![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH
Kabid Humas KONI Sumsel
Di kerangka pemikiran yang mendalam tentang makna sesungguhnya pesta olahraga – mulai dari skala global seperti Olimpiade, regional seperti Asian Games dan SEA Games, hingga nasional dan provinsi seperti PON dan Porprov – kita ditantang untuk melepaskan kecenderungan ego yang hanya berfokus pada keinginan menang juara umum sebagai tuan rumah, karena sikap semacam itu bukan hanya keliru secara prinsip, tetapi juga merusak esensi olahraga yang seharusnya sportif dan menjunjung aturan. Sebenarnya, pesta olahraga adalah wadah untuk memperkuat hubungan antar bangsa, provinsi, atau daerah, melahirkan bakat atletik kelas dunia, dan menciptakan warisan infrastruktur serta budaya olahraga yang berkelanjutan – bukan hanya ajang untuk memamerkan keunggulan sementara yang didorong oleh ego. Ketika kita bertanya: “kalau setiap kontingen mengirimkan ribuan atlet, keuntungan siapa coba? Kalau kontingen hanya mengirimkan sepuluh atlet?” kita sebenarnya mengajukan pertanyaan yang menyentuh inti dari efisiensi, kualitas, dan manfaat nyata yang harus diberikan oleh setiap perhelatan olahraga.
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa keinginan tuan rumah untuk menang juara umum yang didorong oleh ego adalah gejala dari penyimpangan pemahaman tentang peran tuan rumah. Seorang tuan rumah yang profesional seharusnya memprioritaskan kelancaran acara, kepatuhan pada aturan internasional, dan kenyamanan semua peserta – bukan hanya memastikan timnya sendiri menang. Ketika tuan rumah terlalu fokus pada kemenangan, ia cenderung menciptakan lingkungan yang tidak adil, yang berujung pada laporan dugaan kecurangan yang terus-menerus – seperti yang sering kita saksikan dalam berbagai perhelatan. Ini adalah keadaan yang menyedihkan, karena olahraga yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan keadilan justru berubah menjadi ajang untuk memanfaatkan posisi untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam kerangka pemikiran intelektual, ego tuan rumah adalah bentuk dari “keegoisan kollektif” yang melupakan tujuan utama olahraga: untuk mengembangkan potensi manusia, mempromosikan nilai-nilai sportivitas, dan membangun hubungan antar masyarakat.
Selanjutnya, pertanyaan tentang jumlah atlet yang dikirimkan oleh setiap kontingen menyentuh masalah efisiensi dan kualitas. Mengirimkan ribuan atlet tanpa mempertimbangkan kualitas dan potensi mereka bukanlah keuntungan bagi siapa pun – tidak bagi kontingen itu sendiri, tidak bagi tuan rumah, dan tidak bagi perkembangan olahraga secara keseluruhan. Kontingen yang mengirimkan terlalu banyak atlet cenderung menghabiskan anggaran yang besar untuk biaya perjalanan, akomodasi, dan pelatihan, tetapi tidak selalu mendapatkan hasil yang sebanding. Di sisi lain, tuan rumah harus menyiapkan fasilitas dan layanan untuk jumlah peserta yang terlalu banyak, yang dapat meningkatkan biaya penyelenggaraan dan mengurangi kualitas pelayanan. Sebaliknya, kontingen yang hanya mengirimkan sepuluh atlet – yang dipilih berdasarkan kualitas dan potensi tertinggi – akan lebih fokus, efisien, dan cenderung memberikan performa yang lebih baik. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam pesta olahraga bukanlah tentang jumlah atlet yang dikirimkan, tetapi tentang kualitas mereka dan kemampuan mereka untuk bersaing secara sportif.
Dalam konteks yang lebih luas, pesta olahraga harus memberi manfaat besar yang melampaui acara itu sendiri. Seorang tuan rumah yang profesional akan menggunakan kesempatan penyelenggaraan untuk membangun infrastruktur olahraga yang berkelanjutan, melatih pelatih dan wasit yang berkualitas, dan menumbuhkan budaya olahraga di masyarakatnya. Ini adalah cara untuk melahirkan atlet kelas dunia yang mampu bersaing di tingkat internasional, seperti Olimpiade. Misalnya, penyelenggaraan Asian Games di Jakarta-Palembang tahun 2018 tidak hanya memberikan acara olahraga yang meriah, tetapi juga meninggalkan warisan fasilitas seperti Stadion GBK, Stadion Jakabaring, dan kolam renang yang dapat digunakan untuk pelatihan atlet masa depan. Namun, jika tuan rumah terlalu fokus pada menang juara umum, ia cenderung mengorbankan investasi dalam infrastruktur dan pengembangan atlet jangka panjang untuk memprioritaskan kemenangan sementara. Ini adalah keputusan yang pendek pandang dan tidak berkelanjutan, karena kemenangan sementara tidak akan membawa kemajuan olahraga secara keseluruhan.
