Gagasan Perubahan Pilkada dari Langsung ke DPRD: Perselisihan Antara Efisiensi Prosedural dan Substansi Demokrasi yang Berwujud

Loading

Opini oleh : Daeng Supriyanto SH MH CMS.P

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang pempertimbangan gagasan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung menjadi melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) – yang diutarakan pada acara puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jumat (5/12/2025) – tidak hanya menjadi sorotan publik, melainkan juga memicu refleksi intelektual yang mendalam tentang esensi demokrasi di Indonesia, hubungan antara kedaulatan rakyat dengan perwakilan, dan pertimbangan antara efisiensi finansial dengan kualitas legitimasi kekuasaan. Ungkapan Prabowo yang sederhana namun mencolok: “Kalau sudah sekali memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, ya kenapa enggak langsung aja pilih gubernurnya dan bupatinya? Selesai” – menjadi cerminan dari pola pikir yang berfokus pada kemudahan prosedural dan pengurangan beban ekonomi, namun juga menimbulkan tesis yang kontroversial tentang apakah efisiensi dapat menjadi pertimbangan primer yang mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang telah melekat dalam konstitusi dan narasi nasional kita selama beberapa dekade.

Dalam kerangka pemikiran teori demokrasi, sistem pemilihan langsung kepala daerah merupakan wujud dari “demokrasi langsung terbatas” yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi secara langsung dalam penentuan pemimpin yang akan mengelola urusan daerah – sebuah prinsip yang berasal dari paham bahwa kedaulatan rakyat tidak hanya berwujud dalam pemilihan perwakilan, tetapi juga dalam kesempatan untuk mengambil keputusan yang berdampak langsung pada kehidupannya sehari-hari. Usulan untuk kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD, yang digambarkan sebagai “demokrasi perwakilan” yang diterapkan di beberapa negara, memunculkan pertanyaan mendasar tentang apakah perwakilan yang dipilih rakyat benar-benar mampu mewakili keragaman aspirasi, kepentingan, dan identitas di tingkat daerah. Dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman budaya, agama, dan sosial yang luar biasa, risiko adanya “representasi yang cacat” menjadi semakin nyata – apakah DPRD yang dominasi oleh partai politik tertentu mampu memilih kepala daerah yang benar-benar mewakili kepentingan seluruh masyarakat, ataukah ia akan cenderung memilih yang sesuai dengan kepentingan partai atau kelompok oligarki yang mendukungnya? Ini adalah pertanyaan yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga empiris – seiring dengan tingginya intensitas transaksi politik di dalam parlemen daerah, ada kecenderungan bahwa sistem pemilihan oleh DPRD akan memperparah masalah “ongkos politik” yang ingin diatasi, hanya saja dalam bentuk yang lebih tersembunyi dan kurang terawasi oleh publik.

Selain aspek representasi, gagasan ini juga menimbulkan refleksi tentang legitimasi kekuasaan kepala daerah. Dalam sistem pemilihan langsung, legitimasi kepala daerah berasal dari dukungan langsung rakyat – sebuah sumber legitimasi yang kuat dan sulit untuk diragukan, karena ia berakar pada kehendak mayoritas yang dinyatakan melalui proses yang terbuka dan transparan. Sebaliknya, dalam sistem pemilihan oleh DPRD, legitimasi kepala daerah akan berasal dari dukungan perwakilan yang dipilih secara tidak langsung – sebuah sumber legitimasi yang lebih lemah dan rentan terhadap keraguan, terutama jika masyarakat merasa bahwa perwakilan mereka tidak mewakili kehendak mereka. Ini memiliki implikasi yang mendalam untuk keefektifan pemerintahan daerah: seorang kepala daerah yang memiliki legitimasi langsung akan lebih mudah mendapatkan dukungan masyarakat dalam menjalankan kebijakan, sedangkan yang memiliki legitimasi dari DPRD akan lebih rentan terhadap oposisi dari masyarakat yang merasa terpinggirkan. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini juga memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi secara keseluruhan – jika rakyat merasa bahwa mereka kehilangan hak untuk memilih pemimpin daerah secara langsung, kepercayaan mereka pada demokrasi sebagai sistem tata pemerintahan akan menurun, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik.

