![]()

leh Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
Ketika Taufik Wijaya menuliskan “Ketika Bukit Barisan Menangis”, dia tidak hanya mencatat peristiwa bencana hidrometeorologi yang melanda Sumatera akhir November 2025—dia membangun sebuah panggung filosofis di mana air mata bumi bertemu dengan air mata sejarah, di mana kesedihan kolektif manusia bertaut dengan derita makhluk hidup lainnya, dan di mana kebuntuan masa kini bertemu dengan ingatan peradaban yang pernah memahami rahasia keberlanjutan. Teks ini adalah refleksi yang tidak sekadar kritis, melainkan sebuah eksplorasi epistenologis tentang bagaimana pengetahuan luhur dapat hilang di tengah lautan keinginan material, dan bagaimana bencana bukanlah sekadar akibat alam semata, melainkan konsekuensi dari pelupusan etika yang pernah menjadi tulang punggung kehidupan di sepanjang bentang 1.650 kilometer gunung-gunung yang tegap menjaga pulau Sumatera.
Mula-mula, kita disuguhi gambaran yang menyayat hati: jutaan jiwa yang menangis, ratusan nyawa yang melayang, puluhan ribu rumah yang hilang, dan bukan hanya manusia—burung, harimau, orangutan, gajah—semua turut merasakan duka yang sama. Ini adalah pemahaman yang mendalam tentang interkoneksi yang tidak terpisahkan antara semua makhluk hidup, sebuah konsep yang tidak baru bagi peradaban Sumatera, tetapi yang kini tergeser oleh paradigma antroposentris yang menganggap alam sebagai objek yang hanya perlu dieksploitasi. Pengalaman pribadi Wijaya saat menatap Bukit Barisan yang mengurung Danau Singkarak dalam kabut—di mana “ribu mata dari Bukit Barisan seakan menatap balik”—menjadi simbolis dari pertemuan antara kesadaran individu dan kesadaran bumi yang terlantar. Dia terdiam, tidak mampu mendengar suara gunung, dan itu adalah metafora dari kondisi banyak orang saat ini: terjebak dalam kecemasan yang sendiri, tidak mampu memahami pesan yang telah diberikan alam selama berabad-abad.
Sejarah kemudian menjadi pijakan untuk memahami makna yang lebih dalam dari bencana ini. Dari masa megalitikum, ketika masyarakat Besemah menyatakan bahwa manusia harus berbagi ruang dengan satwa lain melalui patung-patung yang masih bertahan hingga hari ini, hingga era Hindu-Budha yang diwujudkan dalam Prasasti Talang Tuwo abad ke-7—yang jelas menyatakan bahwa semua yang ada di alam diperuntukan bukan hanya untuk manusia—kita melihat bagaimana pengetahuan tentang harmoni dengan alam telah terbenam dalam struktur budaya Sumatera. Logika premisnya sederhana namun mendalam: jika alam adalah sumber penghidupan, maka menjaganya adalah syarat mutlak untuk mencapai kesempurnaan akal dan jiwa. Ini bukanlah sekadar kepercayaan, melainkan sistem epistemologi yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya, yang kemudian diturunkan melalui Prasasti Ganggo Hilia abad ke-13 yang mengajarkan tentang berbagi air, dan kemudian melalui falsafah Minangkabau “alam takambang jadi guru” yang menjadikan alam sebagai sumber pembelajaran untuk kehidupan.
Dari pengetahuan ini lahir tradisi-tradisi ekosentris yang luar biasa: hutan larangan, bukit larangan, rawa larangan—semua adalah bentuk praksis konseptual yang memisahkan ruang untuk alam, sehingga makhluk hidup lain dapat hidup bebas tanpa gangguan manusia. Harimau, gajah, buaya dihormati sebagai datuk, sebagai leluhur yang harus dipuja, bukan dibunuh. Yang paling menakjubkan, praktik ini tidak hanya melindungi alam, melainkan juga menciptakan struktur sosial yang egaliter: dengan menghormati keseimbangan alam, manusia pun belajar menghormati keseimbangan antar sesama. Pemimpin hanya “ditinggikan seranting, didahulukan selangkah”, musyawarah dan diskusi menjadi inti kehidupan, dan dari semangat egaliterisme ini lahir tokoh-tokoh besar Indonesia—dari Chairil Anwar hingga Mohammad Hatta, dari Tan Malaka hingga Cut Nyak Dien—yang semua memperjuangkan kebebasan dari ketertindasan, dengan alam sebagai inspirasi dan guru mereka. Ini adalah bukti bahwa harmoni dengan alam tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, tetapi juga untuk keberlanjutan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Namun, hari ini, bencana melanda tanah kelahiran para tokoh tersebut, dan seperti yang dituliskan Wijaya, bencana ini “membuka tabir” bahwa manusia telah kehilangan pengetahuan dan etika dalam memperlakukan alam. Peradaban luhur yang pernah tegak telah lenyap, digantikan oleh sistem yang mengutamakan eksploitasi kekayaan alam tidak berkelanjutan. Siklon tropis tidak akan menciptakan bencana yang mengerikan jika tutupan hutan Bukit Barisan tidak banyak terkerus akibat aktivitas antropogenik—pertambangan mineral, penebangan hutan, perkebunan skala besar, pertanian intensif. Ini adalah konsekuensi dari tergerusnya sistem adat yang digantikan oleh pemerintahan desa yang kurang memahami nilai-nilai tradisional, dan kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih mementingkan kecepatan daripada kualitas, keuntungan jangka pendek daripada keberlanjutan jangka panjang. Seperti yang dinarasikan Komunitas Seni Nan Tumpah, falsafah “alam takambang jadi guru” telah berubah menjadi “alam takambang jadi batu”—alam yang dulunya menjadi sumber kebijaksanaan kini hanya menjadi benda yang dihancurkan dan dibawa pergi untuk keuntungan material.
Walaupun Wijaya mengakui bahwa masa lalu juga melakukan eksploitasi—emas, timah, rempah, getah—yang berbeda adalah bahwa masa lalu tetap mempertahankan etika harmonis dengan alam, sehingga sistem ekonomi yang dijalankan tetap berkelanjutan. Tidak seperti sekarang, di mana eksploitasi dilakukan tanpa memikirkan konsekuensi, hingga membuat dia menulis dalam novel Cekap (2020) tentang masa depan yang mengerikan: harimau dan gajah disingkirkan, jutaan manusia punah akibat penyakit mematikan. Ini bukanlah pemikiran yang melampau, melainkan sintesa dari ketakutan dan kecemasan yang sah terhadap masa depan Bukit Barisan yang terus tertekan oleh aktivitas penambangan.
Jadi, apa yang harus dilakukan? Jawabannya telah sering disampaikan oleh intelektual, budayawan, tokoh adat, pegiat lingkungan, dan akademisi: menggali dan menerapkan pengetahuan luhur bangsa yang mengajarkan hidup harmonis dengan alam. Tetapi ini tidak hanya tentang menerapkan aturan, melainkan tentang membebaskan pikiran dan hati dari ketamakan yang telah membutakan kita. Orang yang hidup di sekitar Bukit Barisan—baik yang telah ada selama beberapa generasi maupun yang baru datang—perlu mendengarkan suara gunung, pohon, burung, gajah, sungai, danau, harimau, hingga laut. Suara-suara ini hanya dapat dipahami jika kita mau melepaskan keinginan yang tidak terbatas, jika kita mau melihat alam bukan sebagai objek yang dapat dimiliki, melainkan sebagai sesama yang perlu dihormati.
Di akhir tulisannya, Wijaya menyatakan “Saya ingin sekali berhenti menangis”. Kalimat ini membawa makna yang banyak: ia ingin berhenti menangis karena bencana, karena kehilangan nyawa dan harta benda, karena hilangnya peradaban luhur, karena ketakutan akan masa depan. Tetapi lebih dari itu, ia ingin berhenti menangis karena harapan bahwa manusia akan kembali memahami rahasia keberlanjutan yang pernah dimiliki nenek moyang mereka. Bukit Barisan yang menangis hari ini mungkin akan berhenti menangis besok, jika kita mau mendengar suaranya—suara yang telah berbicara selama berabad-abad, menunggu kita untuk kembali memahaminya.




