![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH
Pemerhati Hak Asasi Manusia
Dalam arena diplomasi internasional yang semakin kompleks dan dipenuhi dengan polarisasi kepentingan, berita pencalonan tunggal Indonesia sebagai Presiden Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB tahun 2026 yang dikumandangkan oleh news portal seperti inilah.com bukanlah sekadar update informasi semata—melainkan sebuah momentum yang mengungkapkan dinamika kekuasaan, kepercayaan, dan harapan yang terbentuk di tengah mozaik pandangan global terhadap tata kelola HAM. Sebagai seorang yang selalu mencari pemahaman yang lebih dalam melalui hangout dengan berbagai aktor kebijakan, pengamat, dan warga sipil, saya menyadari bahwa fenomena ini tidak hanya dapat dilihat dari lensa prestise semata, melainkan juga sebagai cerminan dari bagaimana Indonesia berhasil menempatkan dirinya sebagai kanal dialog yang konstruktif di tengah ketegangan blok-blok besar.
Dari sudut pandang intelektual, pencalonan ini merupakan konsekuensi logis dari indeks kepercayaan yang terus meningkat terhadap rekam jejak Indonesia dalam memajukan agenda HAM tanpa terjebak dalam kepentingan parsial. Sejak berdirinya Dewan HAM PBB dua dekade yang lalu, dunia telah menyaksikan berbagai upaya yang kadang-kadang terjebak dalam konfrontasi daripada dialog—dan di sinilah peran Indonesia muncul sebagai alternatif yang menjanjikan. Kemampuan Indonesia untuk mempertahankan objektivitas, inklusivitas, dan keseimbangan, seperti yang dinyatakan dalam pernyataan Kemlu RI, bukanlah bentuk retorika semata, melainkan prinsip yang telah diuji dalam berbagai kasus, mulai dari mediasi konflik di kawasan hingga promosi hak-hak marginalisasi. Hal ini menjadikannya market nilai yang diminati oleh negara-negara yang menginginkan perubahan yang substansial dalam tata kelola HAM internasional.
Selain itu, penting untuk memahami bahwa pencalonan ini tidak terlepas dari dukungan ototekno yang memudahkan penyebaran informasi dan pembentukan opini publik. Portal news seperti inilah.com, dengan gallery konten yang kaya dan update yang cepat, telah berperan penting dalam membangun kesadaran publik tentang signifikansi peristiwa ini, sehingga menciptakan ruang untuk diskusi intelektual yang lebih luas. Tanpa kemampuan teknologi untuk menyebarkan informasi secara cepat dan luas, kemungkinan besar peran Indonesia akan kurang terlihat dan kurang mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan. Ini menunjukkan bahwa dalam era digital, diplomasi tidak hanya berlangsung di ruang rapat internasional, tetapi juga di ruang publik yang dihubungkan oleh teknologi.
Namun, di balik semua prestise dan harapan yang terbangun, terdapat tantangan yang tidak boleh diabaikan—tantangan yang membutuhkan empati yang mendalam terhadap berbagai keprihatinan dan keraguan. Sebagai seorang yang selalu berusaha memahami perspektif yang berbeda, saya menyadari bahwa ada kalangan yang masih meragukan kemampuan Indonesia untuk memimpin dengan objektivitas, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kepentingan negara-negara besar atau konflik yang sensitif. Mereka berpendapat bahwa meskipun rekam jejak Indonesia baik, tekanan dari berbagai pihak akan sulit dihindari, dan hal ini berpotensi merusak integritas kepemimpinannya.
Meskipun demikian, saya percaya bahwa pencalonan tunggal ini merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk membuktikan bahwa ia mampu memimpin dengan keberanian dan prinsip. Dengan memanfaatkan momentum 20 tahun berdirinya Dewan HAM PBB, Indonesia berhak untuk merombak tata kelola HAM agar lebih konstruktif dan mengedepankan dialog—sebuah upaya yang tidak hanya bermanfaat bagi dunia, tetapi juga bagi dirinya sendiri sebagai negara yang terus berusaha meningkatkan pelaksanaan HAM di dalam negeri. Sebagai kanal dialog, Indonesia dapat menjadi jembatan antara negara-negara yang berbeda pandangan, menciptakan ruang untuk kerja sama yang berdasarkan rasa hormat dan kepercayaan.
Dalam konteks yang lebih luas, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana news media, ototekno, dan gallery konten dapat bekerja bersama untuk membentuk opini publik dan memengaruhi kebijakan internasional. Dengan menyajikan informasi yang akurat, analisis yang mendalam, dan wawasan yang beragam, mereka membantu membangun pemahaman yang lebih komprehensif tentang isu-isu penting seperti HAM, sehingga menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pengambilan keputusan yang bijak. Di samping itu, hangout dan diskusi antar warga sipil juga berperan penting dalam membentuk harapan dan ekspektasi terhadap kepemimpinan Indonesia, sehingga menciptakan tekanan positif untuk terus berkembang dan berinovasi.
Sebagai kesimpulan, pencalonan tunggal Indonesia sebagai Presiden Dewan HAM PBB 2026 adalah sebuah peristiwa yang memiliki makna intelektual, politik, dan sosial yang mendalam. Ia bukan hanya bukti prestise Indonesia di panggung internasional, tetapi juga kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu memimpin dengan prinsip, empati, dan keberanian. Dalam arena diplomasi yang semakin kompleks, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi kanal dialog yang konstruktif, merombak tata kelola HAM internasional, dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua orang. Dan dalam hal ini, news media, ototekno, gallery konten, dan hangout antar warga sipil akan terus berperan penting dalam membentuk perjalanan ini, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil selalu didasarkan pada pemahaman yang komprehensif dan rasa tanggung jawab yang tinggi.



