![]()

Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan
Di penghujung tahun 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menorehkan cap sejarah yang tidak terabaikan melalui pelaksanaan tiga operasi tangkap tangan (OTT) secara berturut-turut dalam waktu kurang dari 24 jam, mencakup wilayah Banten, Kabupaten Bekasi di Jawa Barat, dan Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan. Fenomena ini tidak hanya menjadi sorotan publik yang meluas, melainkan juga menjadi titik temu refleksi intelektual yang mendalam terkait dinamika penegakan hukum, struktur kekuasaan, dan upaya mempertahankan integritas tatanan sosial-politik di Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas, rangkaian OTT maraton ini dapat dilihat sebagai manifes dari kompleksitas perjuangan melawan korupsi, di mana kecepatan aksi bertemu dengan kebutuhan ketelitian, dan keberanian menantang kekuasaan bertemu dengan keterbatasan sistem yang masih perlu diperkuat.
Pertama-tama, kita harus memahami signifikansi intrinsik dari pelaksanaan tiga OTT secara bersamaan dalam waktu yang sangat singkat. Menurut juru bicara KPK, Budi Prasetyo, keberhasilan ini tidaklah disengaja atau merupakan bagian dari strategi khusus untuk menciptakan efek sensasi, melainkan lebih disebabkan oleh jadwal transaksi ilegal yang dilakukan oleh para terduga pelaku secara beruntun. Namun, dari sudut pandang intelektual, fenomena ini juga menunjukkan kemampuan KPK dalam melakukan pemantauan yang cermat, koordinasi yang efektif antar tim penyidik, dan kemampuan untuk mengambil keputusan cepat dalam situasi yang dinamis. Hal ini menjadi bukti bahwa lembaga antirasuah tersebut telah mencapai tingkat kematangan yang cukup dalam menjalankan tugasnya, meskipun masih terdapat tantangan yang besar dalam menanggapi kompleksitas kasus korupsi yang semakin berkembang.
Dalam OTT ke sembilan yang dilakukan di Banten pada periode 17-18 Desember 2025, KPK menangkap seorang jaksa, dua pengacara, dan enam orang pihak swasta, serta menyita uang tunai senilai Rp 900 juta. Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar terkait integritas aparat penegak hukum dan profesi hukum, yang seharusnya menjadi pelindung keadilan dan kebenaran. Dari perspektif sosiologis hukum, keikutsertaan jaksa dan pengacara dalam praktik korupsi menunjukkan adanya “krisis kepercayaan” terhadap lembaga-lembaga yang bertugas melindungi hukum. Hal ini juga menandakan bahwa korupsi tidak hanya merambat di kalangan pejabat pemerintah, tetapi juga telah menembus lapisan profesi yang seharusnya memiliki standar etis yang tinggi. Dalam konteks ini, penangkapan para pelaku dalam OTT ini dapat dilihat sebagai upaya KPK untuk membersihkan ruang profesi hukum dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Selanjutnya, OTT ke sepuluh yang dilakukan di Kabupaten Bekasi pada 18 Desember 2025 menjerat 10 orang, termasuk Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana korupsi dapat merusak tata kelola daerah dan mengganggu pelaksanaan pembangunan. Sebagai kepala daerah, bupati memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin daerah dengan penuh integritas dan bertanggung jawab, namun dalam kasus ini, dia diduga terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan kepentingan publik. Dari perspektif teori tata kelola pemerintahan, keikutsertaan pejabat publik tingkat tinggi dalam korupsi menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas mekanisme pemilihan kepala daerah, yang seharusnya menghasilkan pemimpin yang berkompeten dan berintegritas. Dalam konteks ini, penangkapan Bupati Bekasi dapat dilihat sebagai upaya KPK untuk menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal terhadap hukum, termasuk pejabat publik yang memegang wewenang.
Terakhir, OTT ke sebelas yang dilakukan di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada 18 Desember 2025 menangkap enam orang, termasuk Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai Utara Albertinus Parling Goman Napitupulu dan Kepala Seksi Intelijen Kejari Hulu Sungai Utara Asis Budianto. Kasus ini menjadi sorotan khusus karena melibatkan aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi mitra KPK dalam memerangi korupsi. Dari perspektif intelektual, keikutsertaan kejaksaan dalam kasus korupsi menunjukkan adanya “konflik kepentingan” yang mendalam dalam sistem penegakan hukum. Sebagai lembaga yang bertugas menuntut pidana, kejaksaan seharusnya bekerja sama dengan KPK untuk memberantas korupsi, namun dalam kasus ini, sejumlah aparat kejaksaan diduga terlibat dalam praktik korupsi itu sendiri. Hal ini juga menandakan bahwa perjuangan melawan korupsi tidak hanya melawan pelaku yang berada di luar lembaga penegakan hukum, tetapi juga melawan yang berada di dalamnya. Dalam konteks ini, penangkapan para aparat kejaksaan dalam OTT ini dapat dilihat sebagai upaya KPK untuk membersihkan lembaga penegakan hukum dan memastikan bahwa sistem hukum berjalan dengan adil dan transparan.
Selain itu, rangkaian OTT maraton ini juga memiliki implikasi yang lebih luas terhadap dinamika politik dan sosial di Indonesia. Dalam konteks politik, penangkapan pejabat publik tingkat tinggi dalam kasus korupsi dapat mempengaruhi stabilitas politik dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini juga dapat menjadi momentum untuk melakukan reformasi politik yang lebih mendalam, termasuk peningkatan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas pejabat publik. Dalam konteks sosial, kasus korupsi yang terungkap melalui OTT ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam perjuangan melawan korupsi. Hal ini juga dapat menciptakan budaya hukum yang lebih kuat, di mana setiap orang menghormati hukum dan bertanggung jawab atas tindakannya.
Namun, kita juga tidak boleh melewatkan sisi lain dari masalah ini. Dalam beberapa kasus, pelaksanaan OTT oleh KPK telah menimbulkan pertanyaan terkait prosedur hukum dan perlindungan hak-hak tersangka. Beberapa kritikus berpendapat bahwa KPK seringkali melakukan OTT secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan sepenuhnya bukti-bukti yang ada, yang dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak tersangka. Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa KPK terlalu tergantung pada OTT sebagai alat utama dalam memerangi korupsi, yang dapat menyebabkan kurangnya perhatian terhadap upaya pencegahan korupsi yang lebih mendasar. Dalam konteks ini, penting bagi KPK untuk terus meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugasnya, serta memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sesuai dengan hukum dan perlindungan hak-hak manusia.
Dari perspektif sejarah, rangkaian OTT maraton di akhir tahun 2025 dapat dilihat sebagai bagian dari perjalanan panjang KPK dalam memerangi korupsi di Indonesia. Sejak dibentuk pada tahun 2003, KPK telah melakukan banyak pencapaian dalam memberantas korupsi, termasuk penangkapan banyak pejabat publik tingkat tinggi dan pemulihan aset negara yang cukup besar. Namun, perjuangan melawan korupsi masih jauh dari selesai, dan KPK masih menghadapi banyak tantangan dalam menjalankan tugasnya. Dalam konteks ini, rangkaian OTT maraton ini dapat dilihat sebagai tanda bahwa KPK tetap berkomitmen untuk memerangi korupsi dengan penuh semangat dan dedikasi, meskipun menghadapi tantangan yang besar.
Sebagai kesimpulan, tiga OTT KPK di akhir tahun 2025 adalah peristiwa yang signifikan dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya menjadi sorotan publik yang meluas, melainkan juga menjadi titik temu refleksi intelektual yang mendalam terkait dinamika penegakan hukum, struktur kekuasaan, dan upaya mempertahankan integritas tatanan sosial-politik di Indonesia. Meskipun terdapat pertanyaan dan kekhawatiran terkait prosedur hukum dan perlindungan hak-hak tersangka, rangkaian OTT maraton ini dapat dilihat sebagai upaya positif KPK untuk memberantas korupsi dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Dalam konteks yang lebih luas, peristiwa ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kebutuhan akan reformasi yang lebih mendalam dalam sistem penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan, agar korupsi dapat benar-benar dihilangkan dari kehidupan bangsa. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat mencapai tujuan menjadi negara yang adil, makmur, dan berdaulat.




