PEMEKARAN WILAYAH SUMATERA SELATAN: DUA ARUS BAWAH YANG BERGULIR – PROVINSI OKE DAN PALAPA SELATAN SEBAGAI REKONSTRUKSI PETA POLITIK DAN IDENTITAS WILAYAH

Loading

Oleh Daeng Supriyanto SH MH

Di tengah ketegangan antara kebijakan moratorium pemekaran wilayah yang ditetapkan pusat sejak 2014 dan keinginan masyarakat lokal akan pemerataan pembangunan, muncul dua wacana yang tak terpisahkan: Provinsi OKE (Ogan Komering, Enim, PALI) dan Provinsi Palapa Selatan. Kedua wacana ini tidak hanya merupakan desakan arus bawah yang kuat, tetapi juga fenomena intelektual yang mendalam—mereka merefleksikan bagaimana masyarakat lokal memahami hubungan antara wilayah, ekonomi, sejarah, dan identitas, serta bagaimana mereka berusaha menciptakan entitas administratif yang lebih sesuai dengan realitas sosial dan geografis yang mereka alami. Ini adalah upaya untuk merekonstruksi peta politik regional yang telah lama didominasi oleh sentralisasi di ibukota provinsi, melalui pendekatan yang berbeda namun sama-sama berakar pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Ketika kita mempelajari wacana Provinsi OKE, kita menemukan fondasi yang berakar pada analisis teknokratik dan potensi ekonomi yang tangibel. Wilayah yang diusulkan—yang mencakup OKU, OKU Timur, OKU Selatan, Muara Enim, PALI, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ilir—memiliki luas lebih dari 30 ribu km² dan penduduk sekitar 3,5 juta jiwa, memenuhi salah satu kriteria utama dalam PP Nomor 78 Tahun 2007. Lebih dari itu, ia memiliki kekuatan ekonomi yang solid: OKU dan OKU Timur sebagai penghasil beras dan karet, PALI sebagai daerah tambang yang strategis, serta infrastruktur yang memadai berupa jalan tol, jalur kereta api, dan Bandara Baturaja. Dari perspektif teori pembangunan daerah, ini adalah contoh dari bagaimana arus bawah mampu mengidentifikasi potensi komparatif yang terpendam dan mengusulkan struktur administratif yang akan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya tersebut. Ini menentang anggapan bahwa pemekaran wilayah selalu bersifat boros dan tidak efisien, melainkan menunjukkan bahwa dengan dasar analitis yang kuat, pemekaran bisa menjadi katalis untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan inklusif. Calon ibukota Kota Baturaja atau Prabumulih, dengan aksesibilitas dan fasilitas pemerintahan yang siap, menambah keandalan wacana ini sebagai entitas yang mampu menjalankan fungsi administratif secara mandiri.

Sementara itu, wacana Provinsi Palapa Selatan muncul sebagai respons yang berbeda namun sama-sama mendalam terhadap masalah pembangunan dan identitas. Berbeda dengan OKE yang berfokus pada potensi ekonomi dan infrastruktur, Palapa Selatan berlandaskan ikatan sejarah dan budaya yang kuat—mereka menggabungkan sebagian wilayah Sumatera Selatan (Lahat, Pagaralam, Empat Lawang) dan Bengkulu (Bengkulu Selatan, Kaur, Seluma) yang dihubungkan oleh keberadaan Suku Besemah dan filosofi Sumpah Palapa yang melambangkan persatuan dan kejayaan nusantara. Ini adalah pendekatan yang lebih berorientasi pada identitas wilayah, yang menekankan bahwa “wilayah” bukan hanya konstruksi administratif, tetapi juga entitas yang memiliki jiwa, sejarah, dan budaya yang khas. Dari sudut pandang antropologi politik, ini adalah contoh dari bagaimana masyarakat lokal menggunakan simbol-simbol sejarah untuk membangun kohesi dan memperkuat argumen mereka tentang kebutuhan akan otonomi. Kabupaten Lahat sebagai calon ibukota—sebagai pusat kebudayaan Suku Besemah dan memiliki infrastruktur lengkap—menjadi titik temu antara identitas budaya dan kesiapan administratif, membuktikan bahwa wacana ini juga tidak luput dari analisis teknis. Pembentukan provinsi lintas provinsi ini menjadi lebih menarik karena ia menantang batasan administratif yang sudah ada dan mengusulkan kerjasama lintas daerah yang berbasis pada persamaan budaya, yang bisa menjadi model baru untuk pembangunan regional di Indonesia.