Selain itu, olahraga yang sportif dan menjunjung aturan adalah dasar dari setiap pesta olahraga yang sah. Ketika tuan rumah atau kontingen lainnya terlibat dalam kecurangan, ia merusak kepercayaan antar peserta dan merendahkan martabat acara itu. Kecurangan dalam olahraga – baik dalam bentuk manipulasi aturan, penggunaan obat terlarang, atau ketidakadilan dalam penilaian – adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai inti olahraga, yang mencakup kejujuran, hormat pada lawan, dan kepatuhan pada aturan. Dalam kerangka pemikiran intelektual, kecurangan dalam olahraga adalah bentuk dari “ketidakberdayaan intelektual” yang menunjukkan ketidakmampuan untuk bersaing secara adil dan menghargai peran olahraga sebagai alat untuk pengembangan manusia. Kita harus memastikan bahwa setiap pesta olahraga diatur dengan cara yang transparan, adil, dan profesional, sehingga semua peserta memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan mereka.
Penting juga untuk memahami bahwa peran pesta olahraga tidak hanya terbatas pada kompetisi, tetapi juga pada pempromosian perdamaian, persatuan, dan kerjasama antar bangsa atau daerah. Olimpiade, misalnya, didirikan atas prinsip “cetta in aris” (damai dalam perang), yang mengajak semua negara untuk berhenti bertempur dan bersatu dalam acara olahraga. Demikian juga, Asian Games dan SEA Games bertujuan untuk memperkuat hubungan antar negara di Asia dan Asia Tenggara. PON dan Porprov, di sisi lain, bertujuan untuk memperkuat persatuan nasional dan provinsi di Indonesia. Ketika tuan rumah terlalu fokus pada menang juara umum, ia melupakan tujuan ini dan membuat acara itu menjadi ajang untuk mempromosikan perselisihan dan kebencian. Ini adalah kontras yang mencolok dengan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung oleh olahraga.
Selain itu, seorang tuan rumah yang profesional akan memprioritaskan kenyamanan dan keamanan semua peserta, termasuk atlet, pelatih, wasit, dan penonton. Ia akan memastikan bahwa fasilitas yang disediakan sesuai dengan standar internasional, layanan yang diberikan berkualitas, dan lingkungan acara yang aman dan nyaman. Ini adalah syarat dasar untuk menyelenggarakan pesta olahraga yang sukses. Ketika tuan rumah terlalu fokus pada menang juara umum, ia cenderung mengorbankan kenyamanan dan keamanan peserta untuk memprioritaskan keuntungan timnya sendiri. Ini adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab dan dapat menyebabkan masalah yang serius, termasuk cedera pada atlet atau ketidaknyamanan pada penonton.
Dalam konteks pengembangan atlet kelas dunia, pesta olahraga harus menjadi ajang untuk menguji kemampuan atlet dan memberikan mereka pengalaman bersaing di tingkat tinggi. Seorang tuan rumah yang profesional akan menggunakan acara itu untuk memberi kesempatan kepada atlet muda untuk belajar dari atlet berpengalaman, melatih diri di fasilitas berkualitas, dan mendapatkan pengakuan internasional. Ini adalah cara untuk melahirkan atlet yang mampu bersaing di Olimpiade dan acara olahraga global lainnya. Namun, jika tuan rumah terlalu fokus pada menang juara umum, ia cenderung mengirimkan atlet yang sudah matang dan berpengalaman untuk memastikan kemenangan, sehingga atlet muda tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang. Ini adalah hal yang keliru, karena pengembangan atlet muda adalah kunci untuk keberhasilan olahraga jangka panjang.
Kesimpulannya, ego tuan rumah yang hanya berfokus pada keinginan menang juara umum adalah hal yang keliru dan merusak esensi olahraga yang seharusnya sportif dan menjunjung aturan. Pesta olahraga – mulai dari Olimpiade, Asian Games, SEA Games, hingga PON dan Porprov – harus menjadi wadah untuk memperkuat persatuan, mempromosikan nilai-nilai sportivitas, dan memberikan manfaat abadi melalui pengembangan infrastruktur dan atlet. Pertanyaan tentang jumlah atlet yang dikirimkan oleh setiap kontingen harus dijawab dengan mempertimbangkan efisiensi dan kualitas, bukan hanya jumlah. Kita perlu memastikan bahwa setiap tuan rumah bekerja secara profesional, menjunjung aturan, dan memprioritaskan manfaat umum daripada keuntungan pribadi. Hanya dengan demikian, pesta olahraga dapat melahirkan atlet kelas dunia yang mampu bersaing di tingkat global dan memberikan manfaat besar bagi masyarakat secara keseluruhan.




