemeriksaan/pengujian; dan
- membuat dan menandatangani Berita Acara Serah TerimaHasil Pekerjaan.
Secara legal formal tanggung jawab untuk menyatakan bahwa barang atau jasa yang diserahkan telah sesuai dengan kontrak baik kualitas maupun kuantitasnya adalah PPHP. Namun secara material penyedia barang dan jasa juga harus bertanggungjawab terhadap kekurangan ini. Penyedia yang melakukan kecurangan ini bisa dikenai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang kualifikasinya adalah melakukan perbuatan curang bagi pemborong, ahli bangunan dan pengawas, sehingga membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negara.
Perbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong misalnya melakukan pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau menyalahi ketentuan yang sudah diatur dan disepakati yang tertuang dalam surat perjanjian kerja atau leveransir, bahan bangunan yang dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Perbutan curang ini tidak perlu mengakibatkan bangunan itu roboh atau negara menjadi betul-betul bahaya, karena dalam unsurnya dikatakan “dapat membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negara”
Penunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan menunjuk langsung 1 penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat. Dalam Perpres 54 tahun 2010 pasal 38 menyebutkan bahwa penunjukan langsung dapat dilakukan dalam hal: keadaan tertentu; dan/atau pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya yang bersifat khusus.
Penunjukan langsung dapat dilakukan sepanjang memenuhi kriteria yang diuraikan secara ketat pada pasal 38 dan pasal 44. Penunjukan langsung yang terjadi diluar yang telah ditetapkan dalam Perpres tersebut adalah ilegal. Dalam beberapa kasus penunjukan langsung ini juga diikuti dengan pengelembungan harga, karena tentu harus ada fee yang diberikan penyedia barang/jasa sebagai ucapan terimakasih kepada pejabat yang menunjuk.
Beberapa kasus penunjukan langsung yang terjadi seperti kasus pengadaan dan pembelian pesawat terbang jenis Fokker 27 seri 600, dengan putusan No. 43 K/Pid/2007, atas nama terdakwa Drs. David Agustein Hubi. Dalam kasus ini, pelaksanaan proyek pengadaan dan pembelian pesawat terbang tersebut tidak berpedoman pada Keppres No. 18 tahun 2000 (merupakan peraturan yang berlaku pada saat kejadian berlangsung) tentang pengadaan barang dan jasa, dimana proyek yang telah dilaksanakan tidak dilengkapi dengan SPK (Surat Perintah Kerja) maupun Kontrak Kerja akan tetapi hanya mendasari dengan surat perjanjian saja, disisi lain dalam pelaksanaan proyek tidak dilakukan tender dan analisa kewajaran harga. Terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP. Pengadilan Negeri Menghukum Terdakwa atas ketiga perbuatan tersebut dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan Denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Oleh pengadilan tinggi, hukuman ini ditambah menjadi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan membayar uang pengganti kepada Negara sebesar Rp. 1.661.000.000,- (satu milyar enam ratus enam puluh satu juta rupiah).
Kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan. Kolusi yang bisa memicu terjadinya tindak pidana antara lain, Membuat spesifikasi barang/jasa yang mengarah ke rekanan tertentu, Mengatur/Merekayasa Proses Pengadaan dan Membuat syarat-syarat untuk membatasi peserta lelang
Pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 24 disebutkan tentang pelarangan menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
Kemudian pada pasal 56 juga disebutkan Perbuatan atau tindakan penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang / Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi / menghambat / memperkecil dan / atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain
Muara dari kolusi tersebut adalah peniadaan kompetisi dalam pengadaan barang dan jasa. Kompetisi dalam pengadaan publik berarti penyedia secara independen bersaing untuk menawarkan barang/jasa dalam suatu proses pemilihan. Kompetisi yang sehat merupakan elemen kunci yang akan menghasilkan penawaran yang paling menguntungkan bagi pemerintah khususnya harga paling rendah dan kualitas barang yang paling baik.
Bagi penyedia kompetisi berfungsi sebagai pendorong penting tumbuhnya inovasi produk barang/jasa untuk menghasilkan produk terbaik dengan harga bersaing. Kompetisi hanya bisa tercapai jika tidak ada kolusi dalam tender, salah satu masalah yang paling menonjol dalam korupsi pengadaan di sektor publik. Penyedia akan bersaing dengan sehat ketika mereka yakin bahwa mereka disediakan semua informasi yang sama dan akan dievaluasi dengan metode evaluasi yang tidak diskriminatif, serta tersedia mekanisme untuk melakukan sanggahan terhadap keputusan hasil evaluasi.
Beberapa contoh praktek persyaratan yang diskriminatif antara lain peserta tender harus menunjukkan saldo kas dengan jumlah tertentu, Laporan keuangan peserta tender harus sudah diaudit KAP, Peserta harus memiliki rekening pada bank tertentu. Dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sebagaimana dirumuskan Pasal 118 : apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, maka Unit Layanan Pengadaan (ULP) dikenakan sanksi administrasi, dituntut ganti rugi; dan/atau dilaporkan secara pidana.
Dengan memahami praktik-praktik yang memicu tindakan pidana dalam pengadaan barang dan jasa diatas diharapkan para pengelola pengadaan barang dan jasa dapat mengantisipasi resiko pidana tersebut. Resiko pidana dapat diantisipasi dengan beberapa jalan yaitu :
- Menghindari resiko, dapat dilakukan dengan mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa yang tepat sesuai Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 35 tahun 2011 jo Perpres 70 tahun 2012 serta aturan-aturan pelaksanaannya.
- Memindahkan resiko kepada pihak lain, dapat dilakukan dengan meminta penjelasan tertulis (fatwa) untuk permasalahan-permasalahan yang tidak jelas kepada lembaga yang berkompenten seperti BPK, BPKP, LKPP, KPK dan pihak lain yang berkompenten.
- Mengurangi resiko, dapat dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum dalam merancang kontrak, memperkuat sistem pengawasan internal dari KPA atau PPK.