KORUPSI LRT PALEMBANG – TELAAH EKSPLANATORIS ATAS SISTEMIKITAS KRIMINALITAS DI TENAGA KERJA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

Loading

OPINI: Daeng Supriyanto SH MH

Advokat

Di tengah semarak perayaan Natal yang seharusnya mengusung semangat kasih dan keadilan, sidang korupsi pembangunan Light Rail Transit (LRT) Palembang pada Rabu (24/12/2025) mengungkapkan babak gelap yang tak hanya merusak citra infrastruktur nasional, melainkan juga mengekspos kompleksitas sistemikitas kejahatan ekonomi yang menyertai proses pengadaan publik di Indonesia. Fakta penyerahan uang tunai senilai lebih dari Rp25 miliar dalam koper di dua apartemen – sebagai “fee” atau “biaya koordinasi” yang tidak tercatat secara resmi – bukan sekadar kasus pelanggaran hukum individual, melainkan manifestasi dari keruntuhan norma tata kelola, kesenjangan antara keharusan efisiensi dan kontrol internal, serta budaya penundaan akuntabilitas yang masih melekat dalam ranah pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

DARI NUSANTARA HINGGA PUSAT: KONEKTIFITAS KRIMINAL DALAM INFRASTRUKTUR NASIONAL

Palembang, sebagai salah satu kota kunci di wilayah Nusantara yang menjadi tumpuan pembangunan ekonomi di Sumatera Selatan, seharusnya menjadi contoh keberhasilan implementasi program pemerintahan untuk meningkatkan konektivitas antar daerah. Namun, kasus LRT Palembang menunjukkan bahwa kecepatan pembangunan infrastruktur tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas tata kelola. Penyerahan uang di Apartemen Kalibata City (Jakarta) dan Apartemen MT Haryono (Jakarta) menggambarkan bagaimana jaringan korupsi tidak terbatas pada wilayah proyek, melainkan memiliki jangkauan lintas wilayah yang menghubungkan pusat kekuasaan dengan daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: seberapa banyak proyek infrastruktur di wilayah Nusantara lainnya yang berjalan dengan mekanisme serupa, di mana dana negara mengalir melalui saluran gelap yang tidak terdeteksi oleh sistem pengawasan?

EKONOMI & BISNIS: KERUGIAN NEGARA SEBAGAI KERUGIAN KEMAKMURAN MASYARAKAT

Dari sudut pandang ekonomi dan bisnis, kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp74,55 miliar berdasarkan audit APIP Kejati Sumsel adalah kerugian yang berdampak multisektoral. Nilai kontrak yang meningkat dari Rp70 miliar menjadi Rp93 miliar tanpa dasar teknis yang jelas, disertai penyerahan fee yang lebih besar dari keuntungan yang diperoleh PT Perentjana Djaja (Rp18 miliar), menunjukkan bahwa mekanisme penawaran dan pencairan dana telah diubah menjadi alat untuk memperkaya diri. Hal ini tidak hanya menyia-nyiakan alokasi anggaran yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas prasarana dan lapangan kerja, melainkan juga menurunkan kepercayaan investor asing dan domestik terhadap lingkungan bisnis di Indonesia. Ketika BUMN seperti PT Waskita Karya terlibat dalam mekanisme semacam ini, citra BUMN sebagai motor penggerak ekonomi nasional menjadi tercoreng, dan kapasitasnya untuk bersaing di pasar global menjadi tertekan.

HUKUM & KRIMINAL: KESULITAN MEMBAWA JUSTISI TERHADAP KEJAHATAN EKONOMI KOMPLEKS

Dalam ranah hukum dan kriminal, kasus ini mengekspos tantangan mendasar dalam memberlakukan hukum terhadap kejahatan ekonomi yang kompleks. Penyimpanan uang tunai dalam koper, pencatatan dana sebagai “kasbon” atau “biaya overhead”, dan kurangnya dokumentasi resmi mengenai kesepakatan fee adalah strategi yang dirancang untuk menghindari pengawasan dan pembuktian di pengadilan. Meskipun empat saksi telah memberikan keterangan yang saling memperkuat, tantangan tetap ada dalam membuktikan hubungan langsung antara penyerahan uang dengan keputusan penunjukan pelaksana teknis dan kerugian negara. Selain itu, pengembalian sebagian dana (lebih dari Rp22 miliar) ke Kejaksaan sebagai upaya meminimalkan kerugian negara menimbulkan pertanyaan mengenai kepastian hukum: apakah tindakan semacam ini dapat menjadi pertimbangan untuk mengurangi pidananya, ataukah ia hanya merupakan upaya untuk menghindari konsekuensi hukum yang penuh? Ini menuntut pengadilan untuk memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika kejahatan ekonomi dan kemampuan untuk menerapkan hukum dengan tegas, tanpa mengorbankan prinsip keadilan.

