![]()

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH yang
Isu eksploitasi sumber daya alam (SDA) di daerah, khususnya yang berkaitan dengan industri pertambangan, selalu menghadirkan paradoks. Di satu sisi, eksploitasi SDA diharapkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi daerah, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain, eksploitasi SDA juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ketidakadilan ekonomi jika tidak dikelola dengan baik.
Kasus yang terjadi di Morowali, Sulawesi Tengah, dengan industri nikelnya, merupakan contoh klasik dari dilema ini. Pernyataan Gubernur Sulteng yang kembali viral, yang mengeluhkan rendahnya Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima daerahnya (hanya Rp200 miliar) meskipun nikel dikeruk habis, merupakan representasi dari ketidakpuasan dan kekecewaan yang mendalam.
Ketidakadilan Sistem Perpajakan dan Dampaknya
Keluhan utama Gubernur Sulteng adalah terkait dengan sistem perpajakan yang dianggap tidak adil. Sistem yang berlaku saat ini hanya memungut pajak di ‘mulut tambang’, bukan di ‘mulut industri’. Artinya, pajak hanya dipungut pada saat nikel masih dalam bentuk bahan mentah, bukan setelah diproses menjadi produk bernilai tambah tinggi seperti stainless steel.
Akibatnya, nilai ekonomi yang dinikmati oleh daerah menjadi sangat kecil. Padahal, jika pajak dipungut setelah nikel diproses menjadi stainless steel, nilai yang diterima daerah bisa jauh lebih besar dan PAD Sulteng berpotensi meningkat signifikan. Hal ini sejalan dengan konsep value capture, di mana daerah penghasil SDA seharusnya mendapatkan manfaat ekonomi yang sepadan dengan nilai SDA yang dieksploitasi.
Kritik terhadap Kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance
Selain sistem perpajakan, Gubernur Sulteng juga mengkritik kebijakan tax holiday dan tax allowance yang diberikan kepada perusahaan smelter hingga 25 tahun. Kebijakan ini, meskipun bertujuan untuk menarik investasi, dinilai terlalu berlebihan dan merugikan daerah.
Pasalnya, cadangan nikel di Morowali diperkirakan hanya tersisa sekitar 10 tahun. Jika perusahaan smelter diberikan tax holiday selama 25 tahun, maka daerah hanya akan mendapatkan kerusakan lingkungan tanpa manfaat ekonomi jangka panjang. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang menekankan pada keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Implikasi Kebijakan Fiskal yang Berkeadilan
Kasus Morowali ini menyoroti pentingnya kebijakan fiskal yang berkeadilan dalam pengelolaan SDA. Kebijakan fiskal harus dirancang sedemikian rupa sehingga daerah penghasil SDA mendapatkan manfaat ekonomi yang optimal dari eksploitasi SDA, sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah terjadinya konflik sosial.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Revisi Sistem Perpajakan: Pemerintah pusat perlu merevisi sistem perpajakan agar pajak dipungut setelah nikel diproses menjadi produk bernilai tambah tinggi. Hal ini akan meningkatkan PAD daerah dan memberikan insentif bagi perusahaan untuk melakukan hilirisasi industri di daerah.
2. Evaluasi Kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance: Pemerintah pusat perlu mengevaluasi kembali kebijakan tax holiday dan tax allowance agar lebih proporsional dan tidak merugikan daerah. Jangka waktu tax holiday harus disesuaikan dengan perkiraan umur cadangan SDA di daerah.
3. Peningkatan DBH dan DAU: Pemerintah pusat perlu meningkatkan alokasi DBH dan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah penghasil SDA. Hal ini akan membantu daerah untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor-sektor lainnya yang penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4. Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah: Pemerintah pusat perlu memberikan bantuan teknis dan pelatihan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola SDA. Hal ini akan membantu daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Kesimpulan
Kasus Morowali merupakan alarm bagi kita semua tentang pentingnya pengelolaan SDA yang berkeadilan dan berkelanjutan. Kebijakan fiskal yang berkeadilan, pengawasan yang ketat, dan partisipasi aktif masyarakat merupakan kunci untuk memastikan bahwa eksploitasi SDA benar-benar memberikan manfaat bagi daerah dan masyarakat setempat, tanpa mengorbankan lingkungan dan generasi mendatang.




