Gugatan UU TNI dan Implikasi terhadap Supremasi Sipil

Loading

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH

Pengamat Militer

Gugatan yang diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan sebuah langkah konstitusional yang patut diapresiasi. Permohonan dengan nomor registrasi 209/PUU-XXIII/2025 ini menyentuh isu krusial dalam dinamika ketatanegaraan, yakni relasi antara militer dan sipil. Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang menjadi objek gugatan, membuka ruang bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga negara. Hal ini memicu perdebatan mengenai batasan yang jelas antara peran dan fungsi militer dalam ranah sipil.

Dari perspektif supremasi sipil, penempatan personel militer di jabatan-jabatan sipil dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan dan erosi terhadap prinsip dasar demokrasi. Idealnya, dalam negara hukum yang demokratis, militer memiliki peran yang jelas dan terbatas, yaitu menjaga kedaulatan negara dan keamanan nasional dari ancaman eksternal. Sementara itu, pengelolaan pemerintahan dan kebijakan publik seharusnya menjadi domain eksklusif warga sipil yang memiliki kompetensi dan akuntabilitas yang sesuai.

Argumentasi yang seringkali diajukan untuk membenarkan penempatan militer di jabatan sipil adalah kebutuhan akan profesionalisme, disiplin, dan kemampuan manajerial yang dimiliki oleh personel TNI. Namun, argumentasi ini dapat menjadi bumerang jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan dan kontrol yang ketat. Tanpa pengawasan yang memadai, penempatan militer di jabatan sipil berpotensi membuka celah bagi praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), seperti penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan nepotisme.

Selain itu, perlu dipertimbangkan pula dampak psikologis dan sosial yang mungkin timbul akibat terlalu banyaknya personel militer yang menduduki jabatan sipil. Masyarakat sipil dapat merasa terintimidasi atau kurang memiliki ruang untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan publik. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam setiap aspek kehidupan bernegara.

Oleh karena itu, MK perlu menimbang secara cermat berbagai aspek yang terkait dengan gugatan ini. Putusan MK akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap keseimbangan antara kekuatan militer dan sipil di Indonesia. Diharapkan, putusan MK dapat memperkuat supremasi sipil, menjaga profesionalisme TNI, dan mendorong terciptanya tata pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

 "Tudingan Ijazah Palsu Arsul Sani: Serangan Balik terhadap MK yang Pro-Rakyat?"

Sab Nov 22 , 2025
Opini: Daeng Supri Yanto SH MH. CMS.P Pengamat Demokrasi Indonesia Dalam pusaran dinamika ketatanegaraan yang kian kompleks, tudingan ijazah palsu terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani,  membuka ruang interpretasi yang luas. Narasi ini tidak bisa dilihat hanya sebagai persoalan individual semata, melainkan harus ditempatkan dalam konteks yang lebih besar, […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI