![]()

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH. CMS.P
Pengamat Demokrasi Indonesia
Dalam pusaran dinamika ketatanegaraan yang kian kompleks, tudingan ijazah palsu terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani, membuka ruang interpretasi yang luas.
Narasi ini tidak bisa dilihat hanya sebagai persoalan individual semata, melainkan harus ditempatkan dalam konteks yang lebih besar, yakni sebagai potensi serangan balik terhadap MK yang akhir-akhir ini menunjukkan keberpihakan pada kepentingan rakyat melalui putusan-putusannya.
Bahwa serangan terhadap MK harus dianalisis dari berbagai perspektif. Meskipun validitas ijazah tersebut perlu diverifikasi secara independen, tidak dapat diabaikan kemungkinan adanya motif tersembunyi di balik tudingan ini.
MK, sebagai garda terakhir penjaga konstitusi, kerap kali menjadi benteng terakhir bagi kepentingan publik ketika lembaga-lembaga lain gagal menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, setiap upaya untuk mendiskreditkan atau melemahkan MK harus dicermati dengan seksama.
Putusan-putusan MK yang berpihak pada rakyat, tentu saja dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan status quo. Dalam konteks ini, tudingan ijazah palsu dapat menjadi alat untuk mendelegitimasi MK dan mempengaruhi komposisi hakim, sehingga membuka peluang bagi kepentingan politik yang lebih dominan.
Namun demikian, kita juga tidak mengabaikan pentingnya integritas lembaga peradilan. Jika ijazah tersebut terbukti palsu, kredibilitas MK sebagai penjaga konstitusi akan tercoreng. Oleh karena itu, perlu ada investigasi yang transparan dan akuntabel untuk mengungkap kebenaran di balik tudingan ini.
Pada akhirnya, kasus ini menjadi cermin bagi kualitas demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Kita harus memastikan bahwa lembaga-lembaga negara, termasuk MK, dapat menjalankan fungsinya secara independen dan bebas dari intervensi politik. Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.



