![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Ketua Asosiasi pelaku olahraga Nasional Indonesia
Gubernur DKI Pramono Anung dalam suasana acara Peluncuran Pelatihan Gig Economy dan Soft Launching AI Innovation Challenge di mana dia mengajukan penawaran Jakarta untuk menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON) 2028 dengan frasa yang tegas, “kalau daerah lain tidak sanggup, adakan saja di Jakarta” , tidak hanya sekadar momen keterangan publik. Ini adalah wacana yang sarat dengan makna intelektual, yang mengungkapkan dinamika kuasa antara pusat dan daerah, serta pertanyaan mendasar tentang fungsi PON sebagai alat untuk pembangunan merata dan peningkatan identitas regional dalam kerangka bangsa Indonesia.
Dari perspektif teori politik teritorial, penawaran ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari “sentralisme yang implisit” yang masih melekat dalam tata kelola negara Indonesia. Jakarta, sebagai ibukota dan pusat ekonomi, sosial, dan budaya, selalu memiliki posisi yang istimewa dalam tatanan kehidupan nasional – termasuk dalam bidang olahraga. Namun, frasa “tidak sanggup” yang digunakan Pramono Anung mengundang kita untuk mempertimbangkan: apakah “kesanggupan” ini diukur secara objektif berdasarkan kapasitas infrastruktur, keuangan, dan manajerial? Ataukah ia merupakan konstruksi dari pandangan sentral yang seringkali memandang daerah lain sebagai kurang mampu dibandingkan pusat? Ini adalah pertanyaan epistemologis yang krusial, karena ia menentukan bagaimana kita memahami peran PON bukan hanya sebagai ajang perlombaan, melainkan sebagai platform untuk mendistribusikan kesempatan dan membangun kapasitas di seluruh wilayah.
Secara sosiologis, PON telah lama berperan sebagai simbol integrasi nasional – tempat di mana atlet dari berbagai daerah berkumpul untuk bersaing, berbagi budaya, dan memperkuat ikatan persatuan. Namun, jika PON terus-menerus digelar di pusat atau daerah yang sudah memiliki infrastruktur lengkap, ia berisiko kehilangan maknanya sebagai alat untuk pembangunan regional. Konsekuensinya, daerah yang kurang berkembang akan semakin tertinggal dalam hal pengembangan olahraga, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan dampak ekonomi, sosial, dan budaya yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan acara skala besar seperti PON. Ini adalah masalah keadilan sosial yang mendalam, yang menantang kita untuk mempertimbangkan apakah tujuan PON adalah untuk menampilkan keunggulan infrastruktur pusat, atau untuk memberdayakan daerah untuk tumbuh dan berkembang melalui olahraga.
Dari aspek ekonomi, penawaran Jakarta memiliki sisi positif yang tidak dapat disangkal. Sebagai kota dengan fasilitas transportasi, akomodasi, dan sumber daya manusia yang melimpah, Jakarta memang memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan PON dengan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan banyak daerah lain. Penyelenggaraan PON di Jakarta juga berpotensi menciptakan lapangan kerja, mempromosikan pariwisata, dan mendorong pertumbuhan industri olahraga di kota tersebut. Namun, kita harus mempertimbangkan juga biaya tersembunyi dari penyerahan terus-menerus penyelenggaraan PON ke pusat: yaitu, hilangnya kesempatan bagi daerah lain untuk mengembangkan ekonomi lokal mereka melalui acara ini. Ini adalah kontradiksi antara efisiensi jangka pendek dan pembangunan merata jangka panjang, yang membutuhkan pemikiran kritis tentang prioritas nasional dalam bidang olahraga.
Selain itu, wacana yang diungkapkan Pramono Anung juga mengajukan pertanyaan tentang peran pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan nasional. Penawaran yang dia sampaikan dalam acara yang tidak langsung terkait dengan olahraga – yaitu, acara tentang gig economy dan inovasi menunjukkan bahwa isu PON adalah bagian dari ranah politik yang lebih luas, di mana keputusan tentang olahraga dapat dipengaruhi oleh pertimbangan yang tidak sepenuhnya terkait dengan tujuan ajang tersebut. Ini adalah contoh dari bagaimana “kebijakan olahraga” tidak lagi berdiri sendiri, melainkan terjalin dengan kebijakan ekonomi, teknologi, dan politik lainnya – sebuah fenomena yang dikenal dalam teori kebijakan publik sebagai “interkonektivitas kebijakan”.
Meskipun demikian, kita tidak boleh menolak sepenuhnya penawaran Jakarta. Dalam situasi di mana tidak ada daerah lain yang benar-benar memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan PON dengan baik, Jakarta sebagai pusat dapat berperan sebagai “penyelamat” yang memastikan ajang ini tetap berjalan. Namun, hal ini harus dilakukan dengan prinsip-prinsip yang jelas: yaitu, bahwa penyelenggaraan di Jakarta adalah langkah sementara, dan upaya untuk membangun kapasitas daerah harus tetap menjadi prioritas utama. Selain itu, Jakarta juga harus berkomitmen untuk berbagi sumber daya, pengetahuan, dan pengalaman dengan daerah lain, agar mereka dapat siap menyelenggarakan PON di masa depan.
Dengan mempertimbangkan semua aspek ini, kita dapat menyimpulkan bahwa penawaran Gubernur DKI Pramono Anung untuk menggelar PON 2028 di Jakarta adalah wacana yang kompleks dan penuh dengan implikasi intelektual. Ini adalah refleksi dari kuasa sentral yang masih kuat, tetapi juga menimbulkan tantangan penting tentang keadilan regional, fungsi PON sebagai alat pembangunan, dan hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka bangsa Indonesia. Pencapaian keputusan yang adil dan berkelanjutan tentang penyelenggaraan PON 2028 membutuhkan dialog yang terbuka, partisipatif, dan berdasarkan pemikiran kritis tentang tujuan yang ingin dicapai oleh ajang olahraga nasional ini.




