![]()

Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan
Di tengah upaya penegakan tata kelola keuangan negara dan penanggulangan kerugian negara yang ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), muncul konflik yang mendalam antara prinsip hukum dan nilai-nilai kemanusiaan di Sulawesi Tenggara. Kasus eksekusi aset temuan BPK oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara—yang melibatkan aset milik keluarga Nur Alam—tidak hanya menjadi perdebatan publik yang hangat, tetapi juga menjadi titik temu refleksi intelektual yang mendalam terkait dinamika antara kewajiban negara untuk memulihkan aset yang terindikasi kerugian dan hak keluarga untuk memperoleh perlakukan yang manusiawi. Fenomena ini mengungkapkan kompleksitas perjuangan antara keadilan formal dan keadilan material, di mana kepatuhan terhadap aturan hukum bertemu dengan realitas sosial yang penuh dengan penderitaan dan ketidaksetaraan.
Pertama-tama, kita harus memahami signifikansi intrinsik dari eksekusi aset temuan BPK dalam konteks sistem pengawasan keuangan negara. BPK sebagai lembaga pengawas keuangan negara memiliki tugas mendasar untuk memeriksa kinerja keuangan pemerintah dan mengidentifikasi kerugian negara yang disebabkan oleh pelanggaran peraturan perundang-undangan. Setelah temuan BPK disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Pemprov memiliki kewajiban hukum untuk menindaklanjuti eksekusi aset yang terindikasi menjadi sumber kerugian negara. Dari perspektif teori hukum pidana ekonomi, eksekusi aset ini merupakan bentuk sanksi yang efektif untuk mencegah korupsi dan memastikan bahwa pelaku pelanggaran tidak mendapatkan keuntungan dari tindakannya. Namun, dari sudut pandang intelektual yang lebih luas, kita juga harus mempertimbangkan apakah proses eksekusi ini telah sepenuhnya mempertimbangkan aspek kemanusiaan, terutama ketika aset yang akan dieksekusi menjadi satu-satunya sumber nafkah bagi keluarga yang tidak terlibat dalam pelanggaran tersebut. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah keharusan memulihkan aset negara seharusnya mengorbankan hak keluarga untuk hidup layak dan memperoleh perlakukan yang adil?
Kedua, kita harus mempertimbangkan latar belakang kasus yang melibatkan keluarga Nur Alam. Menurut informasi yang beredar, aset yang akan dieksekusi termasuk tanah, bangunan, dan sejumlah barang berharga yang menjadi properti keluarga Nur Alam. Keluarga tersebut menyatakan bahwa aset tersebut diperoleh melalui usaha yang sah dan tidak terkait dengan kerugian negara yang ditetapkan oleh BPK. Mereka juga mengaku bahwa eksekusi aset akan menyebabkan keluarga kehilangan sumber nafkah dan terpaksa hidup dalam kesulitan. Dalam konteks ini, permintaan keluarga Nur Alam untuk langkah humanis dari Pemprov Sulawesi Tenggara adalah respons yang wajar terhadap ancaman yang menghadang mereka. Dari perspektif teori hak asasi manusia, setiap orang memiliki hak untuk hidup layak, mendapatkan makanan, tempat tinggal, dan pelayanan kesehatan—hak-hak yang dapat terganggu jika aset yang menjadi sumber nafkah mereka dieksekusi tanpa pertimbangan yang memadai. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab negara terhadap keluarga yang tidak terlibat dalam pelanggaran, apakah mereka berhak mendapatkan perlindungan dari konsekuensi negatif yang disebabkan oleh tindakan individu yang terlibat dalam kerugian negara.
Ketiga, kita harus memahami dinamika antara Pemprov Sulawesi Tenggara sebagai pihak yang bertugas mengeksekusi dan keluarga Nur Alam sebagai pihak yang terkena dampak. Pemprov, sebagai lembaga eksekutif, terikat oleh kewajiban hukum untuk menindaklanjuti temuan BPK dan memulihkan aset negara. Namun, dari perspektif teori tata kelola pemerintahan, lembaga pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk bertindak dengan rasa kemanusiaan dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat. Dalam kasus ini, terdapat kesenjangan antara kewajiban hukum dan kewajiban sosial yang harus diatasi oleh Pemprov. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa Pemprov memiliki kewenangan untuk memberikan penundaan eksekusi atau mencari solusi alternatif yang lebih manusiawi, seperti menyetorkan sebagian aset atau memberikan kesempatan kepada keluarga untuk membayar kerugian negara secara bertahap. Dari perspektif intelektual, hal ini menunjukkan bahwa penerapan hukum tidak selalu harus bersifat tegas dan tidak fleksibel, tetapi dapat disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap kasus untuk mencapai tujuan keadilan yang lebih luas.
Keempat, kita harus mempertimbangkan implikasi yang lebih luas dari kasus ini terhadap sistem pengawasan keuangan negara dan hubungan antara negara dan masyarakat. Jika eksekusi aset dilakukan tanpa pertimbangan kemanusiaan, hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara dan membuat mereka merasa bahwa sistem hukum tidak memihak kepada orang biasa. Sebaliknya, jika Pemprov memberikan perlakukan humanis kepada keluarga Nur Alam, hal ini dapat menjadi contoh bagi lembaga lain untuk mempertimbangkan aspek sosial dalam menindaklanjuti temuan BPK. Dari perspektif sosiologis, kasus ini juga menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara negara yang memiliki wewenang hukum dan masyarakat yang rentan terhadap tindakan negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sistem hukum dapat dirancang untuk melindungi hak-hak masyarakat sambil tetap memelihara kewajiban negara untuk mempertahankan integritas keuangan.
Kelima, kita harus mempertimbangkan upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi konflik antara prinsip hukum dan nilai-nilai kemanusiaan dalam kasus eksekusi aset temuan BPK. Dari sisi regulasi, diperlukan perbaikan peraturan perundang-undangan yang mengatur eksekusi aset agar lebih memperhatikan aspek kemanusiaan. Peraturan harus memberikan kewenangan kepada lembaga eksekutif untuk mencari solusi alternatif yang lebih manusiawi tanpa mengorbankan tujuan memulihkan aset negara. Dari sisi Pemprov Sulawesi Tenggara, diperlukan penilaian yang cermat terhadap kondisi keluarga Nur Alam dan upaya untuk berkomunikasi dengan mereka secara terbuka dan jujur. Selain itu, juga diperlukan partisipasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam memantau proses eksekusi dan memberikan masukan untuk memastikan bahwa proses tersebut berjalan dengan adil dan manusiawi. Dari perspektif teori keadilan, semua upaya ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara dan hak keluarga, sehingga keadilan dapat dicapai tidak hanya dalam bentuk hukum, tetapi juga dalam bentuk realitas sosial.
Namun, kita juga tidak boleh mengabaikan sisi lain dari masalah ini. Beberapa orang berpendapat bahwa memberikan perlakukan humanis kepada keluarga Nur Alam dapat menurunkan efektivitas penegakan hukum dan memberikan kesempatan bagi pelaku pelanggaran untuk lolos dari konsekuensi tindakannya. Mereka berpendapat bahwa aset yang terindikasi kerugian negara harus dieksekusi tanpa pandang bulu untuk memberikan efek jera kepada orang lain yang ingin melakukan pelanggaran. Dari perspektif intelektual, hal ini menunjukkan bahwa terdapat trade-off yang harus dihadapi antara keefektifan penegakan hukum dan nilai-nilai kemanusiaan. Masalah utama adalah bagaimana menemukan titik keseimbangan yang tepat antara kedua nilai ini agar sistem hukum tetap efektif sambil tetap mempromosikan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai kesimpulan, kasus eksekusi aset temuan BPK oleh Pemprov Sulawesi Tenggara dan permintaan keluarga Nur Alam untuk langkah humanis adalah peristiwa yang signifikan yang mengungkapkan kompleksitas perjuangan antara prinsip hukum dan nilai-nilai kemanusiaan. Fenomena ini tidak hanya menjadi perdebatan publik, tetapi juga menjadi titik temu refleksi intelektual yang mendalam terkait dinamika antara negara dan masyarakat, hak asasi manusia, dan keadilan. Meskipun terdapat tantangan yang besar dalam mengatasi konflik ini, upaya untuk menemukan solusi yang seimbang adalah penting untuk memastikan bahwa sistem hukum Indonesia tetap adil, manusiawi, dan memihak kepada semua warga negara. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, makmur, dan damai di mana hak-hak setiap orang dihormati dan dilindungi.




