Oleh : Daeng Supriyanto
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.
Menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Selanjutnya untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.
Dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi atau PDPDE Sumsel 2010-2019 di Pengadilan Negeri Palembang, yang dimulai pada Kamis 3 Februari 2022.
Kasus ini berawal dari dakwaan Jaksa yang menemukan terdapat beberapa hal yang patut diduga sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa Alex Noerdin (mantan Gubernur Sumatera Selatan), Muddai Madang (mantan Direktur PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) merangkap Direktur Utama PDPDE Sumatera Selatan), Caca Ica Saleh S (mantan Direktur Utama PDPDE dan mantan Direktur Utama PDPDE gas), dan terdakwa A Yaniarsyah Hasan (mantan Direktur PT Dika Karya Lintas Nusantara (DKLN) merangkap Direktur PT PDPDE Gas, mantan Direktur Utama PDPDE Sumsel).
Dalam Persidangan JPU menceritakan bahwa kasus tersebut dimulai saat Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memperoleh alokasi untuk membeli gas bumi bagian negara dari PT. Pertamina, Talisman Ltd. Pasific Oil and Gas Ltd., Jambi Merang (JOB Jambi Merang) sebesar 15 MMSCFD berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengelola Minyak Dan Gas (BP MIGAS) atas permintaan Gubernur Sumatera Selatan pada tahun 2010.
Bahwa berdasarkan keputusan Kepala BP Migas tersebut yang ditunjuk sebagai pembeli gas bumi bagian negara tersebut adalah BUMD Provinsi Sumatera Selatan yaitu PDPDE Sumsel.
Akan tetapi dengan dalih PDPDE Sumatera Selatan tidak mempunyai pengalaman teknis dan dana, maka PDPDE Sumatera Selatan bekerja sama dengan investor swasta, PT Dika Karya Lintas Nusa (PT DKLN) membentuk perusahaan patungan (PT PDPDE Gas) yang komposisi kepemilikan sahamnya 15 persen untuk PDPDE Sumatera Selatan dan 85 persen untuk PT DKLN. Dan dakwaan jaksa dikuatkan dengan hasil perhitungan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan RI terdapat kerugian keuangan negara senilai USD 30.194.452.79.
Besaran tersebut berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasional selama kurun waktu 2010 – 2019, yang seharusnya diterima oleh PDPDE Sumatera Selatan. Adapun dalam kasus tersebut para terdakwa dikenakan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tidak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang (UU) nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Dengan tuntutan berpariasi dari 18 hingga 20 tahun penjara.
- H. Ahmad Yaniarsyah Hasan, SE., MM. salah seorang terdakwa perkara dugaan korupsi PDPDE Sumsel, membantah semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut dirinya dengan tuntutan 18 tahun perjara ditambah hukuman tambahan 9 tahun.
“Saya, membantu BUMD PDPDE Sumsel yang saat itu hanya memiliki asset Rp 62 Miliar padahal untuk investasi bisnis gas ini membutuhkan raturan Milyar dan sarana dan prasarana yang cukup semua kita biayai, semua prasyarat yang ditetapkan BP Migas (Sekarang SKK Migas-red) tak ada uang negara, sehingga tak ada kerugian negara, yang ada hanya keuntungan negara dan daerah saya, Sumatera Selatan,” ujar Ahmad Yaniarsyah, ketika membaca nota pembelaan (pledoi) pribadinya, di hadapan Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Palembang.
Menurut Ahmad Yaniarsyah Hasan, fee marketing yang diterima olehnya dan kawan-kawan, semua telah diperjanjikan sebelumnya, itu merupakan kebijakan dari pemegang saham mayoritas dan diputuskan dalam RUPS.
Melalui Nota Pembelaan (Pledoi) Pribadinya, AYH banyak juga mengutip pendapat-pendapat Ahli hukum baik yang hadir sebagai ahli dalam perkaranya, juga ahli yang memberikan pendapat hukum, antara lain Prof Dr. Edward Omar Sharif Hiariej SH. M Hum (Guru Besar Hukum Pidana UGM/Wakil Menteri Hukum dan HAM), Prof. Akhmad Syakhroza, SE, MAFIS., CA, CRGP, Ph.D. (Guru Besar Corporate Governance dan Akuntansi UI), Dr. Mailinda Eka Yuniza, SH., LLM., (Ahli Hukum Administrasi Negara dan Hukum Energi /Pembantu Dekan II Fakultas Hukum UGM), Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, SH., MH., Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara UI) dan Dr, Mudzakkir (Ahli Hukum Pidana UII Yogyakarta). Para ahli hukum ini telah memberikan pendapat/opini hukum dan keterangan sebagai Ahli dalam perkara ini, yang pokoknya perkara PDPDE Sumsel bukanlah perkara pidana dan tidak ditemukan adanya keungan negara atau kerugian perkara. “Semua ahli sudah berpendapat, bahwa dalam kasus ini bukan kasus pidana, dan tidak ada keuangan atau kerugian negara,” kata Ifdhal Kasim, Penasihat Hukum AYH.
Menurut Ifdhal Kasim, pihaknya juga sudah menjelaskan kepada Majelis Hakim tentang semua hal mengenai kasus ini, baik fakta persidangan, Analisa terhadap fakta persidangan, Analisa yuridis maupun permohonan kami selaku penasihat hukum. “Pada intinya, kami melihat, Pak Yaniarsyah itu korban salah sasaran.
Banyak sekali kejanggalan dalam perkara ini terungkap di persidangan, kata Ifdhal, oleh karena itu, pihaknya dalam naskah nota pembelaan setebal 281 hal itu, telah memohon kepada Majelis Hakim untuk membebaskan AYH dari segala tuntutan hukum. Karena menurutnya tidak ada pasal pidana yang bisa diberikan kepadanya, mereka pengusaha, investor, pakai uang sendiri membangun bisnis ini.
Sementara itu rekan Ifdhal, Aristo Seda SH MH menambahkan, dalam perkara kliennya, sangat susah baginya untuk menemukan unsur pidana, baik dari sisi perbuatan melawan hukum maupun dari aspek keuangan negara. Aristo mengutip pendapat Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej, yang mengatakan bahwa dari segi teori hukum keuangan negara, kekayaan negara/daerah adalah kekayaan sudah dipisahkan pada BUMN/BUMD, sudah tidak lagi merupakan kekayaan negara/daerah, karena telah terjadi transformasi hukum yang disebut dengan methamorphose hukum. “Apabila pembagian fee dan bonus di perusahaan swasta PT PDPDE Gas oleh pemegang saham mayoritas (PT DKLN -red) adalah sesuatu yang diperjanjikan, maka perlu dipahami bahwa terkait perjanjian tersebut berlaku asas pacta sun servanda, suatu perjanjian bersifat mengikat terhadap para pihak layaknya sebuah undang-undang,” tegasnya. “Haruslah dipahami, dengan asas pacta sun servanda tersebut, maka perbuatan tersebut hanya melaksanakan perjanjian yang sudah dibuat, dan tentunya menjadi tidak bersifat melawan hukum” imbuh Aristo Seda.
Advokat J Kamal Farza SH MH mengatakan, kasus ini tantangan berat bagi Majelis Hakim, karena disatu sisi terdakwa beserta keluarganya meletakkan harapan kepada Majelis Hakim, disisi lain JPU menuntut maksimal perkara yang ga ditemukan unsur pidana ini. Dan menurutnya majelis hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan akan memutus perkara ini dengan seadil-adilnya.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Bapak Dr. Harifin A. Tumpa, S.H., lanjut Kamal, tidak sependapat jika pembebasan Terdakwa kasus korupsi dipermasalahkan. Jika memang tidak terbukti bersalah, seorang Terdakwa tidak bisa dihukum, kalau tidak terbukti boleh bebas. “Keadilan tidak melulu dari Hakim yang memvonis Terdakwa, Hakim bahkan tidak berlaku adil jika memvonis Terdakwa yang tidak bersalah,” imbuhnya.
Namun seandainya JPU berpendapat Joint Venture Agreement (JVA) sebagai dasar perjanjian jual beli gas tersebut tidak sah atau hasil dari perbuatan melawan hukum, di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Ahli Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI HENDRATNA MUTAQIN, Ahli tersebut menerangkan bahwa ada 8 (orang) orang dan 1 (satu) badan hukum yang juga menerima fee Gas dari PT. PDPDE Gas, yang juga dikualifisir sebagai tindakan penyimpangan.
Menjadi pertanyaannya, mengapa dalam perkara aquo yang didudukan sebagai Terdakwa hanya Terdakwa Ahmad Yaniarsyah Hasan, Terdakwa Alex Noerdin, Terdakwa Muddai Madang, dan Terdakwa Caca Isa Saleh. Lalu bagaimana dengan 8 (delapan) orang lainnya dan 1 (satu) Badan hukum yang ikut disebutkan dalam hasil audit BPK RI yang juga telah melakukan penyimpangan akan tetapi hingga hari ini menjelang Putusan Perkara aquo tidak kunjung ditetapkan sebagai Tersangka.
Adapun nama-nama penerima fee dalam perhitungan BPK antara lain Said August Putra, selaku Direktur Utama PT DKLN periode 2009-2014, Firdaus Noor, selaku direktur CV Energi Lestari, Djauhar Maulidi, selaku perwakilan PT Rukun Raharja, Tbk. Arief Kadarsyah, selaku Direktur Utama PDPDE SUMSEL periode 2018-2019, Adrian Utama Gani, selaku Direktur Keuangan PT PDPDE GAS periode 2015 PT Rukun Raharja, Tbk, Yasser Arafat, selaku Direktur PT PDPDE GAS, periode 2016-sekarang, Indra, selaku pegawai Talisman Energy (Jambi Merang) Ltd, dan Ivo Wongkaren, selaku Direktur PT Mulya Tara Mandiri sampai dengan sekarang.
Pasti sangat berat bagi hakim untuk membuat putusan, tapi hakim adalah manusia paling independen di bumi, ia wakil Tuhan dalam memberikan keadilan. Disatu sisi, fakta hukum yang kurang menyakinkan, ditambah dengan penderitaan para para terdakwa yang ditahan sekian lama Disisi lain, kepada majelis disuguhkan tuntutan berat JPU, yang mencengangkan, putusan majelis ini jika terdakwa dinyatakan bersalah, ini adalah ancaman serius terhadap para investor dan bisnis di Indonesia.
Presiden Republik Indonesia Ir. Jokowi Dodo menyampaikan dalam pidatonya “ Penegakan hukum harus tanpa pandang bulu, ini dilihat masyarakat loh. Masyarakat itu menilai dan persepsi kepuasan publik itu tercermin dalam setiap survei,” ujar Jokowi saat memberikan pengarahan kepada Kepala Kesatuan Wilayah di Bali, seperti dilihat di Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (3/12).
Pengertian putusan bebas dalam KUHAP harus dilihat dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP. Berdasarkan pasal ini disebutkan bahwa “Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka Terdakwa diputus bebas”.
Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bagaimana syarat-syarat suatu perkara dapat diputus bebas oleh Hakim, syarat tersebut yaitu “kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”. Apabila dihubungkan dengan Pasal 234 Jurnal Verstek Vol. 7 No. 3183 KUHAP, maka arti dari kalimat tersebut dalam Pasal 191 Ayat (1) adalah sama pengertiannya dengan Pertama, Hakim tidak memperoleh dua atau lebih alat bukti sah yang dapat digunakan untuk membentuk keyakinan tentang kesalahan Terdakwa
Kedua, meskipun ada dua atau lebih alat bukti yang digunakan, namun Hakim tidak dapat meyakini tentang kesalahan Terdakwa dari alat bukti tersebut dan Ketiga, Hakim yakin namun tidak memenuhi syarat minimal dua alat bukti yang sah. Kita berharap agar Putusan Majelis Hakim tidak mengesampingkan fakta-fakta yang di persidangan. Akankah Putusan Bebas Judex Facti Dalam Perkara PDPDE Gas Sumsel di dapatkan oleh para terdakwa ? .. kita tunggu saja kesimpulan akhir majelis hakim