Pertimbangan tentang tingginya biaya politik yang menjadi dasar usulan ini memang memiliki dasar empiris yang tidak dapat diabaikan. Selama beberapa tahun terakhir, biaya yang dikeluarkan untuk pilkada langsung di Indonesia terus meningkat, mulai dari biaya kampanye, pengawasan, hingga administrasi. Hal ini tidak hanya membebani APBD daerah, tetapi juga menciptakan kesempatan bagi praktik korupsi, pengorbanan, dan kepentingan ekonomi yang tidak pantas yang melampaui batas etis politik. Namun, kita harus mempertimbangkan apakah perubahan sistem pemilihan adalah solusi yang paling efektif dan tepat untuk mengatasi masalah ini, ataukah ada alternatif lain yang dapat diambil tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi. Misalnya, penguatan peraturan tentang pendanaan kampanye, peningkatan pengawasan oleh lembaga independen, dan pemberian insentif bagi calon kepala daerah yang menjalankan kampanye yang efisien dan etis – semuanya ini merupakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengurangi biaya politik tanpa mengubah sistem pemilihan secara fundamental. Dalam kerangka pemikiran kebijakan publik, solusi yang lebih baik adalah yang dapat menyeimbangkan antara tujuan efisiensi dan tujuan normatif yang lebih tinggi, bukan yang mengorbankan satu untuk menyebarkan yang lain.

Penyebutan Prabowo bahwa praktik “demokrasi perwakilan” semacam ini juga diterapkan di sejumlah negara juga membutuhkan analisis yang kritis. Meskipun benar bahwa beberapa negara menerapkan sistem pemilihan kepala daerah oleh parlemen lokal, kita harus mempertimbangkan konteks politik, sejarah, dan budaya masing-masing negara tersebut. Misalnya, di beberapa negara Eropa, sistem ini berjalan dengan baik karena adanya tradisi demokrasi perwakilan yang kuat, lembaga pengawasan yang independen, dan budaya politik yang berbasis pada kooperasi dan konsensus. Namun, konteks ini berbeda dengan Indonesia, yang memiliki sejarah demokrasi yang relatif pendek, lembaga pengawasan yang masih dalam proses penguatan, dan budaya politik yang seringkali ditandai oleh perselisihan dan kepentingan kelompok. Oleh karena itu, tidak dapat diasumsikan bahwa sistem yang bekerja di negara lain akan secara otomatis bekerja dengan baik di Indonesia. Dalam kerangka pemikiran komparatif politik, yang penting adalah tidak hanya meniru praktik lain, tetapi juga menyesuaikannya dengan konteks lokal yang khas agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Selain itu, gagasan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara kepala daerah dan DPRD. Dalam sistem pemilihan langsung, kepala daerah memiliki wewenang yang relatif independen dari DPRD, yang memungkinkannya untuk menjalankan kebijakan yang ia yakini tanpa terlalu tergantung pada dukungan parlemen. Sebaliknya, dalam sistem pemilihan oleh DPRD, kepala daerah akan lebih tergantung pada dukungan DPRD untuk tetap berkuasa, yang dapat menyebabkan terjadinya hubungan yang tidak seimbang – di mana DPRD memiliki kekuasaan yang terlalu besar dalam menentukan kebijakan daerah, sedangkan kepala daerah menjadi hanyut dalam kepentingan parlemen. Ini berpotensi menyebabkan perlambatan proses pembuatan kebijakan, penurunan efisiensi pemerintahan, dan peningkatan risiko korupsi dan kolusi antara kepala daerah dan anggota DPRD. Dalam konteks tata kelola negara, yang diinginkan adalah keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif di tingkat daerah, bukan dominasi satu oleh yang lain.

Dalam keseluruhan konteks, gagasan perubahan sistem pilkada dari langsung menjadi melalui DPRD merupakan isu yang sangat kompleks dan kontroversial yang membutuhkan pertimbangan yang cermat dan komprehensif dari semua pemangku kepentingan. Meskipun tujuan untuk mengurangi biaya politik adalah layak dan patut didukung, kita harus memastikan bahwa solusi yang diambil tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi, representasi, dan legitimasi yang menjadi dasar tata negara kita. Prabowo yang mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan gagasan ini menunjukkan adanya kebersediaan untuk membahas masalah yang penting, namun juga menuntut adanya dialog yang terbuka, transparan, dan berbasis pada pengetahuan dan analisis yang mendalam. Hanya dengan demikian, kita dapat menemukan solusi yang tidak hanya efektif dalam mengatasi masalah efisiensi, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang kita anut dan harapkan untuk masa depan negara Indonesia.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Komitmen Kemenkeu Terhadap Pemberdayaan Aset Olahraga: Langkah Kritis Menuju Keadilan, Keberlanjutan, dan Optimalisasi Sumber Daya Negara

Ming Des 7 , 2025
Opini oleh: Daeng Supriyanto SH MH CMS.P Komitmen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memaksimalkan pemberdayaan dan pengelolaan aset olahraga – yang diutarakan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Askolani dalam acara Indonesia Sport Summit (ISS) 2025 pada Sabtu (6/12/2025) – merupakan manifestasi dari kesadaran kognitif yang mendalam tentang peran aset publik sebagai instrumen […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI