![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH
Pengamat Pertambangan Indonesia
Pernyataan terbuka Presiden Prabowo Subianto tentang keterlibatan pejabat TNI-Polri dalam bisnis pertambangan timah yang merusak lingkungan di Bangka Belitung tidak hanya menjadi berita yang menggemparkan, tetapi juga sebagai titik belok epistemologis dalam pemahaman masyarakat tentang dinamika kekuasaan, pengawasan, dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Dalam konteks di mana pemerintah telah secara berulang mengumumkan upaya untuk membasmi tambang ilegal dan penyelundupan mineral, pernyataan ini mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi bukanlah sekadar kelemahan dalam implementasi kebijakan, melainkan kerusakan yang lebih mendalam pada arsitektur kepercayaan dan sistem penegakan hukum yang seharusnya melindungi kepentingan kolektif.
Dari sudut pandang teori kekuasaan, keterlibatan aparat yang seharusnya menjadi penjaga hukum dalam praktik ilegal menciptakan kondisi yang dapat disebut sebagai “paradoks otoritas”: ketika lembaga yang diberi wewenang untuk menegakkan norma malah menjadi pelanggar norma tersebut, maka dasar legitimasi kekuasaan itu sendiri terancam runtuh. Hal ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa laporan tentang keterlibatan TNI-Polri berasal dari dalam aparat itu sendiri — sebuah bukti bahwa ada suara-suara yang berani berbicara di dalam lingkaran yang selama ini dianggap tertutup, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengapa suara-suara itu hanya sekarang dapat mencapai tingkat kepemimpinan negara. Ini mengungkapkan adanya lapisan-lapisan kepemilikan dan kepentingan yang telah melindungi praktik ilegal selama bertahun-tahun, membentuk jaringan yang sulit dilumpuhkan bahkan oleh upaya terkoordinasi dari pemerintah.
Selain itu, data yang diungkapkan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin — bahwa hanya 20% hasil timah Indonesia dikelola secara sah oleh BUMN PT Timah sedangkan 80% dibawa lari tanpa membayar pajak sejak era reformasi hingga saat ini — menggambarkan skala kerugian ekonomi yang struktural dan berlangsung lama. Kerugian pendapatan pajak yang diakibatkan oleh penyelundupan ini tidak hanya merupakan kerugian finansial bagi negara, tetapi juga kerugian pada kesempatan untuk menginvestasikan dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Lebih jauh lagi, fakta bahwa negara lain yang tidak memiliki tambang timah sendiri dapat menjadi pengekspor timah terbesar di dunia hanya dengan memanfaatkan kebocoran dari Indonesia menunjukkan betapa Indonesia telah terjebak dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam rantai pasokan global — di mana negara penghasil sumber daya alam mentah hanya mendapatkan sebagian kecil dari nilai akhir produk yang dibuat dari sumber daya tersebut.
Dari aspek lingkungan, pertambangan timah ilegal di Bangka Belitung telah menyebabkan kerusakan yang parah pada ekosistem darat dan laut. Penambangan yang tidak teratur merusak lahan, menyebabkan erosi, dan mencemari air tanah serta sungai, yang berdampak negatif pada pertanian, perikanan, dan kesehatan masyarakat lokal. Hal ini bertentangan dengan semangat keberlanjutan yang semakin diutamakan di tingkat global dan nasional — sebuah semangat yang seharusnya tercermin dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam bagi generasi mendatang. Namun, ketika kepentingan pribadi dan kelompok mendominasi kepentingan kolektif, maka tujuan keberlanjutan menjadi sekadar kata-kata kosong yang tidak memiliki dasar praktis.
Pernyataan Presiden Prabowo yang mengharapkan Panglima TNI dan Kapolri untuk menindak tegas anggota-anggotanya yang terlibat adalah langkah yang penting dalam menunjukkan komitmen politik, tetapi langkah ini tidak cukup tanpa dukungan dari perubahan sistem yang mendasar. Tindakan disiplin internal, meskipun perlu, tidak akan mengatasi akar masalah kecuali diiringi dengan peningkatan transparansi dalam pengelolaan pertambangan, pemberdayaan masyarakat lokal untuk memantau aktivitas pertambangan, dan penggunaan teknologi canggih untuk melacak aliran mineral dari sumber hingga tujuan akhir. Selain itu, perlu ada upaya untuk mendidik publik tentang pentingnya melindungi sumber daya alam dan membangun budaya kebersamaan yang menekankan bahwa kekayaan alam negara adalah milik semua warga dan harus digunakan untuk kesejahteraan bersama.
Dalam konteks sejarah, praktik penyelundupan timah yang berlangsung sejak era reformasi menunjukkan bahwa masalah ini tidak muncul seketika, tetapi berkembang seiring waktu sebagai akumulasi dari kelemahan dalam sistem pengawasan, korupsi, dan kurangnya akuntabilitas. Era reformasi yang awalnya diharapkan akan membawa perubahan positif dalam tata pemerintahan ternyata juga membuka ruang bagi praktik ilegal untuk berkembang, karena pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas lembaga lokal untuk mengelola sumber daya alam. Hal ini mengungkapkan bahwa perubahan politik yang tidak didukung oleh perubahan kelembagaan dan budaya akan sulit menghasilkan dampak jangka panjang.
Lebih jauh lagi, kasus penyelundupan timah ini juga memiliki implikasi untuk hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Ketika masyarakat melihat bahwa aparat negara tidak dapat dipercaya untuk melindungi kepentingan mereka, maka kepercayaan pada lembaga negara secara keseluruhan akan menurun, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya menindak tegas pelaku penyelundupan, tetapi juga untuk membangun saluran komunikasi yang terbuka dan transparan dengan masyarakat, sehingga masyarakat merasa terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Sebagai kesimpulan, pernyataan Presiden Prabowo tentang keterlibatan TNI-Polri dalam penyelundupan timah adalah momen yang krusial dalam sejarah Indonesia yang membutuhkan tanggapan yang komprehensif dan jangka panjang. Masalah yang dihadapi bukanlah hanya masalah penegakan hukum, tetapi juga masalah epistemologis kekuasaan, kerugian ekonomi struktural, dan tantangan untuk keberlanjutan lingkungan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan perubahan sistem yang mendasar, komitmen politik yang kuat, dan partisipasi dari semua pihak — pemerintah, aparat negara, swasta, masyarakat sipil, dan media. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat melindungi kekayaan alamnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.




