![]()

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH
Seorang Advokat/Pengacara
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan mengenai jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun di Ibu Kota Nusantara (IKN) merupakan sebuah preseden penting dalam konstelasi hukum agraria dan investasi di Indonesia. Keputusan ini, yang lahir dari gugatan konstitusionalitas terhadap Pasal 16A ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023, bukan sekadar respons terhadap formalitas legalistik, melainkan sebuah artikulasi mendalam mengenai prinsip keadilan intergenerasional dan keseimbangan kepentingan dalam pembangunan berkelanjutan.
Dalam perspektif yuridis, putusan MK ini menggarisbawahi pentingnya interpretasi konstitusi yang dinamis dan kontekstual. Pemberian HGU dengan durasi yang nyaris mencapai dua abad berpotensi menciptakan alienasi sumber daya agraria dari generasi ke generasi, sebuah praktik yang secara inheren bertentangan dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. MK, dalam kapasitasnya sebagai the guardian of the constitution, bertindak sebagai penyeimbang terhadap kecenderungan pragmatisme ekonomi yang berpotensi mengorbankan prinsip-prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Implikasi strategis dari putusan ini sangatlah signifikan, terutama dalam konteks investasi di IKN. Reaksi pasar yang ditandai dengan keraguan investor merupakan indikasi bahwa kepastian hukum dan stabilitas regulasi merupakan prasyarat mutlak bagi iklim investasi yang kondusif. Pemerintah, dalam hal ini, dihadapkan pada tantangan untuk merumuskan ulang kerangka regulasi agraria di IKN yang mampu menjembatani antara kebutuhan investasi jangka panjang dengan prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain adalah:
1. Revisi Regulasi yang Komprehensif: Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap peraturan terkait HGU, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) di IKN, dengan mempertimbangkan putusan MK dan prinsip-prinsip kepastian hukum, keadilan, serta keberlanjutan. Proses revisi ini harus melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, akademisi, praktisi hukum, dan perwakilan investor.
2. Pengembangan Model Investasi Alternatif: Pemerintah perlu mengembangkan model investasi alternatif yang tidak hanya bertumpu pada HGU dengan jangka waktu yang panjang. Model-model seperti kemitraan strategis, build-operate-transfer (BOT), atau skema investasi berbasis obligasi dapat menjadi alternatif yang menarik bagi investor dengan tetap memperhatikan kepentingan publik.
3. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas: Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lahan di IKN. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun sistem informasi pertanahan yang terintegrasi dan mudah diakses oleh publik, serta memperkuat mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak atas tanah.
4. Dialog Konstruktif dengan Investor: Pemerintah perlu membuka dialog yang konstruktif dengan investor untuk memberikan penjelasan mengenai perubahan regulasi dan mencari solusi yang saling menguntungkan. Dialog ini harus didasarkan pada prinsip saling menghormati dan pemahaman yang mendalam mengenai kebutuhan dan harapan masing-masing pihak.
Sebagai penutup, putusan MK ini merupakan momentum penting bagi penataan ulang paradigma pembangunan di Indonesia. Pembangunan IKN harus menjadi proyek yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, pelestarian lingkungan, dan penegakan prinsip-prinsip keadilan sosial. Dengan demikian, IKN dapat menjadi simbol kemajuan Indonesia yang berkelanjutan dan inklusif.




