![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Pemerhati Pendidikan
Dalam cakupan diskursus kebijakan pendidikan nasional yang tengah diperdalam melalui pengkajian Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), muncul sorotan yang sangat krusial mengenai turunnya minat masyarakat untuk menjadikan profesi dosen dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pilihan karir — sebuah fenomena yang tidak hanya dipahami sebagai konsekuensi dari dinamika ekonomi, melainkan juga sebagai cerminan dari pergeseran norma sosial, harapan generasi muda, dan keterbatasan kebijakan yang memadai untuk mempertahankan keunggulan dan martabat kedua profesi tersebut. Pernyataan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, yang menyoroti pendapatan sebagai faktor sentral dalam penurunan minat ini, merupakan titik awal yang penting untuk memahami dimensi empiris masalah, namun kita perlu melampaui itu untuk menguraikan lapisan-lapisan intelektual yang lebih dalam mengenai implikasi jangka panjang bagi sistem pendidikan, tata pemerintahan, dan keberlanjutan pembangunan bangsa.
Secara epistemologis, masalah ini muncul dari konvergensi antara teori kebijakan publik yang berfokus pada insentif material dan teori sosiologis yang membahas tentang prestise profesi dan identitas sosial. Di satu sisi, penyesuaian pendapatan yang tidak sejalan dengan kenaikan inflasi — seperti yang diindikasikan Esti — menciptakan ketidakseimbangan antara beban kerja, tanggung jawab, dan imbalan yang diterima. Dari perspektif ekonomi kesejahteraan, ini berarti “biaya psikologis” dan “biaya waktu” yang dikeluarkan oleh dosen dan PNS tidak terkompensasi secara adil, sehingga mengurangi daya tarik profesi tersebut dibandingkan dengan pilihan karir di sektor swasta yang menawarkan pendapatan yang lebih kompetitif. Misalnya, seorang lulusan sarjana sains yang bekerja sebagai peneliti di universitas mungkin menerima pendapatan yang jauh lebih rendah daripada rekan seangkatan yang bekerja di perusahaan teknologi, meskipun kedua pihak memiliki beban kerja yang sama atau bahkan lebih berat bagi yang pertama.
Di sisi lain, penurunan minat ini juga dipengaruhi oleh pergeseran persepsi masyarakat mengenai martabat profesi dosen dan PNS. Sebelumnya, kedua profesi ini dianggap sebagai simbol prestise, keamanan, dan kontribusi terhadap masyarakat — nilai-nilai yang terjebak dalam struktur norma sosial yang memprioritaskan layanan publik. Namun, seiring dengan perkembangan globalisasi dan budaya konsumerisme, generasi muda semakin cenderung memprioritaskan pencapaian material dan fleksibilitas karir yang lebih banyak ditawarkan oleh sektor swasta. Ini sesuai dengan teori “pergeseran nilai” yang dikemukakan oleh sejarawan sosial, di mana nilai-nilai tradisional yang berfokus pada kebersamaan dan layanan digantikan oleh nilai-nilai individualistik yang berfokus pada keberhasilan pribadi. Selain itu, isu-isu korupsi, birokrasi yang kaku, dan kurangnya kebebasan akademik yang terkadang melingkupi kedua profesi ini juga berkontribusi pada penurunan citra mereka di mata masyarakat.
Dari sisi analisis kuantitatif dan implikasi sistemik, turunnya minat menjadi dosen dan PNS memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi masa depan pendidikan nasional dan tata pemerintahan. Untuk perguruan tinggi, kurangnya calon dosen yang berkualitas akan berdampak pada penurunan mutu pendidikan dan penelitian, yang selanjutnya akan memengaruhi kemampuan bangsa untuk bersaing di pasar global yang semakin kompetitif. Misalnya, jika jumlah dosen dengan gelar doktor terus menurun, perguruan tinggi akan kesulitan untuk menyelenggarakan program studi strata dua dan tiga, yang merupakan fondasi untuk pengembangan pengetahuan dan inovasi. Selain itu, kurangnya dosen yang bersemangat dan berkompeten juga akan memengaruhi motivasi mahasiswa untuk mengejar pendidikan tinggi dan berkontribusi pada pengembangan bangsa.
