Refleksi Kritis atas Fenomena “Underperformance” Aparat Penegak Hukum di Indonesia: Sebuah Tantangan Sistemik dan Kultural

Loading

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH

Advokat / Pengacara

Masih banyaknya aparat penegak hukum (APH) yang menunjukkan kinerja di bawah standar (underperformance) di Indonesia merupakan sebuah paradoks yang ironis. Di satu sisi, negara telah menginvestasikan sumber daya yang signifikan dalam membangun sistem penegakan hukum yang modern dan profesional. Di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan bahwa efektivitas dan efisiensi penegakan hukum masih jauh dari harapan. Fenomena underperformance ini bukan sekadar masalah individual, melainkan sebuah simptom dari persoalan sistemik dan kultural yang lebih mendalam.

Dalam perspektif sosiologi hukum, APH merupakan aktor kunci dalam menjaga ketertiban sosial dan menegakkan keadilan. APH memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan (dalam batas-batas yang wajar dan proporsional) untuk memaksa warga negara mematuhi hukum. Namun, legitimasi tersebut hanya dapat dipertahankan jika APH menjalankan tugasnya secara profesional, akuntabel, dan berintegritas. Jika APH justru menunjukkan kinerja yang buruk, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan runtuh, dan pada akhirnya dapat mengancam stabilitas sosial.

Fenomena underperformance APH dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

1. Kualitas Sumber Daya Manusia: Proses rekrutmen APH yang kurang selektif dapat menghasilkan personel yang kurang kompeten dan kurang memiliki integritas. Selain itu, sistem pendidikan dan pelatihan APH yang belum memadai juga dapat menyebabkan APH kurang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan etika yang dibutuhkan dalam menjalankan tugasnya.

2. Manajemen Kinerja yang Buruk: Sistem manajemen kinerja APH yang tidak efektif dapat menyebabkan APH kurang termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya. Selain itu, kurangnya pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja APH juga dapat menyebabkan APH merasa tidak bertanggung jawab atas tugas yang diembannya.

3. Korupsi dan Pungutan Liar: Praktik korupsi dan pungutan liar yang masih merajalela di kalangan APH dapat menyebabkan APH lebih fokus pada mencari keuntungan pribadi daripada menegakkan hukum secara adil dan profesional.

4. Intervensi Politik: Intervensi politik dalam proses penegakan hukum dapat menyebabkan APH tidak dapat menjalankan tugasnya secara independen dan profesional.

5. Budaya Organisasi yang Tidak Sehat: Budaya organisasi yang tidak sehat, seperti budaya kekerasan, budaya korupsi, dan budaya impunitas, dapat merusak moral dan kinerja APH.

Untuk mengatasi fenomena underperformance APH, diperlukan langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan, antara lain:

1. Reformasi Sistem Rekrutmen: Pemerintah perlu mereformasi sistem rekrutmen APH, dengan menerapkan standar yang lebih tinggi dan selektif, serta melibatkan pihak eksternal yang independen dalam proses seleksi.

2. Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Pelatihan: Pemerintah perlu meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan APH, dengan mengembangkan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman, serta meningkatkan kompetensi para pengajar dan pelatih.

3. Penerapan Sistem Manajemen Kinerja yang Efektif: Pemerintah perlu menerapkan sistem manajemen kinerja APH yang efektif, dengan menetapkan target kinerja yang jelas dan terukur, serta memberikan insentif dan disinsentif yang proporsional.

4. Penguatan Pengawasan dan Evaluasi: Pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja APH, dengan melibatkan pihak internal dan eksternal yang independen, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap APH yang terbukti melakukan pelanggaran.

5. Pemberantasan Korupsi: Pemerintah perlu melakukan upaya yang lebih serius dan sistematis dalam memberantas korupsi di kalangan APH, dengan memperkuat lembaga pengawas internal, serta melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil.

6. Pencegahan Intervensi Politik: Pemerintah perlu mencegah intervensi politik dalam proses penegakan hukum, dengan menjamin independensi lembaga peradilan dan aparat penegak hukum, serta memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi mereka.

7. Pengembangan Budaya Organisasi yang Sehat: Pemerintah perlu mengembangkan budaya organisasi yang sehat di kalangan APH, dengan menanamkan nilai-nilai profesionalisme, integritas, akuntabilitas, dan pelayanan publik.

Sebagai penutup, fenomena underperformance APH merupakan sebuah tantangan serius yang harus segera diatasi. Dengan komitmen yang kuat, kerja keras, dan kerjasama yang solid dari semua pihak, diharapkan Indonesia dapat memiliki APH yang profesional, akuntabel, dan berintegritas, serta mampu menegakkan hukum secara adil dan efektif. Hanya dengan demikian, supremasi hukum dapat ditegakkan, keadilan dapat diwujudkan, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat dipulihkan.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Polemik Sita Eksekusi dalam UU Tipikor: Antara Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Asasi

Rab Nov 19 , 2025
Analisis oleh Daeng Supri Yanto SH MH Advokat/ Pengacara Artikel Hukumonline.com yang berjudul “Pemerintah Nilai Penetapan PN untuk Sita Eksekusi Bertentangan dengan Asas Hukum Pidana” menyoroti sebuah isu krusial dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi (Tipikor) di Indonesia, yaitu mengenai mekanisme sita eksekusi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI