![]()

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH
Pengamat Politik Indonesia
Gugatan yang diajukan oleh mahasiswa terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan sebuah langkah progresif dalam upaya memperkuat akuntabilitas publik dan kedaulatan rakyat dalam sistem perwakilan di Indonesia. Permohonan uji konstitusionalitas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3, yang diajukan oleh Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna, mencerminkan kepedulian generasi muda terhadap kualitas demokrasi dan efektivitas lembaga perwakilan.
Secara filosofis, gugatan ini menyentuh esensi dari konsep kedaulatan rakyat (people’s sovereignty) yang menjadi fondasi negara demokrasi. Kedaulatan rakyat mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dan rakyat berhak untuk menentukan arah dan kebijakan negara melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan. Namun, dalam praktiknya, hubungan antara rakyat dan wakil rakyat seringkali terdistorsi oleh berbagai faktor, seperti kepentingan partai politik, praktik politik uang, dan lemahnya mekanisme akuntabilitas.
Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 mengatur mengenai mekanisme pemberhentian anggota DPR RI. Dalam pasal tersebut, pemberhentian anggota DPR RI hanya dapat dilakukan jika yang bersangkutan mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan oleh partai politiknya. Pasal ini dinilai oleh para pemohon tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, karena menutup ruang bagi rakyat (konstituen) untuk secara langsung memberhentikan anggota DPR RI yang dianggap tidak memenuhi aspirasi atau melakukan pelanggaran.
Secara yuridis, para pemohon berargumen bahwa Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Para pemohon berpendapat bahwa dengan tidak adanya mekanisme pemberhentian anggota DPR RI oleh rakyat, maka kedaulatan rakyat menjadi tercederai. Selain itu, para pemohon juga berargumen bahwa Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menciptakan ketidakadilan, karena anggota DPR RI hanya bertanggung jawab kepada partai politiknya, bukan kepada konstituen yang telah memilihnya.
Secara politis, gugatan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat mekanisme check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan adanya mekanisme pemberhentian anggota DPR RI oleh rakyat, maka anggota DPR RI akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya dan lebih responsif terhadap aspirasi konstituen. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan efektivitas lembaga perwakilan.
Namun, perlu diingat bahwa mekanisme pemberhentian anggota DPR RI oleh rakyat bukanlah tanpa tantangan. Mekanisme ini harus dirancang secara cermat dan hati-hati untuk menghindari penyalahgunaan dan politisasi. Kriteria dan prosedur pemberhentian harus jelas dan objektif, serta melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil dan lembaga independen.
Sebagai kesimpulan, gugatan mahasiswa terhadap UU MD3 merupakan momentum penting untuk merefleksikan kembali makna kedaulatan rakyat dan akuntabilitas publik dalam sistem perwakilan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam menguji konstitusionalitas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 dan memberikan putusan yang adil dan bijaksana, demi mewujudkan demokrasi yang lebih berkualitas dan berkeadilan.




