![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Ketua DPW Lestari Indonesia Provinsi Sumatera Selatan
Judul kolom Neli Triana, “Membaca Bumi, Mengakhiri Penyangkalan atas Krisis Manusia”, tidak hanya merupakan panggilan emosional untuk menyadari realitas krisis iklim yang melanda Indonesia. Melainkan, ia merupakan upaya untuk menguraikan paradoks yang paling menyakitkan di zaman modern: bagaimana sebuah negara yang terus-menerus menyaksikan bencana alam dengan intensitas dan dampak yang makin mematikan, ternyata menjadi negara dengan tingkat penyangkalan atas krisis iklim atau krisis manusia tertinggi di dunia. Dalam kerangka teori sosiologis tentang “penyangkalan realitas”, fenomena ini dapat dilihat sebagai wujud dari mekanisme pertahanan psikologis kolektif yang tidak sehat, yang memisahkan masyarakat dari konsekuensi logis dari data dan pengalaman yang mereka alami sehari-hari.
Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa “krisis manusia” yang dimaksud bukanlah sekadar krisis alam yang tak terhindarkan, melainkan krisis yang ditimbulkan oleh interaksi antara aktivitas manusia dan sistem bumi yang sudah melewati batas keberlanjutan. Data Bencana Indonesia 2024 yang mencatat 3.472 kejadian bencana dengan 3.449 di antaranya adalah bencana hidrometeorologi—rata-rata 10 bencana per hari, dengan 540 korban tewas, lebih dari 11.000 terluka, dan 8,1 juta orang menderita—bukanlah sekadar angka statistik yang kaku. Melainkan, ia merupakan representasi dari nyawa-nyawa yang hilang, rumah-rumah yang hancur, mata pencaharian yang hilang, dan komunitas yang terputus dari akar-akar mereka. Bahkan ketika angka kejadian sedikit menurun dibandingkan 2023, dampaknya malah lebih masif—sesuatu yang menunjukkan bahwa kualitas kerentanan masyarakat terhadap bencana telah meningkat, bukan menurun. Ini adalah bukti empiris yang tak terbantahkan bahwa krisis itu tidak hanya ada, melainkan makin memburuk seiring waktu.
Namun, ironisnya, di tengah kenyataan yang begitu pahit ini, tingkat penyangkalan di Indonesia tetap berada di puncak dunia. Dalam teori psikologi sosial, penyangkalan dapat terjadi karena berbagai alasan: ketidakmampuan untuk menghadapi kebenaran yang menyakitkan, ketidakpercayaan pada otoritas atau penelitian ilmiah, pengaruh kepentingan ekonomi yang bertentangan, atau bahkan karena kurangnya akses ke informasi yang akurat dan mudah dipahami. Di Indonesia, faktor-faktor ini saling berinteraksi membentuk jaringan penyangkalan yang kompleks. Misalnya, kelompok kepentingan yang terkait dengan sektor energi fosil atau pengembangan lahan mungkin memiliki insentif untuk menolak atau merendahkan kebenaran krisis iklim, sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil mungkin kurang mendapatkan pendidikan tentang peran aktivitas manusia dalam menyebabkan perubahan iklim. Selain itu, keberadaan informasi palsu dan hoaks di media sosial juga berkontribusi pada kebingungan masyarakat, sehingga mereka sulit membedakan antara fakta dan fiksi.
Kata kunci dalam judul kolom—”Membaca Bumi”—merupakan metafora yang kuat untuk memahami pentingnya mengandalkan pengalaman langsung dan pengamatan empiris daripada hanya bergantung pada teori atau spekulasi. “Membaca Bumi” berarti memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh alam: peningkatan intensitas hujan lebat, kemarau yang lebih panjang, naiknya permukaan laut, dan munculnya penyakit baru yang terkait dengan perubahan iklim. Ini berarti mendengarkan suara dari kelompok rentan—yang selalu menjadi korban pertama dan paling parah ketika bencana terjadi—dan memasukkan pengalaman mereka ke dalam kebijakan dan aksi. Dalam konteks ini, “membaca Bumi” bukanlah sekadar aktivitas intelektual, melainkan tindakan yang penuh empati dan tanggung jawab. Ia menuntut kita untuk tidak hanya melihat angka-angka, tetapi juga melihat orang-orang di balik angka itu.
Selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari penyangkalan ini terhadap upaya menangani krisis iklim. Tanpa kesadaran yang sebenarnya tentang masalahnya, masyarakat tidak akan memiliki motivasi untuk melakukan perubahan perilaku yang diperlukan—baik di tingkat individu, komunitas, maupun nasional. Pemerintah juga akan sulit untuk menerapkan kebijakan yang tegas dan efektif, karena akan menghadapi perlawanan dari kelompok yang menolak kebenaran krisis. Ini adalah siklus yang mematikan: penyangkalan menyebabkan kurangnya aksi, kurangnya aksi menyebabkan krisis makin memburuk, dan krisis yang makin memburuk malah membuat penyangkalan menjadi lebih sulit diatasi. Dalam kerangka teori kebijakan publik, ini disebut sebagai “kesulitan kollektif”—masalah di mana manfaat dari aksi bersama hanya dapat dicapai jika semua pihak bersedia berpartisipasi, tetapi setiap pihak memiliki insentif untuk menunda atau menghindari tanggung jawab.
Kasus bencana di Sumatera yang menyumbang sebagian besar korban dan kerusakan hingga pertengahan Desember 2025 adalah contoh nyata dari bagaimana penyangkalan dapat memiliki konsekuensi yang fatal. Ketika infrastruktur publik di lebih dari 50 kabupaten/kota rusak, akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan pangan menjadi terganggu, sehingga memperparah kesulitan masyarakat yang sudah menderita. Ini menunjukkan bahwa krisis iklim tidak hanya merupakan masalah lingkungan, melainkan juga masalah sosial, ekonomi, dan politik yang menimbulkan tantangan terhadap keberlanjutan negara secara keseluruhan. Tanpa upaya serius untuk mengakhiri penyangkalan dan mengambil tindakan yang cepat, Indonesia akan terus menghadapi risiko yang semakin besar dari bencana alam, dan kelompok rentan akan terus menjadi yang paling terkena dampak.
Dalam konteks global, posisi Indonesia sebagai negara dengan penyangkalan tertinggi juga memiliki implikasi yang luas. Sebagai negara dengan hutan terluas di dunia kedua dan peran penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam upaya global menangani krisis iklim. Namun, jika penyangkalan terus menguasai ranah publik, Indonesia tidak akan mampu memainkan peran tersebut dengan efektif. Ini tidak hanya merusak kepemimpinan regional Indonesia, melainkan juga memperlambat kemajuan upaya global untuk mencegah perubahan iklim yang tidak dapat diubah.
Kesimpulannya, kolom Neli Triana “Membaca Bumi, Mengakhiri Penyangkalan atas Krisis Manusia” memberikan wawasan yang mendalam tentang salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi Indonesia saat ini. Fenomena penyangkalan yang tinggi di tengah kenyataan bencana yang makin mematikan adalah paradoks yang membutuhkan penjelasan dan solusi yang komprehensif. Untuk mengakhiri penyangkalan, kita perlu melakukan upaya ganda: pertama, meningkatkan akses ke informasi yang akurat dan mudah dipahami tentang krisis iklim, dan kedua, membangun budaya empati yang mendengarkan suara kelompok rentan dan memasukkan pengalaman mereka ke dalam kebijakan dan aksi. “Membaca Bumi” harus menjadi landasan dari semua upaya kita—karena hanya dengan memahami realitas yang diberikan oleh alam, kita dapat mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi masa depan kita dan generasi mendatang. Dalam akhir hari, krisis manusia yang dimaksud adalah krisis kesadaran—dan hanya dengan mengatasi kesadaran itu, kita dapat berharap untuk mengatasi krisis yang lebih besar yang menghadapi kita.




