Komitmen Kemenkeu Terhadap Pemberdayaan Aset Olahraga: Langkah Kritis Menuju Keadilan, Keberlanjutan, dan Optimalisasi Sumber Daya Negara

Loading

Opini oleh: Daeng Supriyanto SH MH CMS.P

Komitmen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memaksimalkan pemberdayaan dan pengelolaan aset olahraga – yang diutarakan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Askolani dalam acara Indonesia Sport Summit (ISS) 2025 pada Sabtu (6/12/2025) – merupakan manifestasi dari kesadaran kognitif yang mendalam tentang peran aset publik sebagai instrumen yang tidak hanya berfungsi untuk keperluan olahraga, tetapi juga sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya yang berkelanjutan. Dalam konteks yang lebih luas, langkah ini merupakan responsif terhadap pelajaran yang diambil dari tragedi Kanjuruhan yang mengungkapkan keterbatasan fasilitas olahraga yang tidak sesuai standar, sekaligus menawarkan kerangka solusi untuk mengatasi tantangan pengelolaan yang seringkali menjadikan aset ini sebagai beban bagi negara daripada sumber nilai tambah. Hal ini mencerminkan pergeseran paradigma dari pengelolaan aset yang pasif menjadi yang aktif – dari melihat stadion dan fasilitas olahraga sebagai biaya yang harus ditanggung menjadi investasi yang harus dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat dan efisiensi keuangan negara.

Dari perspektif normatif, kejelasan bahwa pemerintah pusat telah membangun 22 stadion selama multiyears dengan nilai sekitar Rp 2 triliun pasca-tragedi Kanjuruhan merupakan bukti dari komitmen negara terhadap keselamatan para penonton dan atlet, serta keadilan dalam penyediaan fasilitas olahraga yang berkualitas bagi seluruh warga. Dalam kerangka pemikiran keadilan sosial, akses ke fasilitas olahraga yang sesuai standar adalah hak setiap individu, karena olahraga tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan atau prestasi, tetapi juga sebagai bagian dari pengembangan kesehatan, karakter, dan kebersamaan sosial. Tragedi Kanjuruhan telah menjadi titik balik yang mendalam dalam kesadaran negara akan pentingnya tidak hanya membangun fasilitas, tetapi juga memastikan bahwa fasilitas tersebut memenuhi syarat keamanan, kenyamanan, dan inklusivitas – sehingga olahraga dapat berperan sebagai alat untuk memperkuat ikatan sosial dan mencegah terjadinya konflik atau kecelakaan yang dapat dicegah. Dalam konteks ini, komitmen Kemenkeu untuk memaksimalkan pemanfaatan aset ini menjadi wujud dari tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa investasi yang dikeluarkan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat, bukan hanya menjadi simbol pembangunan yang tidak berfungsi.

Selain aspek normatif, komitmen ini juga memiliki dimensi instrumental yang sangat signifikan dalam hal optimalisasi sumber daya keuangan negara. Masalah yang seringkali muncul adalah bahwa stadion dan fasilitas olahraga seringkali menjadi sepi setelah event atau kompetisi selesai, sementara pemerintah daerah yang bertugas mengelolanya tetap harus mengeluarkan biaya perawatan yang tidak sedikit – menjadikannya beban anggaran yang tidak produktif. Pernyataan Askolani bahwa “aset itu dianggap beban. Padahal, pandangan kami itu harusnya bisa kita kolaborasikan dengan swasta. Pasti bisa” mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya memadukan kekuatan publik dan swasta (publik-privat partnership/P3) dalam pengelolaan aset publik. Dalam kerangka teori ekonomi publik, P3 merupakan model yang efektif untuk menggabungkan keahlian, sumber daya, dan efisiensi dari swasta dengan tanggung jawab publik pemerintah dalam menyediakan layanan publik. Contoh yang diberikan tentang kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) yang dioperasikan melalui kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan swasta – yang mampu menghasilkan pendapatan tinggi dari ajang olahraga maupun konser – menunjukkan bahwa model ini dapat bekerja dengan sukses di Indonesia, asalkan diatur dengan peraturan yang jelas dan pengawasan yang efektif.

Optimalisasi pemanfaatan aset olahraga juga memiliki implikasi ekonomi yang luas untuk daerah. Sebuah stadion yang dikelola dengan baik tidak hanya dapat menghasilkan pendapatan dari penyelenggaraan event, tetapi juga dapat merangsang pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan kunjungan wisata, permintaan akan jasa akomodasi, makanan dan minuman, serta industri kreatif. Misalnya, kawasan Mandalika yang diberikan status kawasan berikat dengan insentif fiskal berupa pembebasan pajak untuk aktivitas olahraga – seperti yang dijelaskan Askolani – tidak hanya menjadi tuan rumah ajang olahraga internasional, tetapi juga menjadi magnet bagi wisatawan yang ingin menikmati aktivitas olahraga dan hiburan. Hal ini menunjukkan bahwa aset olahraga dapat berperan sebagai katalisator pembangunan ekonomi daerah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal dan mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah. Dalam konteks ini, peran Kemenkeu dalam menyediakan dukungan dalam bentuk appraisal aset, pengelolaan keuangan, dan insentif fiskal menjadi sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan industri olahraga dan pemanfaatan aset yang optimal.

Namun, di balik semua potensi positif yang ditawarkan, kita juga harus menyadari bahwa kolaborasi publik-swasta dan optimalisasi aset olahraga tidaklah tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah memastikan bahwa peran swasta tidak mengorbankan kepentingan publik – yaitu bahwa fasilitas olahraga tetap terjangkau bagi masyarakat luas, bukan hanya menjadi sarana hiburan untuk kalangan tertentu. Dalam beberapa kasus, kolaborasi dengan swasta dapat menyebabkan peningkatan biaya akses ke fasilitas, sehingga masyarakat yang berpenghasilan rendah menjadi terpinggirkan. Oleh karena itu, peraturan yang mengatur P3 harus menyertakan ketentuan tentang akses yang inklusif, seperti pemberian waktu khusus untuk penggunaan fasilitas oleh masyarakat lokal dengan biaya terjangkau. Selain itu, masalah pengawasan juga menjadi krusial – bagaimana memastikan bahwa pengelola swasta menjalankan fasilitas dengan sesuai standar keamanan dan kualitas, serta tidak melakukan praktik yang merugikan negara atau masyarakat. Ini membutuhkan keberadaan lembaga pengawasan yang independen dan berwenang, yang mampu memantau pelaksanaan perjanjian P3 dan menindak pelanggaran yang terjadi.

Tantangan lain adalah memastikan bahwa pengembangan dan pengelolaan aset olahraga selaras dengan keberlanjutan lingkungan. Pembangunan stadion dan fasilitas olahraga dapat memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, seperti perusakan lahan, pencemaran air dan udara, serta peningkatan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, dalam proses perencanaan dan pembangunan, harus dipertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan, seperti penggunaan teknologi ramah lingkungan, pengelolaan limbah, dan konservasi sumber daya alam. Selain itu, pengelolaan fasilitas yang berkelanjutan juga dapat membantu mengurangi biaya perawatan jangka panjang dan meningkatkan nilai aset dalam jangka panjang.

Dalam konteks yang lebih luas, komitmen Kemenkeu terhadap pemberdayaan aset olahraga juga merupakan bagian dari upaya untuk membangun sistem tata kelola publik yang lebih baik dan lebih efisien. Di era di mana sumber daya negara semakin terbatas, penting untuk memastikan bahwa setiap investasi yang dikeluarkan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Pengelolaan aset olahraga yang optimal adalah salah satu contoh dari bagaimana negara dapat mengubah aset yang semula menjadi beban menjadi sumber nilai tambah yang berkelanjutan. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya bertugas menyediakan fasilitas publik, tetapi juga bertugas mengelolanya dengan cara yang cerdas, efisien, dan bertanggung jawab.

Secara keseluruhan, komitmen Kemenkeu untuk memaksimalkan pemberdayaan dan pengelolaan aset olahraga merupakan langkah kritis yang berarti dalam perjalanan menuju pembangunan yang lebih adil, berkelanjutan, dan efisien. Ini mencerminkan pergeseran paradigma dari pengelolaan aset yang pasif menjadi aktif, serta keberhasilan dalam mempelajari pelajaran dari tragedi Kanjuruhan untuk membangun fasilitas yang lebih baik dan lebih aman. Meskipun tantangan pasti akan muncul dalam proses implementasi, contoh yang diberikan tentang GBK dan Mandalika memberikan harapan bahwa model kolaborasi publik-swasta dan optimalisasi aset dapat bekerja dengan sukses di Indonesia. Dengan dukungan penuh dari pemerintah, swasta, dan masyarakat, aset olahraga memiliki potensi untuk menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya yang berkelanjutan – membuktikan bahwa investasi dalam olahraga adalah investasi dalam masa depan negara.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Pemilihan Ketua KONI Daerah: Menegakkan Kedaulatan AD/ART versus Ancaman Politik Dagang Sapi dalam Pencalonan yang Pragmatis

Ming Des 7 , 2025
Opini : Daeng Supriyanto SH MH CMS.P Pemilihan ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) daerah merupakan proses yang memiliki makna konstitusional dalam kerangka tata kelola organisasi olahraga prestasi di tingkat lokal – sebuah proses yang seharusnya ditopang oleh ketatnya ketaatan pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KONI, bukan […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI