![]()
:
Opini: Daeng Supri Yanto SH MH
Keputusan Presiden Prabowo Subianto pada 10 November 2025, untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, adalah sebuah manuver politik yang menggugah perdebatan mendasar tentang bagaimana kita memahami, menafsirkan, dan mewariskan sejarah bangsa. Tindakan ini bukan sekadar pemberian gelar kehormatan, melainkan sebuah pernyataan epistemologis yang berpotensi mereduksi kompleksitas sejarah Indonesia menjadi narasi tunggal yang problematik.
Soeharto, sebagai figur sentral dalam sejarah Indonesia modern, adalah paradoks itu sendiri. Di satu sisi, ia adalah arsitek pembangunan ekonomi yang membawa Indonesia menuju industrialisasi dan stabilitas makroekonomi. Di sisi lain, ia adalah олигарх yang memimpin rezim otoriter dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan dan praktik korupsi yang merajalela. Bagaimana mungkin seorang tokoh yang begitu kontroversial dapat dinobatkan sebagai pahlawan nasional tanpa mengkhianati nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan akuntabilitas?
Argumen yang mendukung penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional sering kali bertumpu pada narasi pembangunanisme yang menekankan pencapaian ekonomi sebagai justifikasi utama. Namun, pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa pembangunan ekonomi tersebut dicapai dengan mengorbankan hak-hak sipil dan politik, serta melalui praktik korupsi yang sistematis. Apakah kita akan mengagungkan keberhasilan ekonomi yang dibangun di atas fondasi ketidakadilan dan penindasan?
Lebih jauh lagi, keputusan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk merevisi sejarah secara selektif. Ini adalah upaya untuk menutupi kejahatan masa lalu dan menggantinya dengan narasi yang lebih menguntungkan bagi rezim yang berkuasa. Dengan menobatkan Soeharto sebagai pahlawan, negara seolah-olah memberikan legitimasi kepada praktik-praktik otoriter dan korup yang menjadi ciri khas Orde Baru.
Implikasi dari tindakan ini sangat luas. Pertama, ia akan merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara dan proses demokrasi. Jika negara memberikan penghargaan tertinggi kepada seorang tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan praktik korupsi, maka pesan yang disampaikan adalah bahwa nilai-nilai tersebut tidak terlalu penting.
Kedua, ia akan memecah belah masyarakat. Isu ini akan memicu polarisasi antara kelompok yang mendukung dan menentang pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan. Hal ini dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik, serta menghambat upaya rekonsiliasi nasional.
Ketiga, ia akan memberikan legitimasi kepada kekuatan-kekuatan politik yang ingin kembali ke masa lalu. Ini dapat membuka ruang bagi munculnya kembali ideologi dan praktik yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Dalam konteks ini, kita perlu mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: apa yang kita inginkan dari masa depan Indonesia? Apakah kita ingin membangun sebuah negara yang berdasarkan pada nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia, atau kita ingin kembali ke masa lalu yang otoriter dan korup?
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan sekadar masalah sejarah, tetapi juga masalah identitas dan arah bangsa. Ini adalah sebuah pilihan yang akan menentukan bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita ingin dikenang oleh generasi mendatang.
Sebagai intelektual, kita memiliki tanggung jawab untuk mengkritisi wacana ini dengan cermat dan memberikan perspektif yang lebih luas. Kita harus memastikan bahwa sejarah tidak diputarbalikkan, nilai-nilai reformasi tidak dikhianati, dan masa depan Indonesia tidak digadaikan.
Keputusan ini mungkin merupakan sebuah kemunduran, tetapi kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berjuang untuk Indonesia yang lebih adil, demokratis, dan beradab. Kita harus memastikan bahwa memori kolektif bangsa tidak terdistorsi oleh kepentingan politik sesaat.




