KUHAP Baru dan Erosi Independensi Penyidikan: Sebuah Analisis Kritis terhadap Kewenangan Penyidik Polri

Loading

Opini:  Daeng Supri Yanto SH MH

Ketua Perhimpunan Propesi Pengacara Indonesia (Propindo) Sumsel

RUU KUHAP yang baru disahkan menghadirkan serangkaian perubahan signifikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Salah satu poin yang paling kontroversial adalah pasal yang mengatur kewenangan penyidik Polri, khususnya terkait koordinasi dan perintah terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik tertentu dalam melakukan penangkapan dan penahanan. Ketentuan ini memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat sipil dan akademisi hukum, yang mengkhawatirkan potensi erosi independensi penyidikan dan sentralisasi kekuasaan di tangan Polri.

Pasal 93 ayat (3) KUHAP baru, yang mewajibkan PPNS dan penyidik tertentu untuk mendapatkan perintah dari penyidik Polri sebelum melakukan penangkapan atau penahanan, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang otonomi dan efektivitas PPNS dalam menjalankan tugasnya. PPNS, yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu seperti lingkungan hidup, perpajakan, atau perikanan, seharusnya memiliki kewenangan yang memadai untuk menindak pelanggaran hukum di bidangnya masing-masing. Namun, dengan adanya ketentuan ini, PPNS menjadi subordinat dari penyidik Polri, yang berpotensi menghambat penegakan hukum yang cepat dan efektif.

Pengecualian terhadap penyidik kejaksaan, KPK, dan TNI Angkatan Laut dari ketentuan Pasal 93 ayat (3) juga menimbulkan kesan diskriminatif dan tidak adil. Mengapa hanya lembaga-lembaga ini yang diberikan keistimewaan untuk melakukan penangkapan dan penahanan tanpa perintah dari penyidik Polri? Apakah ini mencerminkan adanya ketidakpercayaan terhadap PPNS dan penyidik tertentu dari lembaga lain?

Kewenangan penyidik Polri yang besar, jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ketat, berpotensi disalahgunakan dan menimbulkan praktik-praktik koruptif. Masyarakat sipil khawatir bahwa ketentuan ini dapat menjadi alat bagi Polri untuk mengendalikan proses penyidikan, melindungi kepentingan tertentu, atau bahkan melakukan kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang dianggap mengganggu.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan DPR untuk segera melakukan evaluasi dan revisi terhadap KUHAP baru, khususnya terkait kewenangan penyidik Polri. Perlu ada keseimbangan antara kebutuhan untuk menjaga koordinasi dan efektivitas penyidikan dengan prinsip independensi dan otonomi penyidik dari berbagai lembaga. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang transparan dan partisipatif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin keadilan bagi semua pihak.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori Berita

BOX REDAKSI