“Di Balik Hutan yang Tergeser: Risiko Panas dan Kesehatan Masyarakat”

Loading

Opini Daeng Supriyanto SH MH

Ketua Umum Forum Lestari Sumatra Selatan

Seolah-olah sebuah jaringan hubungan yang terjalin dengan cara yang tak terlihat namun sangat mendalam, deforestasi tropis muncul bukan hanya sebagai ancaman terhadap ekosistem bumi tetapi juga sebagai faktor penentu krusial dalam dinamika kesehatan masyarakat global – sebuah realitas yang semakin terungkap melalui temuan penelitian yang menggali hubungan antara hilangnya tutupan pohon dengan penurunan kualitas udara, peningkatan risiko penyakit menular, dan yang paling mendesak saat ini: paparan panas ekstrem dan angka kematian yang terkait dengannya. Dalam kerangka teori ekologi kesejahteraan manusia, hutan tropis tidak hanya berperan sebagai “paru-paru bumi” yang menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida tetapi juga sebagai sistem penyangga yang menstabilkan suhu permukaan, mengurangi intensitas panas, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kehidupan manusia. Hilangnya sistem ini, oleh karena itu, merupakan peristiwa yang memiliki implikasi ontologis terhadap keberadaan dan kualitas hidup penduduk yang tinggal di sekitarnya serta bahkan di wilayah yang lebih luas.

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa asap dari kebakaran hutan dan lahan di wilayah yang terdeforestasi bukan sekadar fenomena lingkungan yang sementara melainkan masalah kesehatan publik skala regional. Dalam kerangka teori epidemiologi lingkungan, partikel-partikel berbahaya dalam asap – seperti PM2.5 dan PM10 – dapat menembus saluran pernapasan dan memasuki aliran darah, menyebabkan masalah pernapasan akut, penyakit jantung, dan gangguan sistem pernapasan kronis. Fenomena ini menunjukkan bagaimana deforestasi dapat menciptakan “gelapnya jembatan” antara kerusakan ekosistem dan kerusakan kesehatan manusia, di mana dampak yang awalnya terjadi di tingkat lingkungan bertransformasi menjadi risiko kesehatan yang menimpa jutaan orang tanpa memandang batas geografis. Ini adalah bukti empiris dari interkonektivitas yang mendalam antara alam dan manusia, yang seringkali diabaikan dalam kebijakan pembangunan yang berfokus hanya pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Selain itu, hubungan antara deforestasi dan peningkatan risiko penyakit seperti malaria telah lama dikenali dalam literatur ilmiah, namun temuan penelitian terkait paparan panas menambahkan lapisan baru yang tak kalah serius dalam pemahaman kita tentang kerentanan kesehatan yang disebabkan oleh hilangnya hutan. Dalam konteks perubahan iklim global, hutan tropis berfungsi sebagai “penekan panas” yang mengurangi suhu lokal melalui proses transpirasi dan penutupan naungan. Ketika hutan dibuka, permukaan lahan yang tadinya ditutupi pohon diganti dengan lahan kosong atau tanaman yang kurang mampu menurunkan suhu, menyebabkan peningkatan suhu permukaan yang signifikan – sebuah fenomena yang disebut “pemanasan lokal akibat deforestasi”. Dalam kerangka teori kerentanan sosial, dampak kesehatan dari pemanasan ini tidak dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat tetapi lebih terkonsentrasi pada kelompok yang paling rentan: penduduk pedesaan dengan akses terbatas ke layanan kesehatan, teknologi pendingin, dan perlindungan terhadap panas ekstrem. Banyak dari mereka bekerja di luar ruangan pada siang hari, membuat paparan terhadap panas menjadi tak terhindarkan dan meningkatkan risiko sindrom panas, kejatuhan, dan bahkan kematian.

Data empiris dari penelitian ini – yang menggunakan data satelit selama dua dekade (2001-2020) untuk memetakan perubahan tutupan pohon, suhu permukaan, dan persebaran penduduk – memberikan bukti yang kuat tentang skala dampak yang terjadi. Lebih dari 48 juta orang di Indonesia, 42 juta di Republik Demokratik Kongo, dan 21 juta di Brasil tercatat terpapar panas akibat deforestasi, dengan dampak terbesar di wilayah yang padat penduduk dan berdekatan langsung dengan area hutan yang telah dibuka. Hasil yang paling mencengangkan adalah temuan bahwa lebih dari sepertiga kematian terkait panas di wilayah yang kehilangan hutan tropis berkaitan langsung dengan deforestasi – sebuah angka yang menunjukkan bahwa hilangnya hutan bukan hanya kontributor sekunder terhadap pemanasan global tetapi juga penyebab langsung dari kematian yang dapat dicegah. Dalam kerangka teori penilaian dampak kesehatan, temuan ini menekankan pentingnya memasukkan biaya kesehatan yang tidak terlihat ke dalam perhitungan ekonomi dari deforestasi, karena biaya perawatan kesehatan, hilangnya produktivitas, dan kematian yang disebabkan oleh deforestasi seringkali tidak diperhitungkan dalam keputusan pembangunan.

Selain itu, kasus ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang peran kebijakan dan aksi kolaboratif dalam menangani tantangan ganda antara perlindungan lingkungan dan peningkatan kesehatan masyarakat. Dalam kerangka teori tata kelola global, keberhasilan upaya konservasi hutan tropis tidak hanya bergantung pada kebijakan nasional yang tegas tetapi juga pada kerja sama internasional yang melibatkan negara-negara penghasil hutan, negara-negara konsumen produk yang menyebabkan deforestasi, dan lembaga internasional. Profesor Spracklen benar ketika menyatakan bahwa perlunya langkah segera untuk menekan laju deforestasi, karena semakin banyak orang memahami manfaat nyata hutan tropis bagi kehidupan mereka, semakin besar dukungan untuk melindungi hutan tersebut. Ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif yang menggabungkan konservasi dengan pembangunan berkelanjutan, seperti pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, pengembangan ekonomi hijau, dan penyediaan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan dan teknologi pendingin bagi kelompok yang rentan.

Dalam konteks yang lebih luas, temuan penelitian ini menegaskan bahwa perlindungan hutan tropis bukan hanya masalah lingkungan tetapi juga masalah keadilan sosial dan kesehatan publik. Ini adalah bukti bahwa keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem yang melingkupinya, dan bahwa upaya untuk meningkatkan kesejahteraan manusia harus selalu disertai dengan upaya untuk melindungi lingkungan yang memberi mereka kehidupan. Tanpa langkah-langkah yang tegas dan segera untuk menekan laju deforestasi tropis, kita akan terus melihat peningkatan paparan panas, penurunan kualitas udara, dan peningkatan risiko penyakit yang akan membebani sistem kesehatan dan mengurangi kualitas hidup jutaan orang di seluruh dunia – sebuah nasib yang dapat dicegah jika kita memiliki keberanian untuk bertindak berdasarkan pemahaman intelektual dan empiris tentang interkonektivitas antara alam dan manusia.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori Berita

BOX REDAKSI