Tantangan Eksistensial Pengelolaan Sampah di Palembang dan Visi Transformasi Menuju Kemandirian Lingkungan

Loading

Opini: Daeng Supriyanto SH MH

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Lestari Indonesia Provinsi Sumatera Selatan

Dari perspektif teori tata kota dan ekologi terpadu, fenomena di mana produksi sampah Kota Palembang mencapai ambang batas 1.500-1.800 ton per hari dengan hanya 950 ton yang berhasil diarahkan ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) — sementara 300 ton lainnya hilang dalam aliran spasial yang tidak terkontrol — tidak sekadar masalah administratif atau operasional semata, melainkan refleksi dari keterbatasan paradigma pengelolaan sampah yang masih bersifat linier (ambil-buat-buang) di tengah pertumbuhan urban yang eksponensial dan pergeseran struktur sosial-ekonomi masyarakat. Pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Akhmad Mustain mengenai ketidakpastian arah 300 ton sampah tersebut tidak hanya mengungkapkan celah dalam sistem pemantauan dan pengumpulan, melainkan juga menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kualitas lingkungan hidup, keamanan pangan, dan keberlanjutan kota yang sedang berusaha membangun citra sebagai pusat perdagangan dan pariwisata di Sumatera Selatan.

Secara epistemologis, masalah ini muncul dari konvergensi beberapa faktor yang saling memperkuat: pertama, rendahnya kesadaran kolektif tentang hierarki pengelolaan sampah (pengurangan, pengulangan, pengolahan, dan hanya sebagai pilihan terakhir, pembuangan) yang masih didominasi oleh budaya “buang dan lupakan” yang tertanam dalam kebiasaan sehari-hari warga. Kedua, inefisiensi sistem pengumpulan yang dipengaruhi oleh kepadatan penduduk yang tidak merata, infrastruktur jalan yang kurang memadai di beberapa kawasan permukiman kumuh, dan kapasitas tenaga kerja serta armada yang belum optimal. Ketiga, kurangnya inisiatif pengolahan sampah skala mikro, menengah, dan makro yang terintegrasi, yang menyebabkan sebagian besar sampah yang tidak masuk TPA terbuang ke saluran air, lahan kosong, atau bahkan sungai Musi — yang selanjutnya berdampak pada degradasi ekosistem akuatik, peningkatan risiko banjir, dan kontaminasi sumber air baku.

Dari sisi analisis kuantitatif, angka 300 ton sampah yang dibuang sembarangan setiap hari setara dengan sekitar 109.500 ton per tahun — jumlah yang cukup untuk menutupi lahan seluas sekitar 5 hektar dengan ketebalan 1 meter (dengan asumsi kepadatan sampah rata-rata 0,8 ton/m³). Hal ini tidak hanya menimbulkan biaya tersembunyi bagi pemerintah dalam bentuk penyehatan lingkungan, perawatan kesehatan masyarakat yang terkena dampak polusi, dan perbaikan infrastruktur yang rusak akibat sampah, melainkan juga mengurangi nilai ekonomi dan estetika kota yang sedang berusaha berkembang. Secara teoretis, konsekuensi ini sesuai dengan prinsip “biaya eksternal” dalam ekonomi lingkungan, di mana kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia tidak tercermin dalam harga pasar dan akhirnya ditanggung oleh masyarakat secara luas.

Untuk mengatasi tantangan ini dengan solusi yang tepat guna dan berkelanjutan, perlu dilakukan transformasi paradigma dari pengelolaan sampah yang bersifat pasif menjadi yang proaktif dan terintegrasi, yang meliputi beberapa dimensi penting. Pertama, penguatan upaya pengurangan sampah pada sumber (source reduction) melalui kampanye pendidikan yang terstruktur dan terarah, yang tidak hanya menyampaikan informasi teknis tetapi juga membangun nilai-nilai budaya yang menghargai lingkungan. Hal ini dapat dilakukan melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil untuk menciptakan budaya “zero waste” di rumah tangga, usaha, dan lembaga publik. Contohnya, penerapan kebijakan pembatasan penggunaan barang sekali pakai (seperti kantong plastik dan sedotan) dengan pemberian insentif bagi yang patuh dan sanksi ringan bagi yang melanggar, yang telah terbukti efektif di beberapa kota di Indonesia dan luar negeri.

