![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
KETUA DPW Perkumpulan profesi pengacara Indonesia
Dalam tatanan negara hukum, lembaga penegak hukum khususnya kejaksaan memiliki peran sentral sebagai pelaksana keadilan, penjaga hukum, dan pemelihara integritas tatanan sosial. Namun, kasus yang diungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Hulu Sungai Utara, Albertinus Parlinggoman Napitupulu (APN), yang diduga memeras sejumlah Kepala Dinas (Kadis) dengan modus laporan masyarakat palsu, menjadi wacana yang mengganggu dan menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keabsahan institusi yang seharusnya menjadi simbol kebenaran. Secara konseptual, kasus ini tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap etika profesi, kepercayaan publik, dan fondasi negara hukum yang kita anut. Narasi yang diungkapkan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, pada jumpa pers tanggal 20 Desember 2025, memberikan gambaran yang jelas tentang modus operandi yang cerdik tetapi memalukan, di mana kekuasaan yang diberikan oleh jabatan digunakan untuk menekan dan memeras sesama pejabat publik.
Modus Laporan Palsu: Strategi Manipulasi Kekuasaan Hukum
Modus yang digunakan Albertinus—yaitu menciptakan laporan masyarakat palsu, menindaklanjutkannya seolah-olah sah, dan kemudian mengancam para Kadis dengan proses hukum jika tidak memberikan uang—merupakan bentuk manipulasi kekuasaan hukum yang paling berbahaya. Seperti yang ditegaskan Asep Guntur Rahayu: “Ancaman-ancaman itu adalah hanya sebagai modus. Karena berdasarkan keterangan dari para kepala SKPD, tidak ada perkara atau pengadaan yang sedang ditangani di situ.” Kalimat ini menunjukkan bahwa tindakan Albertinus bukanlah upaya untuk menegakkan hukum, melainkan untuk mengeksploitasi ketakutan pejabat publik terhadap proses hukum yang mungkin merusak karir dan nama baik mereka.
Secara intelektual, modus ini mengandung elemen “ketidakpastian hukum” yang sengaja diciptakan oleh pelaku untuk menciptakan kondisi ketakutan. Para Kadis, yang seharusnya fokus pada pelayanan publik, dipaksa berada dalam posisi yang tidak adil: mereka harus memilih antara memberikan uang untuk menghindari proses hukum yang tidak berdasar, atau menghadapi konsekuensi yang mungkin merusak karir mereka meskipun tidak bersalah. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat malah digunakan untuk menindaklanjuti kepentingan pribadi, menciptakan struktur kekuasaan yang terbalik di mana pelaku menjadi “penguasa” yang tidak terkontrol.
Selain itu, modus ini juga mengekspos kelemahan dalam sistem pelaporan dan penindakan perkara di kejaksaan. Bagaimana laporan palsu dapat ditindaklanjuti tanpa adanya verifikasi awal yang memadai? Apakah ada mekanisme pengawasan internal yang gagal berfungsi sehingga pelaku dapat menjalankan modus ini selama beberapa bulan? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa kasus ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistem yang memungkinkan terjadinya pelanggaran semacam itu.
Besaran Uang dan Jaringan Perantara: Dimensi Korupsi yang Terstruktur
Data yang diungkapkan KPK menunjukkan bahwa Albertinus diduga menerima sejumlah uang sebesar Rp 804 juta dalam kurun waktu November hingga Desember 2025, melalui dua klaster perantara: Kasi Intel Kejari HSU Asis Budianto (ASB) dan Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Taruna Fariadi (TAR). Perinciannya mencakup penerimaan dari Kadis Pendidikan (Rp 270 juta), Direktur RSUD (Rp 255 juta), Kadis Kesehatan (Rp 149,3 juta), serta penerimaan tambahan oleh ASB sebesar Rp 63,2 juta dalam periode Februari-Desember 2025. Selain itu, Albertinus juga diduga memotong anggaran Kejari sebesar Rp 257 juta untuk kebutuhan pribadi dan menerima uang sebesar Rp 450 juta dari Kadis Pekerjaan Umum dan Sekretaris DPRD.