Untuk tata pemerintahan, turunnya minat menjadi PNS akan berdampak pada kualitas layanan publik yang diberikan kepada masyarakat. PNS yang kurang berkualitas dan kurang termotivasi cenderung akan bekerja dengan efisiensi yang rendah, melakukan pelanggaran etika, dan tidak mampu menanggapi kebutuhan masyarakat dengan cepat dan efektif. Ini akan mengurangi kepercayaan masyarakat pada pemerintah, yang selanjutnya akan memengaruhi stabilitas politik dan sosial. Selain itu, kurangnya PNS yang berkualitas juga akan memengaruhi kemampuan pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan yang kompleks, seperti program pengentasan kemiskinan, pengembangan infrastruktur, dan perlindungan lingkungan.
Dalam konteks pengkajian RUU Sisdiknas, isu ini harus menjadi bagian integral dari perdebatan, karena sistem pendidikan nasional tidak dapat berkembang tanpa tenaga pendidik dan tenaga pemerintahan yang berkualitas dan termotivasi. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan upaya yang komprehensif dan terintegrasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan swasta. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
Pertama, penyesuaian pendapatan dosen dan PNS yang sejalan dengan kenaikan inflasi dan beban kerja yang ditanggung. Ini tidak hanya berarti peningkatan gaji pokok, tetapi juga peningkatan tunjangan dan fasilitas yang diberikan, seperti tunjangan penelitian untuk dosen, tunjangan kesehatan yang lebih baik, dan kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan karir. Selain itu, perlu dilakukan sistem penilaian kinerja yang adil dan transparan, yang memberikan insentif bagi dosen dan PNS yang bekerja dengan baik dan berkontribusi pada kemajuan institusi.
Kedua, peningkatan martabat dan citra profesi dosen dan PNS melalui kampanye pendidikan dan promosi yang terstruktur. Ini dapat dilakukan melalui media massa, edutainment (penggabungan pendidikan dan hiburan) seperti film, video, dan infografis yang menampilkan cerita keberhasilan dosen dan PNS yang telah berkontribusi pada masyarakat. Selain itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kebebasan akademik bagi dosen dan mengurangi birokrasi yang kaku bagi PNS, sehingga mereka dapat bekerja dengan lebih bebas dan kreatif.
Ketiga, pengembangan kerjasama antara perguruan tinggi dan sektor swasta untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman kerja dan memahami kebutuhan pasar kerja. Ini dapat dilakukan melalui program magang, penelitian bersama, dan pembangunan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri. Selain itu, sektor swasta juga dapat berperan dalam memberikan beasiswa dan dukungan finansial bagi mahasiswa yang ingin mengejar karir sebagai dosen atau PNS.
Keempat, peningkatan akses ke informasi dan pengetahuan tentang profesi dosen dan PNS melalui platform seperti Detikpedia, detikEdu, dan Bank Soal yang menyediakan konten yang akurat, komprehensif, dan mudah dipahami. Ini dapat membantu mahasiswa dan masyarakat umum untuk memahami lebih baik tugas, tanggung jawab, dan peluang karir yang ditawarkan oleh kedua profesi tersebut. Selain itu, perlu dilakukan seleksi masuk perguruan tinggi yang lebih berorientasi pada potensi dan minat mahasiswa, bukan hanya pada nilai ujian, sehingga mahasiswa yang benar-benar berminat untuk mengejar karir sebagai dosen atau PNS dapat mendapatkan kesempatan yang layak.
Kelima, penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi dan pelanggaran etika yang terjadi di antara dosen dan PNS. Ini akan membantu meningkatkan citra profesi tersebut dan memastikan bahwa mereka bekerja dengan integritas dan tanggung jawab. Selain itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya di perguruan tinggi dan lembaga pemerintah.
Secara sintetis, penurunan minat menjadi dosen dan PNS adalah masalah yang kompleks yang membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi. Dalam konteks pengkajian RUU Sisdiknas, isu ini harus diberikan perhatian yang serius, karena itu merupakan fondasi untuk pembangunan sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan tata pemerintahan yang baik. Dengan melakukan upaya yang tepat, kita dapat memulihkan martabat dan daya tarik profesi dosen dan PNS, serta memastikan bahwa masa depan pendidikan nasional dan bangsa Indonesia tetap cerah.



