![]()

Opini Daeng Supriyanto SH MH
Ketua Organisasi Cabor PORDASI Sumatera Selatan
Di tengah kegembiraan publik Indonesia yang menyambut keberhasilan agregat perolehan medali di SEA Games 2025—91 emas, 111 perak, dan 131 perunggu yang bahkan melebihi target yang dicanangkan Kemenpora muncul sebuah kontroversi yang mengajak kita untuk merenungkan lebih dalam tentang esensi pembinaan olahraga nasional. Seperti yang dilaporkan oleh CNN Indonesia dari Jakarta pada Senin (22/12/2025), Deputi IV Kemenpora, Surono, menyatakan akan memberikan hukuman bagi Timnas Indonesia U-23 dan cabang olahraga (cabor) yang gagal meraih target medali, dengan salah satu bentuk sanksi yang diumumkan adalah penghentian pendanaan pelatihan nasional (pelatnas). Fenomena ini menimbulkan tanya-tanya mendasar tentang hubungan antara target kuantitatif, kebijakan insentif dan sanksi, serta keberlanjutan pengembangan olahraga di negara ini—suatu topik yang membutuhkan analisis intelektual yang komprehensif dan tidak sederhana.
Pertama-tama, kita harus memahami konteks di mana kebijakan ini muncul. Kemenpora telah “petakan” kinerja setiap cabor, membaginya menjadi tiga kategori: yang tidak sesuai target, yang sesuai target, dan yang melampaui target. Di antara yang gagal memenuhi harapan adalah Timnas Indonesia U-23 sepak bola, yang tidak mampu meraih target medali perak yang ditetapkan. Pada permukaan, kebijakan hukuman ini tampak sebagai wujud akuntabilitas—sebuah upaya untuk memastikan bahwa setiap cabor yang menerima dukungan negara memberikan hasil yang sebanding dengan sumber daya yang diberikan. Dari perspektif manajemen organisasi, konsep ini tidak asing: insentif dan sanksi adalah alat yang umum digunakan untuk mendorong kinerja. Namun, ketika diterapkan pada ranah olahraga, di mana faktor-faktor tidak terduga (seperti cedera atlet, keberuntungan dalam pertandingan, dan kualitas persaingan) memiliki peran yang signifikan, kebijakan ini berpotensi menjadi sebuah dilema yang kompleks.
Dari sudut pandang teori sosiologi olahraga, kebijakan hukuman semacam ini mencerminkan paradigma “prestasi pertama” yang telah mendominasi pembinaan olahraga nasional di banyak negara, termasuk Indonesia. Paradigma ini mengutamakan pencapaian medali sebagai indikator utama keberhasilan, seringkali mengorbankan aspek-aspek lain yang tidak kurang penting, seperti pengembangan basis olahraga, pendidikan atlet, dan kesejahteraan mental dan fisik mereka. Ketika sanksi berupa penghentian pendanaan pelatnas diberikan, kita tidak hanya memberhentikan pelatihan untuk atlet saat ini, tetapi juga memutus aliran pembinaan generasi mendatang. Ini adalah keputusan yang memiliki konsekuensi jangka panjang, karena pengembangan olahraga adalah proses yang berkelanjutan dan membutuhkan waktu, bukan sesuatu yang dapat dihasilkan secara instan melalui tekanan dan sanksi.
Selain itu, kita harus mempertimbangkan ketidakadilan yang potensial dalam penerapan kebijakan ini. Apakah target yang ditetapkan untuk setiap cabor realistis dan seimbang? Apakah ada perbedaan sumber daya yang diberikan kepada setiap cabor yang harus dipertimbangkan? Misalnya, cabor sepak bola—yang selalu menjadi sorotan publik dan menerima dukungan yang lebih besar dibandingkan banyak cabor lain—diberikan target yang lebih tinggi, tetapi juga menghadapi persaingan yang jauh lebih ketat di kawasan. Sebaliknya, cabor yang kurang populer dan menerima sumber daya yang lebih sedikit mungkin diberikan target yang lebih rendah, sehingga lebih mudah untuk mencapainya. Dalam konteks ini, hukuman yang diberikan kepada cabor yang gagal target mungkin tidak selalu mencerminkan kurangnya usaha atau kemampuan, tetapi lebih kepada faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan atau ketidakseimbangan dalam penentuan target.
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah dampak psikologis dari kebijakan hukuman ini pada atlet dan pengelola cabor. Ketika atlet mengetahui bahwa kegagalan meraih target akan mengakibatkan penghentian pendanaan pelatnas, mereka akan menghadapi tekanan yang luar biasa—tekanan yang berpotensi merusak kinerja mereka daripada meningkatkan itu. Dari perspektif psikologi olahraga, tekanan yang berlebihan dapat menyebabkan kecemasan, kelelahan, dan bahkan burnout pada atlet. Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi menciptakan budaya yang tidak sehat di dalam lingkungan olahraga nasional—budaya di mana kegagalan dilihat sebagai kejelekan yang harus dihukum, bukan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pembelajaran dan pengembangan manusia, di mana kegagalan adalah bagian tak terpisah dari proses menuju keberhasilan.
Di sisi lain, kita tidak dapat mengabaikan argumen yang mendukung kebijakan ini. Beberapa orang berpendapat bahwa hukuman adalah alat yang perlu untuk memastikan akuntabilitas dan efisiensi dalam penggunaan anggaran negara. Dalam konteks di mana anggaran untuk olahraga terbatas, mereka berpendapat bahwa sumber daya harus diberikan kepada cabor yang memiliki potensi lebih besar untuk meraih prestasi. Dari perspektif ini, kebijakan hukuman adalah bentuk seleksi alami—yang kuat tetap bertahan, yang lemah tergeser. Namun, argumen ini melupakan fakta bahwa pengembangan olahraga nasional tidak hanya tentang meraih medali, tetapi juga tentang mempromosikan aktivitas fisik, membangun karakter, dan meningkatkan citra nasional. Cabor yang tidak selalu meraih medali masih dapat memberikan kontribusi yang berharga dalam hal ini, dan penghentian pendanaan dapat menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk berkembang dan memberikan manfaat yang lebih luas.
Kita juga harus membandingkan kebijakan ini dengan praktik di negara-negara lain. Di banyak negara maju, pembinaan olahraga lebih berfokus pada pengembangan basis, pendidikan atlet, dan penelitian dan pengembangan. Meskipun target medali juga penting, mereka tidak dianggap sebagai satu-satunya indikator keberhasilan. Insentif diberikan untuk prestasi, tetapi sanksi yang ekstrem seperti penghentian pendanaan jarang digunakan. Sebaliknya, negara-negara ini cenderung memberikan dukungan berkelanjutan kepada cabor, bahkan ketika mereka mengalami masa-masa sulit, dengan keyakinan bahwa pengembangan jangka panjang akan menghasilkan hasil yang lebih baik di masa depan. Ini adalah pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan, yang mempertimbangkan bukan hanya hasil saat ini, tetapi juga potensi masa depan.
Dalam konteks keberhasilan agregat Indonesia di SEA Games 2025, kebijakan hukuman ini menjadi lebih menarik. Meskipun negara ini telah meraih kesuksesan secara keseluruhan, Kemenpora masih memilih untuk memberlakukan sanksi pada cabor yang gagal target. Ini menunjukkan bahwa paradigma “prestasi pertama” masih sangat kuat, bahkan ketika target kuantitatif secara keseluruhan telah tercapai. Dari perspektif intelektual, ini adalah tanda bahwa kita masih memiliki jalan panjang untuk pergi dalam memahami esensi olahraga dan perannya dalam masyarakat. Olahraga bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi juga tentang semangat persaingan yang sehat, kerja sama tim, dan pengembangan diri.
Sebagai kesimpulan, kebijakan hukuman Kemenpora terhadap Timnas Indonesia U-23 dan cabor yang gagal target di SEA Games 2025 adalah sebuah isu yang kompleks dan membutuhkan refleksi intelektual yang mendalam. Meskipun kebijakan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memastikan akuntabilitas, ia juga berpotensi menimbulkan masalah seperti ketidakadilan, dampak psikologis yang negatif, dan pelanggaran terhadap prinsip pengembangan olahraga yang berkelanjutan. Kita perlu mempertimbangkan dengan cermat hubungan antara target kuantitatif, kebijakan insentif dan sanksi, serta tujuan yang sebenarnya dari pembinaan olahraga nasional. Hanya dengan cara ini, kita dapat membuat kebijakan yang tidak hanya mendorong prestasi, tetapi juga mempromosikan keberlanjutan, kesejahteraan, dan nilai-nilai yang lebih dalam dalam olahraga Indonesia. Semasa menunggu pengumuman bentuk sanksi yang spesifik, kita harap Kemenpora juga akan mempertimbangkan aspek-aspek ini dan membuat keputusan yang bijak dan berkelanjutan untuk masa depan olahraga nasional.