Secara analitis, besaran uang dan keberadaan jaringan perantara menunjukkan bahwa kasus ini bukanlah tindakan semata wayang, tetapi korupsi yang terstruktur dan terencana. Jaringan perantara memungkinkan pelaku untuk menjaga jarak dari proses pemerasan, sehingga memudahkan dia untuk menyembunyikan jejak dan menghindari kecurigaan. Hal ini juga menunjukkan bahwa korupsi ini mungkin telah memiliki akar yang dalam, dengan sejumlah pejabat di kejaksaan yang terlibat dalam rangkaian tindakan ilegal tersebut.
Selain itu, besaran uang yang diterima juga menunjukkan dampak ekonomi yang signifikan terhadap pemerintah daerah. Uang yang seharusnya digunakan untuk pelayanan publik, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, malah dialihkan ke kebutuhan pribadi pelaku. Hal ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum.
Ketakutan sebagai Alat Penekanan: Dimensi Psikologis Pemerasan
Salah satu aspek paling penting dari kasus ini adalah dimensi psikologis yang terlibat dalam pemerasan. Seperti yang ditegaskan Asep Guntur Rahayu: “Albertinus menakut-nakuti para Kadis sampai benar-benar mereka merasa ketakutan. Pada akhirnya, para Kadis pun memberikan uang kepada Albertinus agar ancaman proses hukum tidak dilaksanakan.” Kalimat ini menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya menggunakan kekuasaan hukum sebagai alat, tetapi juga menggunakan ketakutan sebagai senjata untuk menekan korban.
Secara intelektual, ketakutan terhadap proses hukum adalah fenomena yang wajar, terutama bagi pejabat publik yang memiliki reputasi dan karir yang terlibat. Namun, dalam kasus ini, ketakutan tersebut sengaja diciptakan oleh pelaku melalui modus laporan palsu, sehingga korban berada dalam posisi yang tidak berdaya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku memiliki pemahaman yang baik tentang dinamika kekuasaan dan psikologi manusia, yang dia gunakan untuk mengeksploitasi korban.
Dimensi psikologis ini juga memiliki dampak jangka panjang pada korban. Para Kadis yang menjadi korban mungkin akan mengalami stres, kecemasan, dan kerusakan pada kepercayaan diri mereka. Selain itu, mereka juga mungkin merasa bersalah karena memberikan uang, meskipun mereka berada dalam posisi yang tidak adil. Hal ini dapat memengaruhi kinerja mereka dalam melaksanakan tugasnya dan memperlemah motivasi mereka untuk bekerja untuk kesejahteraan masyarakat.
Implikasi untuk Integritas Peradilan dan Kepercayaan Publik
Kasus pemerasan oleh Kajari HSU memiliki implikasi yang mendalam untuk integritas peradilan dan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Kejaksaan, yang seharusnya menjadi simbol keadilan dan kebenaran, sekarang menjadi objek kritikan dan kecurigaan. Hal ini dapat memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem peradilan secara keseluruhan dan membuat masyarakat sulit untuk mempercayai keputusan yang diambil oleh lembaga penegak hukum.
Secara konseptual, integritas peradilan adalah fondasi dari negara hukum. Tanpa integritas, sistem peradilan tidak dapat berfungsi dengan baik dan tidak dapat memberikan keadilan yang adil bagi semua orang. Kasus ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap lembaga penegak hukum, serta untuk meningkatkan etika profesi dan pendidikan bagi petugas hukum.
Selain itu, kasus ini juga menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di pemerintah daerah atau lembaga lain, tetapi juga di lembaga penegak hukum yang seharusnya bertugas memberantasnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan kebutuhan untuk memperkuat peran KPK dalam memantau dan menindaklanjuti kasus korupsi di lembaga penegak hukum.