Kedua, pengembangan sistem pengulangan dan pemanfaatan ulang sampah (reuse and recycling) yang terorganisir, yang melibatkan peran aktif pengrajin kerajinan dari sampah, pengumpul sampah skala masyarakat, dan perusahaan pengolahan sampah. Di sini, pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator dengan menyediakan lokasi penampungan sementara (TPS 3R) yang terpasang peralatan pemilahan dan pengolahan sederhana, serta membangun rantai pasokan untuk produk hasil pengolahan sampah. Misalnya, sampah kertas dapat diubah menjadi pulp untuk membuat buku catatan, sampah plastik menjadi benang untuk membuat tas, dan sampah organik menjadi pupuk kompos yang dapat digunakan oleh petani atau taman kota. Secara konseptual, ini sesuai dengan prinsip ekonomi sirkular, di mana sumber daya dipakai dan dipakai kembali sepanjang mungkin untuk meminimalkan pembuangan dan memaksimalkan nilai ekonomi.

Ketiga, pengembangan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan skala menengah dan makro, seperti pembakaran dengan pembangkit listrik (waste-to-energy), pengomposan skala besar, dan pengolahan sampah dengan teknologi canggih lainnya. Meskipun biaya awal untuk membangun fasilitas ini relatif tinggi, manfaat jangka panjang dalam bentuk pengurangan beban TPA, penciptaan tenaga listrik yang terbarukan, dan penciptaan lapangan kerja jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Penting juga untuk memastikan bahwa teknologi yang dipilih sesuai dengan kondisi lokal dan tidak menimbulkan polusi tambahan, sehingga membutuhkan studi kelayakan teknis dan lingkungan yang mendalam sebelum diimplementasikan.

Keempat, penguatan sistem pemantauan dan pengawasan yang efektif untuk mencegah pembuangan sampah sembarangan. Hal ini dapat dilakukan melalui penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti sistem pemantauan dengan kamera cctv di lokasi rawan pembuangan sampah, aplikasi pelaporan untuk warga, dan sistem penilaian kinerja bagi petugas pengumpulan sampah. Selain itu, perlu dilakukan penegakan hukum yang tegas tetapi manusiawi terhadap pelaku pembuangan sampah sembarangan, yang disertai dengan penawaran kesempatan untuk memperbaiki diri melalui partisipasi dalam program pengelolaan sampah masyarakat.

Kelima, peningkatan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat, pemerintah kota, masyarakat sipil, swasta, dan lembaga internasional. Kolaborasi ini dapat berupa pembagian tugas, pembagian biaya, dan berbagi pengetahuan serta teknologi untuk mencapai tujuan bersama. Contohnya, pemerintah dapat menyediakan kebijakan dan insentif, swasta dapat berperan dalam pengembangan dan pengoperasian fasilitas pengolahan sampah, dan masyarakat sipil dapat berperan dalam pemantauan dan edukasi masyarakat.

Secara sintetis, masalah pengelolaan sampah di Palembang yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup adalah tantangan yang kompleks tetapi tidak tak teratasi. Dengan menerapkan solusi yang terintegrasi dan berkelanjutan yang melibatkan semua pemangku kepentingan, Palembang tidak hanya dapat mengatasi masalah sampah yang ada tetapi juga dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam membangun masyarakat yang mandiri, sehat, dan berkelanjutan. Ini tidak hanya masalah kebersihan semata, melainkan investasi jangka panjang dalam masa depan kota dan kesejahteraan generasi mendatang.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Fenomena Penurunan Minat Menjadi Dosen dan PNS: Interseksi Antara Ekonomi, Norma Sosial, dan Masa Depan Pendidikan Nasional dalam Konteks RUU Sisdiknas

Rab Des 24 , 2025
Opini: Daeng Supriyanto SH MH CMS.P Pemerhati Pendidikan Dalam cakupan diskursus kebijakan pendidikan nasional yang tengah diperdalam melalui pengkajian Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), muncul sorotan yang sangat krusial mengenai turunnya minat masyarakat untuk menjadikan profesi dosen dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pilihan karir — sebuah fenomena […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI