![]()

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH
Alumni STIHPADA
Dalam lanskap hukum Indonesia yang dinamis, fenomena pembatalan undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akibat inkonsistensi dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menjadi sebuah anomali yang memerlukan perhatian serius. Lebih dari sekadar persoalan teknis-yuridis, fenomena ini mencerminkan adanya defisit dalam internalisasi nilai-nilai konstitusi serta lemahnya mekanisme pengawasan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah reformasi sistem hukum yang komprehensif, yang tidak hanya berfokus pada aspek prosedural, tetapi juga pada penegakan sanksi konstitusional yang tegas dan efektif.
Dalam perspektif teori hukum, UUD 1945 merupakan grundnorm atau norma dasar yang menjadi sumber legitimasi dan validitas bagi seluruh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Setiap undang-undang yang dibentuk haruslah selaras dengan semangat dan jiwa konstitusi, serta tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Namun, dalam praktik, seringkali terjadi distorsi dalam proses legislasi, di mana kepentingan politik jangka pendek mengalahkan pertimbangan konstitusionalitas yang bersifat jangka panjang.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan sebuah pendekatan yang holistik dan multidimensional. Pertama, peningkatan kapasitas konstitusional para pemangku kepentingan, terutama anggota legislatif dan pejabat pemerintah, menjadi imperatif. Pelatihan intensif mengenai sejarah konstitusi, prinsip-prinsip dasar, penafsiran konstitusi, dan studi kasus putusan MK harus menjadi agenda prioritas. Selain itu, integrasi pendidikan konstitusi ke dalam kurikulum pendidikan formal dan non-formal juga merupakan langkah strategis untuk menanamkan kesadaran konstitusional sejak dini.
Kedua, penguatan mekanisme pengawasan konstitusional merupakan kunci untuk mencegah terjadinya pelanggaran konstitusi dalam proses legislasi. Pembentukan badan independen yang bertugas melakukan kajian dan evaluasi terhadap kesesuaian rancangan undang-undang (RUU) dengan UUD 1945 sebelum disahkan menjadi undang-undang dapat menjadi solusi yang efektif. Badan ini harus terdiri dari ahli hukum tata negara, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil yang memiliki integritas dan kompetensi yang tinggi. Selain itu, optimalisasi peran alat kelengkapan DPR, seperti Badan Legislasi (Baleg) dan komisi-komisi terkait, dalam melakukan pengawasan terhadap kesesuaian RUU dengan UUD 1945 juga sangat penting.
Ketiga, peningkatan partisipasi publik dalam proses penyusunan RUU merupakan wujud dari prinsip kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Konsultasi publik yang inklusif dan partisipatif harus dilaksanakan dalam setiap tahapan penyusunan RUU, dengan memastikan bahwa semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan untuk memberikan masukan dan pandangan terhadap RUU yang sedang dibahas. Pemanfaatan teknologi informasi untuk mempermudah akses publik terhadap informasi mengenai RUU dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan secara online juga perlu dioptimalkan.
Keempat, penegakan sanksi konstitusional yang tegas dan efektif merupakan elemen krusial dalam menciptakan efek jera bagi para pelanggar konstitusi. Sanksi administratif, seperti pemberhentian sementara, penundaan kenaikan pangkat/jabatan, dan evaluasi kinerja dengan konsekuensi, dapat diterapkan terhadap anggota DPR dan pejabat pemerintah yang terbukti terlibat dalam penyusunan undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, sanksi perdata, seperti gugatan ganti rugi dan pembatalan keputusan/tindakan, juga dapat diterapkan terhadap pihak-pihak yang dirugikan akibat berlakunya undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, dalam kasus-kasus tertentu, sanksi pidana juga perlu dipertimbangkan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) untuk memberikan efek jera yang lebih kuat. Anggota DPR dan/atau pejabat pemerintah yang dengan sengaja dan sadar (dolus) mengusulkan, menyetujui, atau mengesahkan RUU yang bertentangan dengan UUD 1945, dapat dipidana dengan pidana penjara dan denda yang signifikan. Penerapan sanksi pidana ini harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional, dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan hak-hak tersangka/terdakwa.
Sebagai konklusi, menjaga supremasi UUD 1945 dalam sistem hukum Indonesia memerlukan sebuah reformasi sistem hukum yang komprehensif dan berkelanjutan. Peningkatan kapasitas konstitusional, penguatan mekanisme pengawasan, peningkatan partisipasi publik, dan penegakan sanksi konstitusional yang tegas dan efektif merupakan elemen-elemen kunci dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta budaya hukum yang lebih baik di Indonesia, di mana UUD 1945 benar-benar menjadi pedoman utama dalam setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga menghasilkan undang-undang yang berkualitas, berkeadilan, dan sesuai dengan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.
berikut adalah rancangan sanksi yang lebih tegas, mencakup aspek perbuatan melawan hukum dan pidana, untuk memberikan efek jera bagi pemerintah yang mengabaikan UUD 1945 dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
I. Sanksi Administratif
1. Pemberhentian Sementara:
– Anggota DPR yang terbukti secara sengaja atau lalai menyetujui RUU yang bertentangan dengan UUD 1945 dapat dikenakan sanksi pemberhentian sementara dari keanggotaan DPR selama 3-6 bulan.
– Pejabat pemerintah (Menteri, Direktur Jenderal, atau pejabat setingkat) yang terbukti secara sengaja atau lalai mengusulkan atau menyetujui RUU yang bertentangan dengan UUD 1945 dapat dikenakan sanksi pemberhentian sementara dari jabatannya selama 3-6 bulan.
2. Penundaan Kenaikan Pangkat/Jabatan:
– Anggota DPR dan pejabat pemerintah yang terbukti terlibat dalam penyusunan RUU yang bertentangan dengan UUD 1945 dapat dikenakan sanksi penundaan kenaikan pangkat atau jabatan selama 1-2 tahun.
3. Evaluasi Kinerja dengan Konsekuensi:
– Kinerja anggota DPR dan pejabat pemerintah yang terlibat dalam penyusunan RUU yang dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan UUD 1945 akan dievaluasi secara khusus. Hasil evaluasi ini akan menjadi pertimbangan utama dalam penentuan promosi, penugasan, atau bahkan pemberhentian dari jabatan.
II. Sanksi Perdata (Perbuatan Melawan Hukum)
1. Gugatan Ganti Rugi:
– Masyarakat atau pihak yang dirugikan secara langsung akibat berlakunya undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada negara.
– Negara, dalam hal ini, bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan anggota DPR dan/atau pejabat pemerintah yang terbukti secara sengaja atau lalai menyebabkan kerugian tersebut.
2. Pembatalan Keputusan/Tindakan:
– Setiap keputusan atau tindakan yang diambil berdasarkan undang-undang yang telah dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan UUD 1945, secara otomatis batal demi hukum. Pihak yang merasa dirugikan berhak mengajukan gugatan pembatalan keputusan/tindakan tersebut ke pengadilan.
III. Sanksi Pidana
1. Pelanggaran Konstitusi (Constitutional Breach):
– Anggota DPR dan/atau pejabat pemerintah yang dengan sengaja dan sadar (dolus) mengusulkan, menyetujui, atau mengesahkan RUU yang bertentangan dengan UUD 1945, dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, serta denda paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
– Jika pelanggaran tersebut dilakukan karena kelalaian (culpa), pidana penjara dapat dikurangi menjadi paling singkat 6 bulan dan paling lama 2 tahun, serta denda paling sedikit Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
2. Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power):
– Anggota DPR dan/atau pejabat pemerintah yang menggunakan wewenangnya untuk mempengaruhi proses legislasi sehingga menghasilkan undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, dapat dipidana dengan pidana penjara sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur korupsi.
3. Pemalsuan Dokumen:
– Jika dalam proses penyusunan RUU terdapat pemalsuan dokumen atau manipulasi data yang bertujuan untuk menyembunyikan fakta bahwa RUU tersebut bertentangan dengan UUD 1945, pelaku dapat dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan dokumen.
IV. Mekanisme Penegakan Hukum
1. Pelaporan: Masyarakat, organisasi masyarakat sipil, atau lembaga negara berhak melaporkan dugaan pelanggaran konstitusi dalam proses legislasi kepada aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi).
2. Penyidikan dan Penuntutan: Aparat penegak hukum wajib melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku pelanggaran konstitusi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Peradilan: Pengadilan yang berwenang (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung) berhak mengadili dan memutus perkara pelanggaran konstitusi sesuai dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan transparan.
V. Catatan Penting
– Penerapan sanksi pidana harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional, dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan hak-hak tersangka/terdakwa.
– Sanksi pidana harus menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) setelah sanksi administratif dan perdata tidak efektif dalam memberikan efek jera.
– Perlu adanya koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga negara (DPR, pemerintah, aparat penegak hukum, dan MK) dalam menegakkan hukum dan menjaga supremasi konstitusi.
Dengan penerapan sanksi yang tegas dan komprehensif, diharapkan dapat tercipta budaya hukum yang lebih baik di Indonesia, di mana UUD 1945 benar-benar menjadi pedoman utama dalam setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan.