POLITIK & PEMERINTAH: RANAH KEKUASAAN DAN KORUPSI SEBAGAI PENGENDALI PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN

Di bidang politik dan pemerintahan, kasus LRT Palembang mengungkapkan bagaimana korupsi dapat menjadi pengendali tersembunyi dalam proses pembuatan keputusan publik. Terjadinya peningkatan nilai kontrak dan penyerahan fee sebelum pengambilan kontrak resmi menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh oknum di lembaga pemerintah dan BUMN dapat digunakan untuk memanfaatkan posisi mereka demi kepentingan pribadi atau kelompok. Mantan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan yang menjadi terdakwa adalah bukti bahwa korupsi tidak hanya terjadi di level bawah, melainkan juga di level atas yang memiliki wewenang untuk menentukan arah pembangunan nasional. Hal ini menimbulkan tantangan bagi reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas tata kelola negara: bagaimana mencegah oknum menggunakan kekuasaan mereka untuk merusak kepentingan publik, dan bagaimana membangun sistem pengawasan yang efektif untuk mendeteksi dan mencegah kejahatan semacam ini sejak dini?

PENDIDIKAN & BUDAYA: MENGUBAH NILAI-NILAI UNTUK MENCEGAH KORUPSI JANGKA PANJANG

Dari aspek pendidikan dan budaya, kasus ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan korupsi tidak hanya perlu difokuskan pada sistem dan aturan, tetapi juga pada perubahan nilai-nilai masyarakat. Budaya “biaya koordinasi” yang dianggap wajar oleh sebagian orang, bahkan di kalangan pengusaha dan pejabat, adalah akibat dari kurangnya pendidikan tentang pentingnya keadilan, integritas, dan akuntabilitas. Di sinilah peran pendidikan menjadi krusial: bagaimana menanamkan nilai-nilai anti-korupsi sejak usia muda, dan bagaimana membangun budaya di mana pelanggaran hukum dan pelanggaran etika tidak diterima. Selain itu, media massa memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat tentang dampak korupsi dan menekankan pentingnya transparansi dalam pemerintahan dan bisnis.

SPORT & INFOTAINMENT: RUANG ESKAP DAN PEMBANGUNAN IMANSI YANG MENGABURI REALITAS

Meskipun tidak langsung terkait dengan kasus LRT Palembang, ranah sport dan infotainment memiliki peran yang tidak kalah penting dalam konteks kejahatan ekonomi nasional. Di satu sisi, olahraga dan hiburan dapat menjadi ruang eskap bagi masyarakat dari tekanan kehidupan sehari-hari dan masalah sosial yang kompleks. Di sisi lain, mereka juga dapat menjadi alat untuk membangun imansi yang mengaburkan realitas kerusakan yang ditimbulkan oleh korupsi. Ketika masyarakat terfokus pada prestasi atlet di SEA Games atau berita selebriti, mereka cenderung melupakan masalah serius seperti korupsi yang terus merusak fondasi negara. Oleh karena itu, penting bagi media dan pengelola olahraga serta hiburan untuk memadukan pesan tentang pentingnya keadilan dan integritas dalam konten mereka, sehingga masyarakat tetap waspada dan terlibat dalam upaya memajukan negara.

KESIMPULAN: DARI KOPER KE KEHADIRAN KEADILAN – JALAN MENJADI NEGARA HUKUM YANG SEJAHTERA

Sidang korupsi LRT Palembang yang mengungkapkan penyerahan uang dalam koper adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi Indonesia dalam membangun negara hukum yang adil dan sejahtera. Kasus ini tidak hanya membutuhkan penuntutan hukum yang tegas terhadap para pelaku, tetapi juga reformasi menyeluruh dalam sistem pengadaan publik, tata kelola BUMN, dan pengawasan lembaga pemerintah. Selain itu, ia menuntut perubahan budaya dan peningkatan pendidikan tentang nilai-nilai anti-korupsi untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan. Hanya dengan menggabungkan upaya di semua ranah – ekonomi, hukum, politik, pendidikan, dan sosial – Indonesia dapat melewati babak gelap ini dan menuju masa depan yang lebih cerah, di mana dana negara digunakan untuk kepentingan bersama dan keadilan dapat dinikmati oleh semua warga negara.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori Berita

BOX REDAKSI