Kedua wacana ini, meskipun berbeda dalam pendekatannya, memiliki titik temu yang penting: keduanya adalah desakan arus bawah yang muncul dari perasaan terpinggirkan dalam pembangunan. Masyarakat di wilayah pedalaman Sumatera Selatan dan sebagian Bengkulu telah lama merasakan bahwa sumber daya mereka tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan lokal, karena sebagian besar alokasi anggaran dan perhatian pembangunan terpusat di ibukota provinsi. Dari perspektif teori kedaerahan, ini adalah masalah yang mendasar tentang distribusi kekuasaan dan sumber daya antara pusat dan pinggiran, di mana pinggiran seringkali menjadi korban dari sentralisasi kekuasaan. Kedua wacana ini adalah upaya masyarakat pinggiran untuk mengambil kendali atas nasib mereka sendiri, dengan cara yang sesuai dengan konteks lokal mereka. Ini juga menunjukkan bahwa masyarakat lokal telah memiliki kesadaran politik yang tinggi dan kemampuan untuk mengorganisir diri, menyusun proposal yang memenuhi kriteria resmi, dan menegaskan hak-hak mereka dalam proses pembangunan negara.

Namun, kedua wacana ini juga menghadapi tantangan yang sama besar: moratorium pemekaran wilayah yang diberlakukan pemerintah pusat. Alasan yang diberikan—efisiensi anggaran, tumpang tindih administrasi, dan lemahnya kapasitas fiskal di DOB sebelumnya—adalah alasan yang memiliki dasar intelektual yang kuat. Dari perspektif ekonomi publik, pemekaran yang berlebihan bisa menyebabkan pemborosan sumber daya negara, karena setiap provinsi baru membutuhkan biaya untuk membangun lembaga pemerintahan, membayar gaji pegawai, dan menyediakan layanan publik. Namun, para penggagas OKE dan Palapa Selatan menawarkan argumen yang sebaliknya: bahwa pemekaran yang didasarkan pada potensi ekonomi dan identitas budaya akan justru meningkatkan efisiensi, karena pemerintah lokal akan lebih memahami kebutuhan masyarakat dan mampu mengalokasikan sumber daya dengan lebih efektif. Ini adalah debat yang kompleks antara kebijakan sentral yang berfokus pada efisiensi nasional dan kebutuhan lokal yang berfokus pada pemerataan dan kemandirian. Dari perspektif federalisme, ini adalah masalah yang mendasar tentang bagaimana membagi kekuasaan dan wewenang antara pusat dan daerah agar keduanya bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan pembangunan yang bersama.

Selain tantangan moratorium, kedua wacana ini juga menghadapi risiko yang terkait dengan fragmentasi sosial dan politik. Jika tidak diimbangi dengan upaya untuk mempromosikan persatuan dan kerja sama, pemekaran bisa menyebabkan perselisihan antara wilayah baru dan lama, terutama dalam hal pembagian sumber daya dan batasan wilayah. Ada juga risiko bahwa elit politik baru di provinsi baru akan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh elit di daerah lama, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pengalokasian sumber daya yang tidak adil. Untuk menghindari hal ini, kedua wacana ini harus disertai dengan upaya untuk memperkuat tata pamong yang baik, transparansi, dan akuntabilitas di lembaga pemerintahan yang akan dibentuk. Ini membutuhkan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam proses pembentukan dan pengelolaan provinsi baru, serta pendidikan politik yang memampukan masyarakat untuk memantau kinerja pemerintah.

Kesimpulannya, wacana pembentukan Provinsi OKE dan Palapa Selatan di Sumatera Selatan adalah dua arus bawah yang bergulir yang memiliki dasar intelektual, analitis, dan emosional yang kuat. Mereka menawarkan pendekatan yang berbeda—satu berfokus pada potensi ekonomi dan infrastruktur, yang lain pada identitas sejarah dan budaya—namun sama-sama bertujuan untuk mencapai pemerataan pembangunan dan kemandirian wilayah. Kedua wacana ini menantang kebijakan moratorium pemekaran wilayah dengan menawarkan argumen yang logis dan teruji, serta menunjukkan bahwa masyarakat lokal mampu menghasilkan solusi yang sesuai dengan realitas sosial dan geografis yang mereka alami. Untuk menjadikan kedua wacana ini sebagai keberhasilan, diperlukan kerja sama yang erat antara masyarakat lokal, elit politik, dan pemerintah pusat, serta komitmen untuk membangun entitas administratif yang mandiri, efisien, dan berkelanjutan—yang tidak hanya mempromosikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memelihara persatuan dan martabat masyarakat. Ini adalah tantangan yang besar, tetapi juga kesempatan yang berharga untuk membentuk masa depan yang lebih baik bagi wilayah pedalaman Sumatera Selatan dan sebagian Bengkulu, serta menjadi model bagi pembangunan regional di Indonesia.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Layakkah Banjir dan Longsor Sumatra Ditetapkan sebagai Bencana Nasional?

Sab Des 6 , 2025
Opini: Daeng Supriyanto SH MH Dalam konteks kerentanan bumi Indonesia yang berada di lingkar api Pasifik, peristiwa bencana alam bukanlah hal yang asing, namun skala dan dampak banjir serta longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir tahun 2025 memunculkan pertanyaan mendasar mengenai kewajiban negara dalam menanggapi […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI