“Efek Jera dan Penanggulangan: Memahami Pasal Korupsi dalam Konteks Penyalahgunaan Kewenangan Pejabat Publik”

Loading

OPINI: DAENG SUPRIYANTO SH MH

ADVOKAT/PENGACARA

Di tengah kancah tata pemerintahan yang mengedepankan asas keadilan, kejelasan, dan akuntabilitas, peristiwa korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik selalu menjadi sorotan yang menusuk hati dan merusak fondasi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara. Ketika kedua tersangka dalam kasus yang sedang diselidiki dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) yang disertai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas UU Tipikor, serta dipersubsidi dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dikaitkan dengan Pasal 15 Jo Pasal 12 huruf e UU Tipikor, hal ini bukan hanya merupakan tindakan hukum yang konsekuen, melainkan juga cerminan dari kompleksitas dinamika penyalahgunaan kewenangan yang telah menjadi kebiasaan yang mengkhawatirkan di kalangan pejabat publik.

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa Pasal 12 huruf e UU Tipikor secara spesifik mengatur tentang “penyalahgunaan kewenangan atau wewenang yang dimilikinya sebagai pejabat atau pejabat negara untuk memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri atau orang lain atau kelompok orang tertentu yang menyebabkan kerugian bagi negara atau masyarakat”. Motif yang menjadi inti dari pasal ini adalah keinginan untuk memperoleh manfaat material atau non-material melalui jalan yang tidak sah, dengan memanfaatkan posisi dan wewenang yang diberikan oleh negara. Ketika pasal ini dikaitkan dengan UU 20/2001, yang memperkuat sanksi dan memperluas cakupan tindak pidana korupsi, serta dipersubsidi dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur tentang unsur kehendak dalam melakukan kejahatan, maka kita melihat kerangka hukum yang komprehensif yang bertujuan untuk menangkap setiap aspek dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan. Penambahan Pasal 15 Jo Pasal 12 huruf e UU Tipikor selanjutnya memperkuat posisi hukum tersebut dengan mengatur tentang pertanggungjawaban pidana bagi setiap orang yang membantu atau menyertai dalam pelaksanaan tindak pidana korupsi tersebut.

Apa yang paling menyedihkan adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh kedua tersangka ini bukanlah kasus isolasi. Sebaliknya, penyalahgunaan kewenangan berdasarkan motif yang sama seringkali dilakukan oleh pejabat publik di berbagai tingkatan dan bidang. Fenomena ini muncul akibat interaksi antara beberapa faktor yang saling melengkapi: pertama, kekurangan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem tata kelola lembaga, yang menciptakan ruang bagi pejabat untuk bertindak secara sembunyi-sembunyi tanpa dipantau; kedua, tingkat kesadaran hukum yang rendah di antara sebagian pejabat, yang membuat mereka tidak menyadari bahwa setiap tindakan yang melanggar aturan akan memiliki konsekuensi hukum yang berat; ketiga, budaya “berbagi” atau “gratifikasi” yang telah mendarah daging dalam beberapa lingkungan kerja, yang dianggap sebagai hal biasa dan tidak dianggap sebagai bentuk korupsi; keempat, kekurangan sistem pengawasan yang efektif dari lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terkadang menghadapi hambatan dalam melaksanakan tugasnya; dan kelima, tingkat sanksi yang belum cukup memberikan efek jera bagi mereka yang ingin melakukan kejahatan korupsi, baik dari sisi pidana penjara maupun denda yang diberikan.

Dari perspektif intelektual, penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat publik bukan hanya masalah hukum semata, melainkan juga masalah sosial, budaya, dan politik. Ini adalah tanda dari kelemahan dalam sistem tata pemerintahan yang gagal menciptakan lingkungan di mana pejabat merasa bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Ini juga mencerminkan krisis kepercayaan yang terjadi antara masyarakat dan negara, di mana masyarakat semakin skeptis terhadap kemampuan lembaga negara untuk melindungi kepentingan mereka. Selain itu, penyalahgunaan kewenangan juga memiliki dampak ekonomi yang parah, karena ia menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi investasi, dan meningkatkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Setiap rupiah yang dicuri atau dimanfaatkan secara tidak sah oleh pejabat publik adalah rupiah yang seharusnya digunakan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat, seperti membangun infrastruktur, meningkatkan layanan kesehatan, dan pendidikan.

Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat publik secara terus menerus, perlu dilakukan upaya yang komprehensif dan terintegrasi, yang melibatkan berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga pengawas, masyarakat sipil, maupun swasta. Berikut adalah beberapa saran dan masukan yang dapat dipertimbangkan:

Pertama, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam semua proses pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan sistem informasi publik yang terbuka, di mana semua data dan informasi tentang keuangan, program, dan kegiatan lembaga negara dapat diakses oleh masyarakat secara bebas. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan internal yang ketat di dalam setiap lembaga, dengan membentuk tim pengawas yang independen dan berwenang untuk memantau aktivitas pejabat.

Kedua, peningkatan pendidikan dan pelatihan hukum di antara pejabat publik. Setiap pejabat harus diberikan pelatihan tentang hukum dan etika pemerintahan sejak awal memasuki jabatan, serta pelatihan berkala untuk memperbarui pengetahuan mereka. Hal ini akan membantu mereka memahami hak dan kewajiban mereka sebagai pejabat negara, serta konsekuensi hukum yang akan ditanggung jika melanggar aturan.

Ketiga, perbaikan budaya kerja di dalam lembaga negara. Harus dibangun budaya yang menghargai kebenaran, kejujuran, dan tanggung jawab, di mana gratifikasi dan penyalahgunaan kewenangan tidak dianggap sebagai hal biasa. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan penghargaan kepada pejabat yang bekerja dengan baik dan jujur, serta menindak tegas mereka yang melanggar etika.

Keempat, pemberdayaan lembaga pengawas untuk bekerja lebih efektif dan independen. Lembaga seperti KPK, BPKP, dan BPK harus diberikan wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugasnya, serta dukungan anggaran dan sumber daya manusia yang memadai. Selain itu, perlu juga dilakukan upaya untuk menghindari campur tangan politik dalam pekerjaan lembaga pengawas, agar mereka dapat bekerja secara objektif dan netral.

Kelima, pemberian sanksi yang tegas dan efektif bagi pelaku korupsi. Sanksi yang diberikan harus cukup berat untuk memberikan efek jera bagi mereka yang ingin melakukan kejahatan, serta menjadi contoh bagi orang lain. Selain sanksi pidana penjara dan denda, juga perlu dipertimbangkan sanksi non-pidana seperti pencabutan hak politik, pencabutan gelar akademik, dan pemblokiran akun keuangan.

Enam, pemberdayaan masyarakat sipil untuk berperan aktif dalam memantau aktivitas pejabat publik. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk melaporkan setiap kecurigaan tentang korupsi, serta dilindungi dari tindakan balas dendam. Selain itu, perlu juga dilakukan kampanye peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi dan pentingnya berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.

Ketujuh, penerapan teknologi informasi untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. Teknologi seperti sistem e-government, e-procurement, dan e-budgeting dapat membantu mengurangi ruang bagi korupsi dengan membuat proses pemerintahan lebih transparan dan terkontrol.

Selain saran-saran di atas, efek jera juga dapat diciptakan melalui beberapa cara, antara lain: pertama, penegakan hukum yang konsisten dan tegas, di mana setiap pelaku korupsi, tanpa memandang jabatan dan statusnya, akan ditindak tegas sesuai hukum. Kedua, publikasi nama dan kasus pelaku korupsi kepada masyarakat, agar mereka menjadi terkenal dan malu dengan perbuatannya. Ketiga, penyebaran informasi tentang dampak korupsi kepada masyarakat, agar mereka memahami betapa parahnya akibat dari kejahatan ini. Keempat, pembentukan komunitas pejabat yang jujur dan bertanggung jawab, yang saling mendukung dan memantau untuk bekerja dengan baik.

Secara keseluruhan, pemberantasan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat publik adalah tugas yang sulit dan membutuhkan waktu, tetapi bukan tidak mungkin. Dengan melakukan upaya yang komprehensif dan terintegrasi, serta dukungan dari semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan di mana pejabat publik bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, dan untuk kepentingan masyarakat. Penerapan Pasal 12 huruf e UU Tipikor dan pasal-pasal terkaitnya adalah langkah awal yang penting dalam hal ini, tetapi perlu dilengkapi dengan upaya-upaya lain untuk memastikan bahwa kejahatan korupsi tidak terjadi lagi secara terus menerus. Kita harus ingat bahwa negara adalah milik semua masyarakat, dan setiap pejabat publik adalah pelaksana tugas untuk memajukan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk memperoleh manfaat pribadi.

 

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Sishankamrata Sebagai Landasan Epistemologis dan Praktis Pertahanan Bangsa dalam Wacana Menhan Sjafrie Sjamsoeddin

Jum Des 12 , 2025
Opini: Daeng Supriyanto SH MH Pengamat pertahanan negara Kuliah umum yang disampaikan Menhan RI Sjafrie Sjamsoeddin di Universitas Hasanuddin (Unhas) pada Selasa (9/12) tidak hanya menjadi ajakan retoris untuk mengingat konsep pertahanan yang sudah ada, melainkan juga wacana intelektual yang mengedepankan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) sebagai kerangka […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI