![]()

Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan
Di tengah kemajuan digital yang tak terhenti dan ekspansi ekosistem keuangan berbasis teknologi, muncul fenomena yang mengganggu tatanan privasi dan keamanan sosial: maraknya aksi debt collector ilegal yang berkedok “mata elang” (matel) dan peran aplikasi digital yang diduga menyebarkan data pribadi nasabah secara luas. Kasus yang mencuat terkait aplikasi Gomatel-Data R4 Telat Bayar yang berpusat di Kabupaten Gresik tidak hanya menjadi sorotan publik melalui unggahan warganet dan akun Instagram Kombes Manang Soebeti, tetapi juga menjadi titik temu refleksi intelektual yang mendalam terkait hubungan antara inovasi digital, regulasi hukum, dan keberadaan hak asasi manusia dalam era informasi. Fenomena ini mengungkapkan celah yang parah antara kecepatan perkembangan teknologi dan kemampuan sistem pengatur untuk menanggapi risiko yang muncul, serta mempertanyakan esensi dari perlindungan data sebagai hak dasar yang tidak dapat dinegosiasikan.
Pertama-tama, kita harus memahami signifikansi intrinsik dari munculnya aplikasi seperti Gomatel dalam konteks ekosistem keuangan digital. Di satu sisi, teknologi telah memberikan kemudahan akses ke layanan pembiayaan bagi masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan, membuka peluang ekonomi yang lebih luas. Namun, dari sudut pandang teori keamanan data dan privasi, aplikasi semacam ini menunjukkan bagaimana inovasi yang tidak terkendali dapat berubah menjadi alat yang merusak. Gomatel yang viral di media sosial diketahui menyediakan akses ke data pribadi nasabah perusahaan pembiayaan—mulai dari identitas pribadi, alamat tempat tinggal, nomor kontak, hingga riwayat pembayaran—yang kemudian dimanfaatkan oleh debt collector ilegal untuk melakukan praktik perampasan kendaraan dan tekanan yang tidak sesuai hukum. Dari perspektif intelektual, hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kemudahan akses informasi yang ditawarkan oleh teknologi seharusnya mengorbankan hak privasi yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi?
Kedua, kita harus mempertimbangkan peran debt collector ilegal yang berkedok “matel” dalam memperparah keresahan masyarakat. Istilah “mata elang” semula memiliki konotasi positif sebagai kelompok yang bertugas menegakkan ketertiban, tetapi dalam konteks ini, ia telah dicuri maknanya untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum dan etika. Para pelaku disebut melakukan perampasan kendaraan tanpa proses hukum yang sah, memberikan ancaman kepada nasabah dan keluarga mereka, serta menggunakan data pribadi yang diperoleh dari aplikasi Gomatel untuk menekan nasabah membayar utang. Dari perspektif sosiologis, fenomena ini menunjukkan adanya “krisis kepercayaan” terhadap lembaga keuangan dan layanan digital, di mana masyarakat merasa tidak aman bahkan dalam transaksi yang seharusnya terproteksi. Hal ini juga menandakan bahwa korupsi dan penyalahgunaan wewenang tidak hanya terjadi di kalangan pejabat publik, tetapi juga telah merambat ke sektor swasta dan ruang digital yang masih kurang teratur. Dalam konteks ini, keresahan masyarakat yang tumbuh adalah respons yang wajar terhadap pelanggaran hak-hak mereka dan ketidakmampuan sistem untuk memberikan perlindungan yang memadai.
Ketiga, kita harus memahami signifikansi dari unggahan viral milik Kombes Manang Soebeti di akun Instagram @manangsoebati_official pada Senin (15/12/2025), di mana ia mempertanyakan legalitas aplikasi Gomatel. Sebagai figur yang memiliki otoritas dalam bidang keamanan dan hukum, pertanyaan yang dia ajukan tidak hanya menjadi sorotan publik, tetapi juga memicu diskursus intelektual tentang peran lembaga penegak hukum dalam menanggapi masalah digital. Dari perspektif teori regulasi, unggahan ini menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum mulai menyadari pentingnya mengawasi ruang digital yang semakin luas, namun juga mengekspos keterbatasan pengetahuan dan sumber daya dalam menangani kasus yang melibatkan teknologi canggih. Pertanyaan legalitas aplikasi Gomatel—mulai dari bagaimana ia memperoleh data pribadi nasabah, apakah ia memiliki izin yang sah dari otoritas yang berwenang, hingga apakah tindakannya melanggar peraturan perlindungan data—merupakan isu yang mendasar yang harus diselesaikan dengan cepat dan tegas. Dalam konteks ini, unggahan Kombes Manang Soebeti dapat dilihat sebagai upaya untuk menstimulasi aksi dari lembaga regulasi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mempertahankan hak privasi di era digital.
Keempat, kita harus mempertimbangkan implikasi yang lebih luas dari kasus Gomatel terhadap ekosistem digital dan keuangan Indonesia. Dalam era di mana data menjadi “emas baru”, penyebaran data pribadi secara luas tanpa persetujuan nasabah tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan risiko keamanan yang serius, seperti pencurian identitas, penipuan, dan gangguan sosial. Dari perspektif ekonomi, fenomena ini dapat merusak perkembangan industri keuangan digital yang potensial, karena masyarakat akan ragu-ragu menggunakan layanan yang tidak memberikan jaminan keamanan data. Selain itu, kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab perusahaan pembiayaan yang data nasabahnya bocor. Apakah perusahaan tersebut telah melakukan langkah-langkah pencegahan yang memadai untuk melindungi data nasabah? Atau apakah mereka telah secara sengaja atau tidak sengaja memberikan akses data kepada pihak yang tidak berwenang? Dari perspektif intelektual, hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab untuk melindungi data pribadi tidak hanya terletak pada pengembang aplikasi atau debt collector ilegal, tetapi juga pada semua pihak yang terlibat dalam rantai nilai layanan keuangan digital.
Kelima, kita harus mempertimbangkan upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini dan mencegah terjadinya hal yang sama di masa depan. Dari sisi regulasi, diperlukan penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran perlindungan data dan tindakan debt collector ilegal. Otoritas yang berwenang, seperti Badan Pengawas Perdagangan Berbasis Teknologi Elektronik (BPJT) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), harus lebih proaktif dalam memantau dan menutup aplikasi yang tidak sah serta memberlakukan sanksi yang berat terhadap pelaku. Dari sisi perusahaan pembiayaan, diperlukan peningkatan keamanan data dan kebijakan yang lebih ketat dalam memberikan akses data kepada pihak ketiga. Selain itu, juga diperlukan pendidikan masyarakat tentang hak privasi mereka dan cara melindungi diri dari penyalahgunaan data di era digital. Dari perspektif teori keadilan, semua upaya ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kemudahan akses ke teknologi dan perlindungan hak asasi manusia, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan manfaat digital tanpa harus mengorbankan keamanan dan privasi mereka.
Namun, kita juga tidak boleh mengabaikan sisi lain dari masalah ini. Dalam beberapa kasus, nasabah yang terlibat dalam utang yang terlewati kadang-kadang juga tidak memahami persyaratan dan konsekuensi dari layanan pembiayaan yang mereka gunakan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya disebabkan oleh penyalahgunaan oleh pihak swasta atau lembaga, tetapi juga oleh kurangnya literasi keuangan dan digital di kalangan masyarakat. Dalam konteks ini, upaya untuk mengatasi masalah ini harus bersifat komprehensif, mencakup tidak hanya penegakan hukum dan regulasi, tetapi juga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai kesimpulan, kasus keresahan masyarakat soal maraknya debt collector ilegal berkedok matel dan aplikasi Gomatel-Data R4 Telat Bayar adalah peristiwa yang signifikan yang mengungkapkan celah yang parah dalam perlindungan data pribadi dan penegakan hukum di era digital. Fenomena ini tidak hanya menjadi sorotan publik, tetapi juga menjadi titik temu refleksi intelektual yang mendalam terkait hubungan antara teknologi, hukum, dan hak asasi manusia. Meskipun terdapat tantangan yang besar dalam menanggapi masalah ini, upaya untuk mengatasi masalah ini adalah penting untuk memastikan bahwa ekosistem digital Indonesia tetap aman, adil, dan memihak kepada masyarakat. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun masa depan digital yang berkelanjutan dan mempromosikan kesejahteraan sosial bagi semua warga negara.




