![]()

Opini oleh : Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Peristiwa penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Kejati Sumsel, dan seluruh pemerintah kabupaten/kota pada Kamis (4/12/2025) di Griya Agung Palembang tidak sekadar ritual administrasi yang berwujud tanda tangan pada kertas; melainkan manifestasi dari kesadaran kognitif yang mendalam akan kebutuhan transformasi paradigma pemidanaan di Indonesia, khususnya di wilayah Sumsel, yang selaras dengan arus pemikiran hukum modern yang lebih berfokus pada substansi keadilan daripada formalitas penahanan fisik. Dalam konteks yang lebih luas, langkah ini merupakan wujud responsif terhadap pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru Tahun 2026 yang membuka ruang bagi pemidanaan berbasis kerja sosial, sehingga menandakan bahwa Sumsel tidak hanya menjadi penerima kebijakan nasional, tetapi juga aktor yang berusaha mengartikulasikannya secara kontekstual dengan mempelajari dari pengalaman Provinsi Bali yang telah membuktikan keberhasilan implementasi kebijakan serupa melalui peraturan daerah yang adaptif.
Dari perspektif keilmuan hukum, pernyataan Gubernur Herman Deru bahwa kebijakan ini “bukan sekadar alternatif hukuman, tapi bentuk keadilan yang lebih mendidik dan produktif” mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang fungsi hukum yang tidak hanya represif, tetapi juga rehabilitatif dan transfomatif. Dalam tradisi pemidanaan konvensional, penjara seringkali diposisikan sebagai alat penegakan otoritas negara yang berfokus pada hukuman sebagai konsekuensi dari pelanggaran hukum, namun tanpa memadai mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan pelaku tindak pidana dan integrasinya kembali ke masyarakat. Pidana kerja sosial, sebaliknya, menawarkan kerangka yang lebih holistik dengan memposisikan pelaku sebagai subjek yang memiliki potensi untuk berkembang dan berkontribusi, bukan hanya objek yang harus dihukum. Hal ini sejalan dengan teori keadilan restoratif yang menekankan pentingnya memulihkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kejahatan, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Selain aspek normatif keadilan, kebijakan ini juga memiliki dimensi instrumental yang sangat signifikan, terutama dalam hal efisiensi anggaran negara. Data yang dipaparkan Gubernur bahwa beban anggaran untuk narapidana mencapai Rp2 triliun pada 2018 dan kini diperkirakan melampaui Rp3 triliun merupakan indikator yang jelas akan beban finansial yang semakin membebani APBN/APBD, yang pada gilirannya dapat mengurangi alokasi anggaran untuk sektor-sektor lain yang lebih produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Dengan menerapkan pidana kerja sosial, negara tidak hanya mampu menghemat pengeluaran yang原本 dialokasikan untuk biaya makan, tempat tinggal, dan perawatan narapidana, tetapi juga memperoleh manfaat ekonomi dari hasil kerja para pelaku yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Ini menciptakan siklus yang saling menguntungkan: pelaku mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan merasa berguna, masyarakat mendapatkan kontribusi nyata dari mereka, dan negara mengoptimalkan penggunaan sumber daya keuangan yang terbatas.
Implementasi yang terstruktur melalui kerja sama antar instansi juga menjadi poin krusial yang tidak dapat diabaikan. Ketentuan bahwa pelaku tindak pidana akan menjalani kerja sosial di instansi pemerintah atau swasta sesuai domisili masing-masing, dengan penentuan lokasi yang ditetapkan oleh hakim setelah mempertimbangkan tuntutan jaksa dan kondisi pelaku, menunjukkan adanya upaya untuk memastikan bahwa program ini dijalankan dengan keadilan proses dan mempertimbangkan konteks individu setiap pelaku. Prioritisasi pada pelaku tindak pidana ringan, anak, dan kelompok rentan lainnya juga mencerminkan pemahaman akan kebutuhan perlakuan khusus terhadap kelompok-kelompok yang memiliki kerentanan yang lebih besar, sehingga kebijakan ini tidak hanya efektif, tetapi juga adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Selain itu, penyesuaian jenis pekerjaan dengan kebutuhan daerah dan penghindaran gangguan terhadap mata pencaharian pelaku menjadi jaminan bahwa program ini tidak akan menyebabkan beban tambahan bagi pelaku atau masyarakat, melainkan menjadi sarana untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan.
Namun, di balik semua potensi positif yang ditawarkan, kita juga harus menyadari bahwa implementasi pidana kerja sosial tidaklah tanpa tantangan. Pernyataan Gubernur yang menekankan bahwa “Sumsel harus siap secara regulasi dan kesiapan lapangan” merupakan pengakuan yang realistis terhadap kebutuhan akan kerangka hukum yang jelas, perangkat pelaksana yang terlatih, dan sistem pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa program ini berjalan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Tanpa regulasi yang komprehensif dan perangkat yang memadai, ada risiko bahwa kebijakan ini akan dijalankan secara sembarangan, sehingga tidak mencapai tujuan rehabilitasi dan bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru seperti eksploitasi kerja atau kurangnya keadilan bagi pelaku. Selain itu, kebutuhan untuk memastikan bahwa kerja sosial yang diberikan benar-benar mendidik dan produktif membutuhkan kolaborasi dengan lembaga-lembaga yang memiliki keahlian dalam bidang pelatihan keterampilan dan pengembangan sumber daya manusia.
Komentar Kepala Kejati Sumsel Ketut Sumedana bahwa “sistem hukum modern kini lebih menekankan substansi keadilan daripada sekadar pemenjaraan semata” semakin memperkuat argumen bahwa kebijakan ini merupakan langkah yang sesuai dengan perkembangan pemikiran hukum di dunia. Di era di mana masyarakat semakin menyadari bahwa penjara tidak selalu menjadi solusi terbaik untuk masalah kejahatan, pidana kerja sosial menawarkan alternatif yang lebih manusiawi dan efektif, yang berfokus pada pemulihan dan pengembangkan potensi pelaku. Dalam konteks Sumsel yang sedang berusaha meningkatkan kualitas tata pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat, kebijakan ini dapat menjadi salah satu pilar untuk membangun masyarakat yang lebih adil, makmur, dan harmonis.
Secara keseluruhan, penandatanganan MoU penerapan pidana kerja sosial di Sumsel merupakan langkah kritis yang berarti dalam perjalanan menuju sistem pemidanaan yang lebih humanis dan efisien. Ini mencerminkan kesadaran yang tumbuh tentang pentingnya memadukan aspek normatif keadilan dengan dimensi instrumental efisiensi, serta kebutuhan untuk mengembangkan kebijakan yang adaptif dan kontekstual. Meskipun tantangan pasti akan muncul dalam proses implementasi, keberhasilan Provinsi Bali sebagai contoh sebelumnya memberikan harapan bahwa Sumsel juga dapat menjalankan program ini dengan sukses. Dengan dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, lembaga hukum, maupun masyarakat, pidana kerja sosial di Sumsel memiliki potensi untuk menjadi model bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam membangun sistem keadilan yang lebih baik dan lebih berwawasan manusia.




