Penangkapan dan Penahanan Kajari dan Kasi Intel HSU: Sebuah Langkah Krusial yang Mengungkapkan Kedalaman Masalah

Loading

Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH CMS.P

Ketua Dewan pimpinan wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan

Ketika kita membahas lebih jauh tentang kasus ini, penangkapan dan penahanan Kepala Kejaksaan Negeri HSU Albertinus Parlinggoman Napitupulu serta Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri HSU Asis Budianto oleh KPK menjadi elemen yang tidak hanya melengkapi narasi kegagalan OTT terhadap Tri Taruna, tetapi juga sebagai sebuah temuan yang memiliki bobot intelektual dan normatif yang sama besarnya—bahkan mungkin lebih mendalam dalam mengungkapkan kompleksitas dan kedalaman masalah yang ada di dalam lembaga kejaksaan di wilayah tersebut.

Dari sudut pandang teori institusi, penangkapan kedua tokoh kunci ini menunjukkan bahwa kasus pemerasan yang diduga bukanlah perbuatan individu semata, melainkan berpotensi sebagai bagian dari jaringan atau budaya yang sudah mendarah daging di dalam lembaga tersebut. Pada tataran analitis, hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan kolusi atau kohesi negatif di antara aparat kejaksaan yang seharusnya bekerja untuk melindungi kepentingan publik, bukan untuk memanfaatkan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi. Ini adalah premis yang sangat krusial, karena ia mengubah narasi dari “kejahatan individu” menjadi “masalah kelembagaan”—yang membutuhkan pendekatan penanganan yang jauh lebih komprehensif daripada sekadar menuntut tanggung jawab individu.

Selanjutnya, penahanan kedua tersangka ini selama 20 hari pertama (terhitung mulai 19 Desember 2025 hingga 8 Januari 2026) berdasarkan keterangan yang dimiliki KPK menunjukkan bahwa institusi anti-korupsi tersebut memiliki bukti yang cukup kuat untuk memperkuat dugaan mereka. Di tingkat yuridis, hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang memberika wewenang kepada KPK untuk melakukan penahanan terhadap tersangka jika ada alasan yang cukup kuat bahwa tersangka berpotensi melarikan diri, menghancurkan bukti, atau melakukan tindak pidana lain. Namun, dari sudut pandang sosiologis, penahanan ini juga memiliki makna simbolis: ia menunjukkan bahwa tidak ada jabatan yang terluar dari cakupan penegakan hukum, bahkan jabatan sebagai kepala kejaksaan negeri yang memiliki wewenang hukum yang signifikan.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: bagaimana bisa seorang Kajari dan Kasi Intel—yang seharusnya menjadi pemimpin dan penjaga keamanan informasi di lembaga kejaksaan—terlibat dalam dugaan pemerasan? Dari perspektif teori keamanan internal, hal ini mengungkapkan adanya celah yang sangat besar dalam mekanisme pengawasan dan pengendalian di dalam Kejaksaan Negeri HSU. Kasi Intel, yang tugasnya antara lain adalah untuk memantau dan mencegah terjadinya pelanggaran oleh aparat kejaksaan sendiri, ternyata menjadi bagian dari dugaan kejahatan—sebuah ironi yang sangat mendalam yang menunjukkan bahwa sistem pengawasan internal yang ada mungkin sudah tidak berfungsi dengan baik, atau bahkan sudah terkontaminasi oleh budaya korupsi itu sendiri.

Di tingkat kebijakan, penangkapan kedua tersangka ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kebutuhan akan reformasi yang lebih mendalam di dalam lembaga kejaksaan. Sejak tahun 2004, Indonesia telah melakukan berbagai upaya reformasi kejaksaan, termasuk pembentukan Komisi Pengawas Kejaksaan (KPK) dan penerapan sistem pengangkatan jaksa yang lebih transparan. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa reformasi tersebut masih belum cukup untuk menghilangkan seluruh elemen korupsi di dalam lembaga tersebut. Ini menuntut kita untuk mempertimbangkan kembali strategi reformasi, termasuk memperkuat kekuatan dan kebebasan Komisi Pengawas Kejaksaan, meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan bagi jaksa, serta menciptakan budaya profesionalisme dan integritas yang lebih kuat di dalam lembaga.

Selain itu, penangkapan Kajari dan Kasi Intel juga memiliki implikasi terhadap hubungan antara KPK dan Kejaksaan secara keseluruhan. Sebagai dua institusi yang memiliki peran penting dalam penegakan hukum, hubungan antara keduanya seringkali penuh dengan ketegangan dan persaingan. Namun, dalam kasus ini, KPK telah menunjukkan bahwa ia tidak ragu untuk menindak jaksa yang terlibat dalam dugaan kejahatan, bahkan jika itu berarti melanggar batasan yang selama ini dianggap sebagai “wilayah kekuasaan” kejaksaan. Di tingkat konseptual, hal ini mengindikasikan adanya pergeseran dalam dinamika kekuasaan antara kedua institusi—dari hubungan yang saling menghindari atau saling menantang menjadi hubungan yang lebih berbasis pada prinsip-prinsip hukum dan keadilan.

Tidak kalah penting, penangkapan kedua tersangka ini juga memberikan harapan kepada masyarakat bahwa sistem penegakan hukum masih berfungsi. Meskipun kegagalan OTT terhadap Tri Taruna menimbulkan keraguan, penangkapan dan penahanan Kajari dan Kasi Intel menunjukkan bahwa KPK mampu melakukan tugasnya dengan tegas dan objektif. Di tingkat psikologis, hal ini dapat membantu memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum, meskipun hanya sebagian. Namun, untuk memulihkan kepercayaan secara penuh, sangat penting bagi KPK untuk terus melanjutkan investigasi dengan transparan dan profesional, serta untuk memastikan bahwa semua tersangka akan dituntut tanggung jawab sesuai dengan hukum.

Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini juga merupakan contoh dari bagaimana penegakan hukum anti-korupsi di Indonesia semakin matang. Meskipun masih ada banyak tantangan, KPK telah menunjukkan bahwa ia mampu menangani kasus-kasus yang kompleks dan sensitif, bahkan ketika tersangka berasal dari lingkaran yang paling tinggi di dalam lembaga penegakan hukum. Ini adalah langkah yang sangat penting dalam perjalanan menuju negara hukum yang sesungguhnya, di mana hukum adalah yang paling tinggi dan tidak ada seorang pun yang berada di atasnya.

Polemik OTT yang Gagal Tangkap Jaksa: Sebuah Refleksi atas Integritas Institusi dan Kekuatan Hukum

Dari kacamata penelitian hukum dan analisis kelembagaan, kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang gagal menangkap Tri Taruna Fariadi, Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (HSU) yang menjadi tersangka pemerasan, bukan sekadar insiden terisolasi melainkan sebuah fenomena yang mengangkat pertanyaan mendasar terkait dengan dinamika kekuasaan, integritas institusi penegak hukum, dan efektivitas mekanisme penegakan hukum di dalam ranah anti-korupsi. Pada tataran epistemologis, peristiwa ini mengekspos ketidakseimbangan antara harapan masyarakat terhadap keadilan yang cepat dan tegas dengan realitas praktis yang dihadapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugasnya, terutama ketika tersangka berasal dari lingkaran yang seharusnya menjadi mitra dalam upaya penegakan hukum.

Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa OTT sebagai instrumen penegakan hukum memiliki dimensi dual: di satu sisi, ia berfungsi sebagai simbol kekuatan negara yang tegas terhadap pelanggar hukum, namun di sisi lain, kegagalan dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan efek kontraproduktif yang merusak citra kredibilitas institusi penegak hukum. Dalam konteks kasus ini, keberhasilan Tri Taruna melarikan diri meskipun dalam situasi OTT yang seharusnya terencana dengan cermat mengindikasikan kemungkinan adanya celah dalam proses perencanaan, pelaksanaan, atau bahkan potensi informasi yang bocor—sebuah premis yang membutuhkan investigasi mendalam agar tidak terjatuh ke dalam spekulasi semata, namun tidak dapat diabaikan mengingat posisi tersangka sebagai bagian dari lembaga kejaksaan yang memiliki akses ke jaringan dan pengetahuan tentang mekanisme penegakan hukum.

Dari perspektif sosiologis hukum, kasus ini juga menggambarkan kompleksitas hubungan antara berbagai lembaga penegak hukum. Kata-kata Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu tentang kebutuhan koordinasi dengan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan tidak hanya merupakan sebuah langkah prosedural, melainkan juga sebuah wacana yang mengungkapkan dinamika kekuasaan antara dua institusi yang memiliki peran penting dalam penegakan hukum. Di satu sisi, koordinasi ini diperlukan untuk memastikan efektivitas pencarian, namun di sisi lain, ia juga menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh keberadaan hubungan antarlembaga dapat mempengaruhi objektifitas dan kecepatan proses penegakan hukum. Apakah koordinasi ini akan menjadi jembatan untuk kerjasama yang produktif, ataukah ia akan menjadi hambatan akibat adanya sentimen keberadaan atau pertimbangan politik yang tersembunyi? Ini adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang berdasar pada bukti empiris, bukan sekadar asumsi.

Selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan implikasi normatif dari kasus ini terhadap prinsip-prinsip hukum yang menjadi landasan negara hukum. Prinsip “semua orang sama di muka hukum” (aequitas juris) menjadi sangat relevan di sini: bagaimana masyarakat akan mempercayai sistem hukum jika seseorang yang seharusnya menjadi penjaga hukum ternyata menjadi pelanggar hukum dan mampu melarikan diri dari penangkapan? Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan, tetapi juga terhadap seluruh sistem penegakan hukum. Di tingkat teoretis, ini mengangkat pertanyaan tentang seberapa kuat mekanisme pengawasan internal yang ada di dalam lembaga kejaksaan untuk mencegah dan menangani kasus-kasus pelanggaran oleh aparatnya sendiri. Apakah sistem pengawasan internal yang ada sudah cukup efektif, ataukah ia membutuhkan perbaikan yang mendasar untuk menghindari terjadinya kasus serupa di masa depan?

Kegagalan OTT ini juga memiliki implikasi terhadap strategi penegakan hukum anti-korupsi secara keseluruhan. KPK sebagai institusi yang diberikan wewenang khusus untuk memberantas korupsi telah melakukan banyak upaya yang berharga, namun kasus ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi masih sangat besar, terutama ketika tersangka berasal dari lingkaran yang memiliki akses ke sumber daya dan jaringan yang kuat. Di tingkat analitis, ini menuntut KPK untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap proses perencanaan dan pelaksanaan OTT, serta untuk memperkuat mekanisme keamanan informasi agar tidak terjadi kebocoran yang dapat merusak upaya penangkapan. Selain itu, ini juga menuntut adanya kerja sama yang lebih erat dan efektif antara KPK dengan lembaga lain, termasuk kejaksaan, polisi, dan lembaga pengawas lainnya, dengan syarat bahwa kerja sama ini tidak menimbulkan konflik kepentingan atau merusak objektifitas proses penegakan hukum.

Tidak kalah penting, kita perlu mempertimbangkan dampak psikologis kasus ini terhadap masyarakat. Ketika masyarakat melihat bahwa seorang jaksa yang diduga melakukan kejahatan mampu melarikan diri, hal ini dapat menimbulkan perasaan frustasi, kecewa, dan bahkan skeptisisme terhadap kemampuan negara untuk memberantas korupsi. Di tingkat sosio-politik, hal ini dapat memperdalam kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat, serta memperkuat persepsi bahwa sistem hukum hanya bekerja untuk kelompok tertentu. Untuk mengatasi hal ini, sangat penting bagi KPK dan institusi terkait untuk memberikan informasi yang transparan dan teratur tentang perkembangan kasus ini, serta untuk menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk menuntut tanggung jawab semua pelaku kejahatan, tanpa memandang jabatan atau status mereka.

Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini juga merupakan bagian dari perjalanan panjang negara Indonesia menuju negara hukum yang sesungguhnya. Perjuangan untuk memberantas korupsi dan memperkuat integritas institusi penegak hukum bukanlah hal yang mudah, dan pasti akan dihadapkan dengan berbagai rintangan dan tantangan. Namun,正是 melalui penanganan kasus-kasus yang sulit seperti ini yang sistem hukum kita akan semakin kuat dan handal. Penting bagi kita semua untuk melihat kasus ini bukan sebagai kegagalan yang total, melainkan sebagai kesempatan untuk belajar, memperbaiki, dan memperkuat mekanisme penegakan hukum agar lebih efektif dan terpercaya.

Sebagai kesimpulan, kasus OTT yang gagal tangkap jaksa di HSU adalah sebuah peristiwa yang sangat signifikan yang mengangkat pertanyaan mendasar terkait dengan integritas institusi, efektivitas penegakan hukum, dan prinsip-prinsip negara hukum. Penanganan kasus ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif, objektif, dan transparan, yang melibatkan kerja sama antara berbagai lembaga dan pemangku kepentingan. Hanya dengan demikian kita dapat memastikan bahwa keadilan akan ditegakkan, integritas institusi akan dipulihkan, dan harapan masyarakat terhadap negara hukum yang sesungguhnya akan terwujud.

Sebagai penutup, penangkapan dan penahanan Kajari dan Kasi Intel HSU oleh KPK adalah sebuah langkah krusial yang tidak hanya memperdalam pemahaman kita tentang kasus ini, tetapi juga sebagai refleksi dari masalah kelembagaan yang ada di dalam lembaga kejaksaan. Penanganan kasus ini membutuhkan pendekatan yang cermat, objektif, dan komprehensif, yang melibatkan kerja sama antara berbagai institusi dan pemangku kepentingan. Hanya dengan demikian kita dapat memastikan bahwa keadilan akan ditegakkan, integritas institusi akan dipulihkan, dan reformasi hukum akan terus berjalan ke arah yang benar.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Simbol Kekuasaan dan Bayangan Perang: Kapal Induk China dalam Peta Geopolitik Asia yang Bergejolak

Sab Des 20 , 2025
Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH Pengamat Geopolitik Indonesia Di tengah lautan geopolitik yang semakin bergelombang, Asia saat ini berada pada titik krusial yang membuat banyak pengamat internasional merenungkan kemungkinan terjadinya konflik skala besar. Frasa “sejengkal” menuju perang yang sering terdengar tidak lagi sekadar ungkapan kosong, melainkan gambaran yang cukup […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI