Layakkah Banjir dan Longsor Sumatra Ditetapkan sebagai Bencana Nasional?

Loading

Opini: Daeng Supriyanto SH MH

Dalam konteks kerentanan bumi Indonesia yang berada di lingkar api Pasifik, peristiwa bencana alam bukanlah hal yang asing, namun skala dan dampak banjir serta longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir tahun 2025 memunculkan pertanyaan mendasar mengenai kewajiban negara dalam menanggapi krisis yang terus memburuk. Berdasarkan analisis kritis terhadap indikator hukum, realitas lapangan, dan implikasi kebijakan, dapat disimpulkan bahwa penetapan status bencana nasional bukan hanya menjadi kebutuhan mendesak, melainkan juga kewajiban konstitusional yang harus diambil oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, mengingat jumlah korban yang terus bertambah dan luasnya wilayah yang terjangkau yang telah melampaui kapasitas penanganan tingkat provinsi.

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa dasar hukum penetapan bencana nasional telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 7 ayat (2) yang menguraikan lima indikator utama: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah terdampak, serta dampak sosial-ekonomi. Dari data yang tersedia, bencana ini telah menimbulkan 770 korban jiwa dan 463 korban hilang—angka yang tidak hanya mengagetkan, tetapi juga menunjukkan tingkat keparahan yang melampaui skala bencana lokal atau provinsi. Analisis intelektual dari pakar kebencanaan Hijrah Saputra dari Universitas Airlangga menekankan bahwa tidak hanya jumlah korban yang menjadi pertimbangan, tetapi juga tren peningkatan kerugian yang terus berlanjut seiring waktu, yang menjadikan status bencana nasional sebagai langkah yang logis dan sesuai dengan kerangka hukum yang ada.

Selanjutnya, meskipun Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno menyatakan bahwa penanganan bencana sudah dilakukan secara nasional dengan pengerahan sumber daya dari seluruh kementerian/lembaga, TNI, dan Polri atas perintah Presiden Prabowo, terdapat kesenjangan antara realitas penanganan dan status hukum yang diberikan. Dalam kerangka teori kebijakan publik, status hukum memiliki peran penting sebagai instrumen untuk memfasilitasi akses sumber daya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, serta untuk menciptakan kerangka kerja yang terstruktur untuk penanganan jangka panjang. Tanpa status bencana nasional, upaya penanganan yang dilakukan meskipun penuh kekuatan tetap terkurung oleh batasan-batasan administratif dan keuangan yang tidak bisa diatasi hanya dengan instruksi presiden semata. Hal ini terutama relevan mengingat polemik yang sering muncul terkait alokasi anggaran, seperti yang pernah dibahas oleh tokoh politik seperti Dedi Mulyadi dalam konteks penanganan bencana sebelumnya—dimana status hukum dapat memberikan kejelasan dalam pengelolaan anggaran dan pertanggungjawaban keuangan.

Lebih jauh, penetapan status bencana nasional juga memiliki implikasi yang lebih luas terhadap kebijakan pembangunan dan perlindungan lingkungan, terutama terkait dengan penyebab akar dari bencana ini. Seperti yang ditegaskan oleh Hijrah Saputra, bencana ini tidak hanya disebabkan oleh faktor cuaca ekstrem, tetapi juga oleh masalah hulu yang parah seperti ilegal logging dan kerusakan hutan, yang terkadang terkait dengan aktivitas ekonomi seperti tambang nikel yang banyak ada di wilayah Sumatera. Dalam konteks pemikiran intelektual yang diajukan oleh tokoh agama dan sosial seperti Yahya Cholil Staquf mengenai pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, status bencana nasional dapat menjadi momentum untuk pemerintah untuk mengambil langkah-langkah jangka panjang yang lebih tegas dalam menanggapi masalah akar tersebut, bukan hanya menangani akibatnya. Hal ini juga berhubungan dengan diskusi mengenai RKUHAP (Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang sedang diperdebatkan, di mana aturan yang lebih tegas terhadap pelanggaran perlindungan lingkungan dapat diintegrasikan untuk mencegah terjadinya bencana serupa di masa depan.

Tidak boleh kita lupakan juga prosedur hukum yang harus diikuti dalam penetapan status bencana nasional, yang menuntut rekomendasi dari BNPB dan pernyataan resmi dari gubernur provinsi terdampak mengenai ketidakmampuan mereka dalam menanggapi bencana. Berdasarkan Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana tahun 2016, status nasional ditetapkan ketika pemerintah provinsi tidak mampu memobilisasi sumber daya manusia, mengaktivasi sistem komando, atau melaksanakan penanganan awal seperti penyelamatan dan evakuasi. Dengan luasnya wilayah yang terjangkau—meliputi tiga provinsi besar di Sumatera—jelas bahwa kapasitas provinsi tidak cukup untuk menangani krisis ini secara mandiri, bahkan dengan dukungan awal dari pusat. Penetapan status nasional akan memberikan kemudahan akses yang lebih besar untuk pengerahan logistik, peralatan, dan sumber daya manusia dari berbagai daerah di Indonesia, serta memudahkan penerimaan bantuan internasional yang selama ini masih menjadi perdebatan.

Namun, kita juga harus menyadari bahwa penetapan status bencana nasional bukanlah solusi sempurna. Ini hanyalah langkah awal yang harus diikuti dengan implementasi kebijakan yang efektif, transparansi dalam pengelolaan sumber daya, dan evaluasi yang teratur untuk memastikan bahwa bantuan sampai ke korban yang benar-benar membutuhkannya. Dalam konteks kepemimpinan Prabowo Subianto yang baru menjabat, penetapan status ini juga akan menjadi ujian nyata terhadap kemampuannya dalam menanggapi krisis nasional dengan cepat, tegas, dan berkeadilan. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan penanganan darurat, tetapi juga dengan komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan dan perlindungan kesejahteraan rakyat yang terkena dampak bencana.

Sebagai kesimpulan, berdasarkan analisis hukum, realitas lapangan, dan implikasi kebijakan yang mendalam, banjir dan longsor yang melanda Sumatera sudah sangat layak ditetapkan sebagai bencana nasional. Status ini tidak hanya menjadi kebutuhan mendesak untuk menanggapi jumlah korban yang terus bertambah dan luasnya wilayah terdampak, tetapi juga sebagai instrumen untuk menangani masalah akar yang menyebabkan bencana ini dan membangun ketahanan bencana jangka panjang. Pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto harus segera mengambil langkah ini, dengan mempertimbangkan saran dari pakar, masukan dari tokoh masyarakat seperti Dedi Mulyadi dan Yahya Cholil Staquf, serta implikasi terhadap kebijakan nasional seperti RKUHAP dan pengelolaan sumber daya alam seperti tambang nikel. Hanya dengan demikian, negara dapat menunjukkan komitmennya terhadap kesejahteraan rakyat dan kemampuannya dalam menanggapi krisis yang menguji ketahanan bangsa.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Sumsel Tancap Gas Bangun ‘Industri’ Savate: Tiga Pengurus Dilantik, TC Nasional Disiapkan

Sab Des 6 , 2025
Detiknews.tv – Palembang |Sumatera Selatan mengambil langkah besar dengan mempercepat pembentukan ekosistem savate melalui pelantikan serentak tiga pengurus Kabupaten/Kota Palembang, Muara Enim, dan OKU Selatan untuk periode 2025–2029. Langkah berani ini menegaskan ambisi Sumsel untuk tidak hanya menjadi pusat pembinaan, tetapi juga “industri baru” olahraga savate di Indonesia. Acara pelantikan […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI