OPINI
Oleh : Daeng Supri Yanto SH MH, CMS P
Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) Beladiri 2025 di Kudus, yang mempertemukan 2556 atlet dalam sebuah perayaan sportivitas, seharusnya menjadi momentum kebanggaan bangsa. Namun, di balik gemerlap medali dan semangat kompetisi, terselip sebuah ironi yang mengusik nurani: dukungan sponsor dari Djarum Foundation, sebuah entitas yang tak terpisahkan dari industri rokok. Kontradiksi ini memicu perdebatan sengit di kalangan intelektual dan praktisi olahraga, mempertanyakan etika dan implikasi dari kemitraan yang problematik ini.
Olahraga, dalam esensinya, adalah pengejawantahan dari kesehatan, disiplin, dan semangat juang. Ia adalah arena di mana manusia menguji batas kemampuan fisik dan mental, menginspirasi generasi muda untuk mengadopsi gaya hidup aktif dan sehat. Oleh karena itu, sangatlah ironis ketika sebuah ajang olahraga, yang seharusnya menjadi simbol vitalitas dan umur panjang, justru didukung oleh industri yang produk utamanya secara inheren merusak kesehatan dan memperpendek harapan hidup.
Dalam konteks ini, dukungan Djarum Foundation terhadap PON Beladiri 2025 menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kita sedang menyaksikan “sportswashing,” sebuah strategi di mana citra positif olahraga digunakan untuk menutupi dampak negatif produk tembakau? Apakah kita sedang menormalisasi keberadaan industri rokok di ruang publik, terutama di hadapan generasi muda yang rentan terhadap pengaruh iklan dan promosi?
Indonesia, sebagai negara yang berkomitmen terhadap kesehatan masyarakat, memiliki sejumlah regulasi yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok dan melindungi warganya dari bahaya paparan tembakau. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara tegas mengamanatkan perlindungan kesehatan masyarakat dari zat adiktif. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan mengatur pembatasan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau.
Meskipun PP 109/2012 memberikan ruang terbatas bagi sponsor oleh industri rokok, dengan syarat tidak menampilkan logo rokok secara mencolok dan tidak melibatkan anak-anak dalam promosi, semangat utama dari regulasi ini adalah untuk mengurangi paparan masyarakat terhadap pengaruh industri tembakau. Dukungan Djarum Foundation, sebagai perpanjangan tangan industri rokok, dapat dianggap sebagai upaya terselubung untuk mempromosikan produk tembakau melalui asosiasi dengan olahraga.
Dampak dari sponsorship ini sangatlah kompleks dan berpotensi merugikan:
1. Erosi Nilai-Nilai Olahraga: Keterlibatan sponsor rokok dapat merusak integritas dan kredibilitas olahraga. Olahraga, yang seharusnya menjadi teladan moral dan etika, menjadi terkompromi oleh kepentingan komersial yang bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya.
2. Pesan Kontradiktif kepada Generasi Muda: Atlet-atlet muda yang berpartisipasi dalam PON adalah idola dan panutan. Ketika mereka berkompetisi di bawah naungan sponsor yang terafiliasi dengan industri rokok, secara tidak langsung menciptakan pesan kontradiktif. Di satu sisi, mereka menunjukkan kebugaran fisik yang prima; di sisi lain, asosiasi dengan industri rokok dapat menormalisasi keberadaan produk tembakau di benak audiens muda yang rentan.
3. Hambatan Kebijakan Kesehatan Publik: Sponsorship ini dapat melemahkan efektivitas kampanye anti-rokok dan program kesehatan masyarakat. Pemerintah dan organisasi kesehatan berupaya keras untuk mengurangi prevalensi merokok, terutama di kalangan remaja. Dukungan industri rokok terhadap acara publik berskala besar justru kontradiktif dengan tujuan ini.
4. Preseden Berbahaya: Penerimaan sponsor dari afiliasi industri rokok dapat menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan acara olahraga atau kegiatan publik lainnya di masa depan. Ini membuka pintu bagi industri lain yang produknya memiliki dampak negatif terhadap kesehatan untuk menggunakan strategi serupa.
5. Dilema Etis bagi Atlet dan Penyelenggara: Para atlet, pelatih, dan penyelenggara dihadapkan pada dilema etis. Meskipun mereka mungkin tidak secara langsung mendukung produk rokok, partisipasi dalam acara yang disponsori oleh entitas terkait industri rokok secara implisit dapat dianggap sebagai bentuk penerimaan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi seluruh pemangku kepentingan pemerintah, federasi olahraga, komite penyelenggara, atlet, dan masyarakat, untuk merefleksikan secara mendalam tentang implikasi dari sponsorship ini.
Olahraga harus dijaga sebagai ruang yang steril dari kepentingan komersial yang merugikan kesehatan. Hanya dengan demikian, PON Beladiri 2025 dan ajang olahraga lainnya dapat benar-benar menjadi perayaan kesehatan, prestasi, dan inspirasi yang otentik bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa tercemar oleh asap kontroversi.