makan dulu baru olahraga” atau “olahraga dulu baru makan”

Loading

Opini Daeng Supri Yanto SH MH

Dalam pusaran diskursus kesehatan dan kebugaran, sebuah pertanyaan klasik terus menggelinding, memecah belah para praktisi dan teoretikus: manakah yang lebih utama, mengisi perut sebelum menggerakkan raga, atau membakar kalori sebelum mengisi kembali energi yang terkuras? Dilema ini, meski tampak sederhana, menyentuh fondasi metabolisme, fisiologi, dan bahkan psikologi manusia.

Pendukung paradigma “makan dulu”, dengan argumentasi yang kokoh, menyatakan bahwa tubuh memerlukan bahan bakar yang cukup untuk menjalankan aktivitas fisik yang optimal. Tanpa suplai energi yang memadai, performa atletik akan merosot, otot-otot akan kekurangan glikogen, dan risiko cedera akan meningkat. Lebih jauh lagi, mereka berpendapat bahwa asupan nutrisi sebelum berolahraga dapat memicu respons insulin yang positif, mendorong penyerapan asam amino ke dalam sel-sel otot, dan mempercepat proses pemulihan setelah latihan.

Namun, kubu “olahraga dulu” tak kalah gigih dalam mempertahankan posisinya. Mereka mengklaim bahwa berolahraga dalam kondisi perut kosong dapat memaksimalkan pembakaran lemak sebagai sumber energi. Ketika tubuh kekurangan glukosa dari makanan, ia akan beralih ke cadangan lemak sebagai bahan bakar utama, sehingga mempercepat penurunan berat badan dan meningkatkan sensitivitas insulin. Selain itu, mereka berpendapat bahwa makan setelah berolahraga dapat mengoptimalkan penyerapan nutrisi oleh otot-otot yang telah bekerja keras, mempercepat pemulihan, dan merangsang pertumbuhan otot.

Lantas, siapakah yang benar? Jawabannya, seperti yang sering terjadi dalam dunia ilmu pengetahuan, tidaklah hitam-putih. Efektivitas strategi “makan dulu” atau “olahraga dulu” sangat bergantung pada berbagai faktor, termasuk jenis olahraga, intensitas latihan, tujuan kebugaran, dan karakteristik individu.

Bagi mereka yang terlibat dalam olahraga intensitas tinggi, seperti angkat besi atau sprint, asupan karbohidrat sebelum latihan mungkin sangat penting untuk menjaga performa dan mencegah kelelahan. Namun, bagi mereka yang berfokus pada pembakaran lemak dan penurunan berat badan, berolahraga dalam kondisi perut kosong mungkin memberikan manfaat yang lebih besar.

Lebih jauh lagi, respons tubuh terhadap makanan dan olahraga sangatlah individual. Beberapa orang mungkin merasa lebih energik dan fokus setelah makan, sementara yang lain mungkin merasa lesu dan mual. Oleh karena itu, penting untuk bereksperimen dan menemukan strategi yang paling sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pribadi.

Pada akhirnya, perdebatan “makan dulu atau olahraga dulu” bukanlah tentang mencari jawaban tunggal yang berlaku untuk semua orang. Ini adalah tentang memahami kompleksitas metabolisme manusia, menghargai individualitas respons tubuh, dan menemukan keseimbangan yang optimal antara nutrisi dan aktivitas fisik untuk mencapai tujuan kebugaran yang diinginkan.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Revitalisasi Sepak Bola Nasional: Dana FIFA dan Saudi Fund sebagai Katalisator Perubahan Fundamental

Rab Nov 26 , 2025
Oleh Daeng Supri Yanto SH MH Pengamat dan pelaku olahraga “Penerimaan dana sebesar Rp16,69 triliun dari FIFA dan Saudi Fund merupakan sebuah titik balik monumental dalam lanskap persepakbolaan Indonesia. Lebih dari sekadar injeksi modal, peristiwa ini merepresentasikan sebuah pengakuan implisit terhadap potensi laten yang terpendam dalam sepak bola Indonesia, sebuah […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI