![]()

Opini Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan
Di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta yang dipenuhi nuansa keheranan dan pertanyaan tentang struktur kekuasaan, muncul wacana yang menggabungkan dimensi otoritas eksekutif, peran staf khusus, dan implikasi pada penegakan hukum korupsi. Pada sidang terdakwa Sri Wahyuningsih (Direktur SD Ditjen Paud, Pendidikan Dasar, dan Menengah periode 2020-2021) pada Selasa (23/12), saksi mantan Dirjen Paudasmen Hamid Muhammad mengungkapkan kuasa yang luar biasa dari mantan staf khusus Nadiem Makarim, Jurist Tan – sebuah kewenangan yang mencakup IT, anggaran, regulasi, dan bahkan rotasi serta promosi pegawai Kemendikbudristek. Jaksa yang kaget menyebut kewenangan ini bisa membuat pejabat menjadi “ngeri-ngeri sedap”, sementara Hamid menambahkan bahwa Nadiem sendiri telah memberi “lampu hijau” dengan meminta pejabat menaati perkataan Jurist. Pernyataan ini bukan sekadar pengungkapkan peran individu, melainkan merupakan wujud dari perdebatan mendasar tentang batasan otoritas staf khusus dalam lembaga pemerintahan, serta bagaimana konsentrasi kekuasaan dalam tangan sedikit orang dapat memengaruhi proses kebijakan dan berpotensi menciptakan ruang untuk pelanggaran hukum.
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa peran Jurist Tan sebagai staf khusus yang diberi kewenangan melampaui tugas tradisional staf eksekutif adalah fenomena yang menarik dalam teori tata kelola pemerintahan. Secara konseptual, staf khusus biasanya bertugas sebagai penasihat, koordinator, atau penyalur informasi bagi menteri – bukan sebagai pejabat yang memiliki wewenang eksekutif untuk membuat keputusan tentang rotasi pegawai, anggaran, atau regulasi. Ketika Hamid menyatakan bahwa Jurist memiliki kewenangan “siapa pun yang akan rotasi, mutasi, promosi itu kewenangannya”, ia mengungkapkan struktur kekuasaan yang tidak konvensional di Kemendikbudristek pada era Nadiem. Dalam teori organisasi publik, konsentrasi kekuasaan dalam tangan staf khusus dapat menyebabkan “desentralisasi otoritas yang terbalik” – di mana pejabat struktural (seperti eselon 1 dan 2) menjadi tunduk pada wewenang individu yang tidak memiliki jabatan formal yang sesuai dengan kewenangannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah terdapat aturan atau peraturan yang mengatur wewenang staf khusus, serta bagaimana sistem pengawasan dapat berfungsi efektif dalam konteks seperti itu.
Selanjutnya, ungkapan jaksa yang menyebut pejabat menjadi “ngeri-ngeri sedap” karena kewenangan Jurist Tan adalah refleksi dari dampak psikologis dan struktural dari konsentrasi kekuasaan. Frasa ini – yang menggambarkan perasaan takut yang menyelimuti rasa nyaman atau ketergantungan – mencerminkan bagaimana pejabat dapat dipaksa untuk mematuhi keinginan individu yang memiliki wewenang atas karier mereka. Dalam konteks kasus pengadaan laptop Chromebook, hal ini menjadi lebih relevan ketika Hamid mengakui bahwa Jurist telah merencanakan penggunaan Chromebook sejak Agustus 2019 – jauh sebelum tahun anggaran 2020-2022. Ini menunjukkan bahwa keputusan kebijakan tentang pengadaan TIK bisa telah ditentukan oleh individu yang tidak memiliki jabatan formal dalam proses pengadaan, yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip transparansi dan partisipasi yang seharusnya menjadi dasar kebijakan publik. Pertanyaan yang muncul adalah: seberapa jauh pengaruh Jurist Tan telah memengaruhi proses penentuan spesifikasi, seleksi penyedia, dan pencairan anggaran untuk pengadaan Chromebook – yang kini menjadi objek tuduhan korupsi?
Tegasan Hamid bahwa Nadiem Makarim telah memberi “lampu hijau” dengan meminta pejabat menaati perkataan Jurist Tan menambahkan lapisan kontekstual yang penting. Dalam sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, menteri memiliki wewenang untuk menentukan struktur organisasi dan tugas staf di lembaganya. Namun, wewenang ini harus tetap berada dalam batasan hukum dan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Ketika menteri secara terang-terangan meminta pejabat untuk mematuhi perintah staf khusus, ia secara tidak langsung memberikan legitimasi pada wewenang yang diberikan – bahkan ketika wewenang itu melampaui batasan yang wajar. Ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab menteri atas tindakan staf khususnya, serta bagaimana sistem hukum harus menilai peran menteri dalam menciptakan lingkungan di mana konsentrasi kekuasaan dapat berpotensi menyebabkan pelanggaran hukum. Dalam kasus ini, meskipun Nadiem bukan terdakwa, peranannya dalam memberi “lampu hijau” kepada Jurist menjadi bagian dari narasi tentang bagaimana kekuasaan dapat dibagikan dan dimanfaatkan dalam lembaga pemerintahan.
Di sisi lain, kita juga harus mempertimbangkan tindakan Jurist Tan yang mangkir pemeriksaan Kejagung dua kali, meninggalkan Indonesia sejak pertengahan Mei 2025, hingga akhirnya ditetapkan sebagai buron dengan red notice yang disiapkan. Tindakan ini adalah bentuk dari “penyembunyian diri” yang memiliki implikasi hukum dan simbolis. Secara hukum, mangkir pemeriksaan dan menjadi buron merupakan pelanggaran terhadap proses penegakan hukum, yang dapat menambah tuduhan terhadap individu tersebut. Secara simbolis, tindakan ini dapat diartikan sebagai tanda kesalahannya atau sebagai upaya untuk menghindari konsekuensi dari peranannya dalam kasus pengadaan Chromebook. Dalam konteks penegakan hukum korupsi, keberadaan buron seringkali menciptakan tantangan bagi penyidik untuk membangun bukti yang kuat, serta menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sistem imigrasi dan pengawasan perjalanan orang yang terlibat dalam kasus hukum.
Selain itu, konteks kasus pengadaan laptop Chromebook – yang melibatkan anggaran publik untuk kebutuhan pendidikan – menunjukkan bahwa masalah kekuasaan dan korupsi dalam lembaga pemerintahan tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berpotensi merusak kualitas layanan publik. Pengadaan TIK yang tidak transparan atau tidak sesuai kebutuhan dapat menghambat akses pendidikan bagi siswa, yang pada gilirannya mempengaruhi masa depan generasi muda. Hal ini menegaskan bahwa konsekuensi dari konsentrasi kekuasaan dan pelanggaran hukum dalam lembaga pemerintahan tidak hanya bersifat institusional, tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Kita juga tidak boleh melupakan tentang implikasi dari kasus ini terhadap kepercayaan masyarakat pada lembaga pemerintahan dan sistem penegakan hukum. Ketika staf khusus yang tidak memiliki jabatan formal diberi wewenang yang melampaui batasan, dan kemudian menjadi buron dalam kasus korupsi, ini dapat merusak kepercayaan masyarakat pada integritas dan akuntabilitas pemerintah. Dalam konteks demokrasi, kepercayaan masyarakat pada lembaga pemerintahan adalah dasar untuk keberhasilan kebijakan dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, proses peradilan yang transparan dan adil dalam kasus ini – yang mempertimbangkan notasi kekuasaan Jurist Tan, peran Nadiem, dan implikasi pada pengadaan Chromebook – adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
Sebagai kesimpulan, kasus yang mengungkapkan kuasa Jurist Tan sebagai staf khusus Nadiem Makarim di Kemendikbudristek adalah contoh dari perdebatan mendasar tentang struktur kekuasaan, otoritas staf eksekutif, dan implikasi pada penegakan hukum korupsi. Narasi yang terjalin antara kewenangan yang melampaui batasan, “lampu hijau” dari menteri, tindakan buron, dan kasus pengadaan Chromebook menunjukkan kompleksitas yang luar biasa dari kasus ini. Meskipun Jurist saat ini menjadi buron, proses peradilan yang akan datang akan menentukan bagaimana sistem hukum menilai peran individu dan lembaga dalam menciptakan lingkungan yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum. Hanya melalui pemahaman yang mendalam tentang batasan otoritas, pentingnya transparansi, dan tanggung jawab yang jelas yang lembaga pemerintahan dapat membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah terjadinya pelanggaran hukum di masa depan.



