![]()

Opini Daeng Supriyanto SH MH
Ketua Umum Indonesia Piclkeball Federation propinsi Sumatera Selatan
Di tengah sorotan publik yang membanjiri ajang SEA Games 2025 yang digelar Thailand, sebuah paradoks yang menarik muncul di permukaan: meskipun Negeri Gajah Putih secara statistik berhasil menjuarai klasemen medali dengan keunggulan yang mencolok—499 medali secara total, dengan 233 di antaranya adalah emas yang jauh melampaui pencapaian Indonesia yang menempati posisi kedua dengan 333 medali dan 91 emas—rasa hampa yang tak terhindarkan tetap menyelimuti keberhasilan tersebut. Sebagaimana dilaporkan oleh CNN Indonesia dari Jakarta, Indonesia menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada terjadinya nuansa sedemikian rupa, membuka cakrawala analisis yang lebih dalam tentang bagaimana prestasi agregat tidak selalu sebanding dengan kepuasan emosional dan pencapaian target strategis.
Menjadi tuan rumah untuk ketujuh kalinya, Thailand memasuki ajang ini dengan beban harapan yang berat: tidak hanya sukses dalam penyelenggaraan yang lancar dan menghargai martabat para peserta, tetapi juga sukses dalam prestasi yang dapat meningkatkan citra nasional dan memperkuat keunggulan di cabang olahraga yang dianggap simbolis. Dari hari pertama, Thailand telah menunjukkan dominasi yang tak terbantahkan di papan peringkat, mengumpulkan medali dari berbagai cabang dengan kecepatan dan konsistensi yang mengagumkan. Penyelenggaraan yang dipersiapkan dengan memanfaatkan prasarana yang ada dan direnovasi dengan standar tinggi—tanpa membangun infrastruktur baru yang boros anggaran—juga mendapatkan pujian dari berbagai pihak, membuktikan kemampuan Thailand dalam mengelola acara multi-cabang skala besar dengan efisiensi dan keahlian. Hal ini seolah-olah membuktikan bahwa target ganda yang ditetapkan oleh tuan rumah dapat tercapai dengan sempurna.
Namun, realitas ternyata lebih kompleks dari apa yang terlihat di permukaan. Tak semua berjalan mulus, dan di balik keberhasilan agregat tersebut, terdapat target yang gagal dicapai, bahkan ada sebuah incaran yang tergolong gagal total. Di sinilah peran Indonesia mulai terasa secara signifikan. Seperti yang dilansir dari berbagai sumber media, Thailand telah menargetkan empat emas dari cabang olahraga yang dianggap favorit dan memiliki nilai simbolis tinggi: sepak bola putra, sepak bola putri, futsal putra, dan futsal putri. Hasilnya ternyata sangat menyedihkan, karena Thailand tidak meraih satu emas pun dari keempat cabang tersebut. Di sepak bola putra, Thailand hanya mampu meraih medali perak setelah kalah 2-3 dari Vietnam di final. Di sepak bola putri, mereka harus puas dengan medali perunggu. Sedangkan di cabang futsal, Indonesia menjadi “pembunuh harapan” bagi tuan rumah.
Di futsal putri, timnas Indonesia mengalahkan Thailand di babak semifinal melalui adu penalti dengan skor 7-6 setelah hasil imbang 4-4 pada waktu normal, membuat Thailand gagal ke final dan hanya mampu mendapatkan medali perunggu. Di futsal putra, kemenangan yang lebih meyakinkan diraih oleh Indonesia dengan skor 6-1 pada laga terakhir dalam sistem pertandingan round robin, menempatkan tim merah putih di puncak klasemen dan membuat harapan Thailand menjadi juara pupus sepenuhnya. Kegagalan ini tidak hanya merupakan kekalahan dalam pertandingan semata, tetapi juga merupakan pukulan berat bagi harga diri Thailand sebagai tuan rumah dan kekuatan olahraga di kawasan. Seperti yang ditulis oleh Daily News, kegagalan di olahraga-olahraga favorit ini telah memengaruhi performa tim secara keseluruhan dan menimbulkan rasa kecewa yang mendalam di antara masyarakat Thailand.
Dari perspektif intelektual, fenomena ini mengajak kita untuk mempertimbangkan pertanyaan mendasar tentang apa itu keberhasilan dalam olahraga. Apakah keberhasilan hanya diukur dengan jumlah medali yang dikumpulkan, atau apakah ada elemen lain yang lebih penting, seperti pencapaian target strategis, prestasi di cabang olahraga yang memiliki nilai budaya dan simbolis, serta dampak emosional yang ditimbulkannya pada masyarakat? Di kasus Thailand, keberhasilan agregat mereka jelas tidak dapat disangkal, tetapi gagal mencapai target di cabang yang dianggap krusial telah mengubah makna dari keberhasilan tersebut. Ini menunjukkan bahwa dalam konteks olahraga nasional, prestasi tidak hanya merupakan hal statistik, tetapi juga merupakan bagian dari narasi budaya dan identitas nasional yang lebih luas.
Selain itu, peran Indonesia dalam menyebabkan rasa hampa ini juga menimbulkan pertanyaan tentang dinamika persaingan di kawasan Asia Tenggara. Pencapaian yang luar biasa dari Indonesia di cabang futsal, serta konsistensi mereka di berbagai cabang lain, menunjukkan bahwa negara ini telah menjadi kekuatan olahraga yang semakin penting dan tidak dapat diabaikan. Hal ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia di papan peringkat, tetapi juga memberikan tantangan bagi negara-negara lain di kawasan untuk terus meningkatkan kualitas atlet dan program pembinaan mereka. Persaingan yang sehat dan seimbang ini sebenarnya sangat bermanfaat untuk perkembangan olahraga di kawasan secara keseluruhan, karena ia mendorong setiap negara untuk memberikan yang terbaik dan terus berinovasi.
Namun, di sisi lain, peran Indonesia juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Thailand mempersiapkan diri untuk ajang ini. Apakah target yang ditetapkan terlalu tinggi dan tidak realistis? Apakah ada kekurangan dalam program pembinaan atlet, strategi pelatihan, atau manajemen tim yang menyebabkan kegagalan di cabang yang dianggap favorit? Atau apakah keberhasilan Indonesia hanyalah hasil dari kerja keras, keahlian, dan keberuntungan yang sempurna? Semua pertanyaan ini membutuhkan analisis yang mendalam dan evaluasi yang jujur dari pihak Thailand untuk meningkatkan kinerja di masa depan.
Dari sudut pandang penyelenggaraan, meskipun Thailand telah berhasil menyelenggarakan ajang ini dengan lancar dan profesional, terdapat juga beberapa masalah dan kontroversi yang muncul selama pelaksanaannya. Misalnya, ada kekhawatiran tentang peraturan yang tidak jelas, penjadwalan yang tidak optimal, dan masalah terkait fasilitas di beberapa venue. Meskipun masalah-masalah ini tidak secara langsung memengaruhi hasil klasemen medali, mereka telah memberikan dampak pada pengalaman para peserta dan penggemar, serta menimbulkan pertanyaan tentang kualitas penyelenggaraan secara keseluruhan.
Sebagai kesimpulan, keberhasilan Thailand di SEA Games 2025 adalah sebuah prestasi yang patut dipuji, tetapi rasa hampa yang menyelimutinya menunjukkan bahwa keberhasilan dalam olahraga adalah konsep yang kompleks dan multi-dimensi. Indonesia, sebagai salah satu penyebab dari terjadinya nuansa ini, telah menunjukkan bahwa ia adalah kekuatan olahraga yang semakin kuat dan tidak dapat diabaikan di kawasan Asia Tenggara. Persaingan yang sehat antara kedua negara ini, serta negara-negara lain di kawasan, akan terus mendorong perkembangan olahraga dan menciptakan ajang yang lebih menarik dan kompetitif di masa depan. Namun, untuk Thailand, kegagalan mencapai target strategis di cabang olahraga yang dianggap penting harus dijadikan pelajaran berharga untuk meningkatkan kinerja dan persiapan di ajang-ajang mendatang. Hanya dengan cara ini, mereka dapat memastikan bahwa keberhasilan yang mereka capai tidak hanya terukur dalam angka, tetapi juga dalam nilai-nilai yang lebih dalam dan berkelanjutan.




