![]()

Oleh Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Ketika Yogi Setya Permana menuliskan tentang “Banjir Sumatera dan Jejak Panjang ‘Frontier’ Kapitalisme”, ia tidak hanya menguraikan akar-akar bencana yang melanda pulau itu akhir November 2025—ia membongkar sebuah arsitektur sejarah yang terbenam dalam lanskap Sumatera, di mana setiap lapisan ekspansi ekonomi menambah beban pada ekosistem yang sudah rapuh, hingga akhirnya semua intervensi itu melebur menjadi banjir yang mengerikan dan longsor yang mematikan. Teks ini adalah analisis kritis yang mendalam, yang melewati penjelasan teknis atau cuaca ekstrem untuk membuka tabir tentang bagaimana konsep “frontier”—ruang yang dianggap “kosong” atau “kurang dimanfaatkan”—telah menjadi mesin yang memutar sejarah kolonial, ekspansi komoditas global, dan pembangunan infrastruktur yang disebut “hijau” tetapi tetap merombak hubungan manusia dengan tanah dan air. Ini adalah cerita tentang perebutan ruang, tentang bagaimana keputusan politik yang terjebak dalam logika ekstraktif telah menciptakan masa depan yang terjebak dalam siklus bencana yang terus berulang.
Pertama-tama, Permana menantang kesalahpahaman yang lazim bahwa banjir ini hanyalah akibat cuaca ekstrem atau anomali iklim. Ia mengajak kita untuk “mengikuti aliran air ke hulu,” untuk melihat bahwa bencana ini adalah hasil dari “proses panjang yang menumpuk selama puluhan tahun”—ketika Sumatera berubah menjadi wilayah frontier yang terus dibentuk ulang oleh ekspansi kapitalisme. Konsep frontier di sini bukanlah batas negara yang tetap, melainkan ruang yang diproduksi secara sosial dan politik: wilayah pinggiran yang dianggap tidak memiliki nilai kecuali ketika dieksploitasi untuk perkebunan, tambang, atau proyek besar lainnya. Ini adalah konsep yang berakar dari sejarah kolonial, ketika kekuasaan kolonial melihat hutan dan tanah adat sebagai sumber kekayaan yang menunggu untuk dieksploitasi—dan hingga hari ini, konsep ini terus hidup dalam bentuk-bentuk baru, yang lebih halus tetapi tidak kurang merusak. Seperti yang digambarkan Christian Lund dalam Nine-Tenths of the Law, Sumatera Utara dan Aceh adalah contoh yang jelas: wilayah yang terus dibentuk ulang oleh ekspansi komoditas global, dari perkebunan kolonial hingga sawit dan infrastruktur energi modern.
Dalam dua dekade terakhir, bentuk frontier yang paling masif adalah ekspansi sawit, yang telah membuka jutaan hektar hutan, mengeringkan gambut, dan mengubah fungsi daerah tangkapan air. Di banyak lokasi yang kini tergenang, hulu daerah aliran sungai yang dulunya berfungsi sebagai kawasan resapan—yang menyimpan air dan memperlambat aliran air ke hilir—telah diubah menjadi lahan sawit yang dipenuhi jaringan kanal. Akibatnya, kemampuan menyimpan air hilang, permukaan air meluncur lebih cepat ke hilir, dan banjir menjadi lebih tinggi, lebih cepat, dan lebih sulit diprediksi. Ini bukanlah keanehan cuaca, melainkan tanda bahwa lanskap telah kehilangan kemampuan untuk menjalankan fungsi ekologisnya—sebuah konsekuensi langsung dari cara frontier telah merombak struktur dasar alam. Tetapi cerita frontier tidak berhenti di sawit: Permana mengutip contoh pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli, yang dipromosikan sebagai bagian dari transisi energi hijau tetapi ternyata mengubah kawasan secara drastis. Jalan akses yang memotong lereng curam, terowongan yang melemahkan stabilitas tanah, dan alur sungai yang dimodifikasi—semua ini memperbesar risiko banjir bandang dan longsor, seperti yang telah diperingatkan Walhi sejak awal. Ini menunjukkan bahwa infrastruktur besar, bahkan yang disebut “hijau,” tidak pernah benar-benar netral bagi ekologi; ia selalu membawa dengan dirinya jejak frontier yang merusak.
Selanjutnya, Permana menguraikan bagaimana negara cenderung memandang banjir sebagai persoalan teknis, dengan solusi yang juga teknis: tanggul, normalisasi, kolam retensi. Meskipun langkah-langkah ini dapat mengalirkan air dalam jangka pendek, mereka tidak menyentuh akar masalah yang sesungguhnya: tata kelola ruang yang dipengaruhi oleh keputusan politik yang mengizinkan pembukaan hutan yang makin luas, konsesi yang menumpuk di kawasan sensitif, dan proyek besar yang berjalan tanpa mempertimbangkan daya dukung lanskap. Banjir, menurutnya, adalah “konsekuensi langsung dari keputusan politik”—sebuah hasil dari bagaimana negara telah memproduksi frontier sebagai ruang untuk ekspansi ekonomi, tanpa memikirkan konsekuensi bagi warga atau ekosistem. Di titik ini, berbagai “lapisan frontier” saling bertemu: lapisan kolonial yang membuka hutan untuk perkebunan skala besar, lapisan pasca-reformasi yang melihat booming sawit sebagai motor pertumbuhan ekonomi, dan lapisan modern yang melihat infrastruktur energi sebagai jalan menuju masa depan. Lapisan-lapisan ini datang dari periode sejarah yang berbeda tetapi menumpuk pada ruang yang sama, dan ketika hujan besar turun, semua intervensi itu melebur menjadi kekuatan yang tak tertahankan—banjir yang kita saksikan hari ini adalah hasil dari semua lapisan itu bersama-sama.
Di tengah tekanan frontier yang berlapis-lapis, Permana menunjukkan bahwa komunitas tidak tinggal diam. Mereka melakukan upaya untuk mempertahankan ruang hidupnya melalui praktik yang disebut counter-mapping—pemetaan partisipatif yang menegaskan kembali siapa yang sebenarnya mengelola hutan, sumber air, dan tanah adat. Seperti yang diteliti Lisa Tilley dalam jurnal Antipode, counter-mapping adalah upaya politik untuk mengembalikan definisi ruang kepada masyarakat yang selama ini terpinggirkan oleh logika ekstraksi. Peta tandingan bukan sekadar dokumen; ia adalah pernyataan bahwa ruang hidup tidak boleh terreduksi menjadi blok-blok konsesi yang hanya dipandang sebagai sumber kekayaan. Namun, Tilley juga mengingatkan bahwa praktik ini tidak selalu cukup kuat menghadapi laju frontier yang didorong oleh regulasi dan investasi yang besar. Meskipun demikian, counter-mapping menunjukkan bahwa warga memiliki kesadaran tentang pentingnya melindungi fungsi ekologis dan menyuarakan masa depan yang lebih adil bagi hulu dan hilir. Masalahnya adalah bahwa inisiatif warga saja tidak cukup bila negara tetap mempertahankan model pembangunan berbasis ekspansi ekstraktif—baik untuk sawit, tambang, maupun infrastruktur energi.
Di akhir tulisannya, Permana menyatakan bahwa banjir Sumatera hari ini adalah “alarm keras dari sebuah lanskap yang dipaksa bekerja di luar kapasitasnya terlalu lama.” Kita tidak bisa lagi memperlakukan hulu daerah aliran sungai sebagai ruang kosong yang selalu siap menerima frontier baru, karena setiap perubahan di hulu akan selalu kembali ke hilir—dan warga di hilir akan terus menjadi pihak yang menanggung akibatnya. Masa depan Sumatera, menurutnya, harus mulai dari hulu: dengan melindungi fungsi ekologis yang menjadi fondasi keselamatan bersama. Ini adalah panggilan yang kuat untuk mengubah paradigma pembangunan, dari logika ekstraktif yang melihat alam sebagai sumber kekayaan yang tak terbatas, menjadi logika keberlanjutan yang melihat alam sebagai sistem yang saling terhubung dan perlu dilindungi. Banjir yang melanda Sumatera bukan hanya bencana alam; ia adalah bencana sejarah, bencana politik, dan bencana ekonomi—yang hanya dapat diatasi jika kita mau menghadapi jejak panjang frontier kapitalisme yang telah merombak lanskap dan kehidupan di pulau itu.




