![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH
Ketua Umum Forum Masyarakat Anti Korupsi
Di tengah sorotan publik yang meningkat terhadap peran lembaga penegak hukum anti korupsi, penghentian kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara sebesar Rp 2,7 triliun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) telah menimbulkan kekecewaan yang mendalam – bukan hanya dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) yang menyebutnya sebagai “catatan prestasi buruk” sepanjang sejarah KPK, tetapi juga dari masyarakat luas yang telah meletakkan harapan tinggi pada lembaga ini sebagai pelindung kepentingan negara. Sebenarnya, kasus ini bukan hanya tentang penghentian penyidikan semata, tetapi tentang pertanyaan mendasar terkait selektivitas, ketatnya penentuan tersangka, efisiensi penanganan perkara, dan kepastian hukum yang seharusnya menjadi tulang punggung dari setiap upaya pemberantasan korupsi. Dalam kerangka pemikiran intelektual yang kritis, penghentian kasus yang kerugiannya bahkan disebut lebih besar dari kasus e-KTP ini menimbulkan kekhawatiran tentang apakah KPK masih mampu menjalankan mandatnya dengan kejelasan, keadilan, dan konsistensi yang diharapkan.
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa kekecewaan Pukat UGM yang diutarakan oleh penelitinya Zaenur Rohman adalah cerminan dari harapan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun terhadap KPK. Sejak didirikan, KPK dikenal dengan selektivitasnya dalam menetapkan perkara dan ketatnya dalam memegang teguh proses hukum – sehingga penghentian kasus yang telah diumumkan sebagai tersangka sejak 2017 dan memiliki indikasi kerugian negara yang luar biasa besar menjadi kebalikan dari citra yang telah dibangun. Dalam kerangka pemikiran intelektual, selektivitas yang baik dalam penanganan kasus korupsi adalah bentuk dari “kebijaksanaan penegakan hukum” yang memastikan bahwa sumber daya lembaga dialokasikan untuk perkara yang memiliki bukti kuat dan dampak signifikan bagi negara. Ketika KPK mengumumkan tersangka pada tahun 2017 dengan menyebut kerugian mencapai Rp 2,7 triliun, masyarakat memiliki harapan bahwa lembaga ini telah memiliki dasar bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan. Namun, pengumuman SP3 pada tahun 2025 – setelah delapan tahun penyidikan – menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara penegasan awal dan hasil akhir, yang menjadi akar dari kekecewaan publik.
Selanjutnya, pertanyaan tentang ketatnya penentuan tersangka menjadi titik krusial dalam kasus ini. Zaenur Rohman menekankan bahwa KPK harus lebih ketat lagi dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan alat bukti yang kuat – dan hal ini adalah prinsip yang tidak hanya penting untuk melindungi hak-hak tersangka, tetapi juga untuk memelihara kepercayaan publik terhadap lembaga. Dalam konteks hukum dan intelektual, penentuan tersangka bukanlah tindakan yang ringan; ia memiliki dampak besar pada reputasi individu, serta pada persepsi masyarakat tentang efektivitas penegakan hukum. Ketika KPK menetapkan tersangka tanpa bukti yang cukup kuat, ia tidak hanya menimbulkan kerugian bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga merusak citra lembaga itu sendiri. Kasus ini menunjukkan bahwa mungkin ada kelemahan dalam proses penilaian bukti sebelum penentuan tersangka – sebuah masalah yang harus menjadi bahan evaluasi mendalam bagi KPK agar tidak terulang lagi di masa depan. Jubir KPK Budi Prasetyo menjelaskan bahwa penyidik tidak menemukan kecukupan bukti meskipun telah melakukan pendalaman, tetapi pertanyaan yang muncul adalah: mengapa bukti yang dianggap cukup pada tahun 2017 ternyata tidak cukup pada tahun 2025? Ini adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang jelas dan transparan untuk menenangkan kekecewaan publik.
Selain itu, masalah penanganan perkara yang berlarut-larut juga menjadi sorotan dalam kasus ini. Zaenur Rohman meminta KPK untuk menyelesaikan perkara tepat waktu dan menghindari penanganan yang berlarut-marut – karena kepastian hukum adalah hak asasi yang harus diberikan kepada semua pihak, baik negara maupun tersangka. Dalam kerangka pemikiran intelektual, kepastian hukum adalah dasar dari tata negara yang baik; tanpa itu, masyarakat tidak akan memiliki keyakinan pada sistem hukum dan penegak hukum. Kasus ini dimulai pada tahun 2009, diumumkan sebagai tersangka pada 2017, dan dihentikan pada 2025 – sebuah jangka waktu yang terlalu lama untuk sebuah penyidikan yang seharusnya efisien. Meskipun KPK menjelaskan bahwa SP3 diterbitkan untuk memberi kepastian hukum, kenyataan bahwa kepastian itu hanya diberikan setelah delapan tahun penyidikan membuat masyarakat meragukan efisiensi proses internal lembaga. Ini menunjukkan bahwa KPK perlu melakukan evaluasi terhadap sistem penanganan perkara, termasuk penentuan tenggat waktu yang jelas dan mekanisme pengawasan untuk memastikan bahwa perkara tidak terjebak dalam siklus yang tidak berkesudahan.
Dalam konteks yang lebih luas, penghentian kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang dampak revisi Undang-Undang KPK tahun 2019, yang mengatur ketentuan penghentian perkara dalam Pasal 40 UU 19/2019. Sebelum revisi, KPK memiliki keterbatasan dalam menerbitkan SP3, yang membuat lembaga itu dikenal dengan ketatnya dalam melanjutkan perkara yang dianggap memiliki bukti. Setelah revisi, KPK diberi lebih banyak keleluasaan untuk menghentikan penyidikan jika tidak ditemukan kecukupan bukti – tetapi hal ini juga menimbulkan risiko bahwa lembaga itu akan terlalu cepat mengeluarkan SP3, terutama untuk perkara yang sensitif atau memiliki dampak besar. Dalam kerangka pemikiran intelektual, revisi hukum harus sejalan dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas lembaga, bukan sebagai alasan untuk mengurangi komitmen dalam pemberantasan korupsi. Kasus ini menjadi ujian bagi implementasi revisi UU KPK: apakah keleluasaan yang diberikan digunakan dengan bijak untuk memastikan keadilan, ataukah ia menjadi alasan untuk menghindari tantangan dalam menangani perkara yang sulit?
Selain itu, kekecewaan publik terhadap penghentian kasus ini juga berasal dari kesadaran bahwa kerugian negara yang mencapai Rp 2,7 triliun adalah jumlah yang luar biasa besar – jumlah yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program kesejahteraan masyarakat yang banyak dibutuhkan. Ketika kasus ini dihentikan tanpa ada tuntutan pidana yang berhasil, masyarakat merasa bahwa negara telah kehilangan kesempatan untuk memulihkan kerugian dan memberikan konsekuensi bagi mereka yang diduga bertanggung jawab. Dalam kerangka pemikiran intelektual, pemberantasan korupsi bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga tentang memulihkan kerugian negara dan mencegah terjadinya korupsi di masa depan. Kasus ini menunjukkan bahwa KPK perlu lebih fokus pada upaya pemulihan kerugian negara, bahkan ketika penyidikan tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya bukti – agar negara tidak terus mengalami kerugian yang tidak perlu.
Penting juga untuk memahami bahwa kepercayaan publik terhadap KPK adalah aset yang berharga dan sulit untuk diperoleh kembali setelah tercoreng. Sejak didirikan, KPK telah menjadi harapan masyarakat dalam memerangi korupsi yang merajalela di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, terdapat sejumlah kasus yang menurunkan kepercayaan publik, termasuk kasus internal lembaga itu sendiri dan penghentian perkara yang dianggap penting. Kasus tambang Rp 2,7 triliun ini adalah salah satu kasus yang paling berdampak dalam beberapa tahun terakhir, karena ia melibatkan kerugian negara yang besar dan menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan efektivitas KPK. Dalam konteks pemikiran intelektual, kepercayaan publik adalah dasar dari legitimasi lembaga penegak hukum; tanpa kepercayaan itu, lembaga itu tidak akan mampu menjalankan mandatnya dengan efektif. Oleh karena itu, KPK harus mengambil langkah-langkah tegas untuk menanggapi kekecewaan publik, termasuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penanganan kasus ini, meningkatkan proses penilaian bukti, dan mempercepat penanganan perkara untuk memastikan kepastian hukum.
Meskipun KPK menyatakan bahwa ia tetap terbuka jika ada informasi lebih lanjut terkait kasus ini, hal ini tidak cukup untuk menenangkan kekecewaan publik. Masyarakat membutuhkan lebih dari sekadar janji; mereka membutuhkan bukti bahwa KPK benar-benar berkomitmen untuk memerangi korupsi dan memastikan keadilan. Dalam kerangka pemikiran intelektual, transparansi adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik. KPK harus memberikan penjelasan yang jelas dan rinci tentang alasan penghentian kasus ini, termasuk detail tentang proses penyidikan, bukti yang telah ditemukan, dan alasan mengapa bukti itu dianggap tidak cukup. Hal ini akan membantu masyarakat memahami keputusan yang diambil dan menilai apakah keputusan itu adil dan sesuai dengan hukum.
Kesimpulannya, penghentian kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara sebesar Rp 2,7 triliun oleh KPK telah menimbulkan kekecewaan publik yang mendalam, yang mencerminkan pertanyaan mendasar tentang selektivitas, ketatnya penentuan tersangka, efisiensi penanganan perkara, dan kepastian hukum. Kasus ini bukan hanya tentang penghentian penyidikan semata, tetapi tentang integritas dan efektivitas KPK sebagai lembaga penegak hukum anti korupsi. Pukat UGM telah memberikan evaluasi yang konstruktif dengan menekankan perlunya KPK lebih ketat dalam penentuan tersangka, mempercepat penanganan perkara, dan melakukan evaluasi menyeluruh. KPK harus mengambil evaluasi ini secara serius dan mengambil langkah-langkah tegas untuk memulihkan kepercayaan publik, karena kepercayaan itu adalah aset yang berharga untuk melanjutkan perjuangan melawan korupsi. Hanya dengan demikian, KPK dapat kembali menjadi lembaga yang diharapkan masyarakat sebagai pelindung kepentingan negara dan penjaga keadilan.




