![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan
Dalam konteks tata pamong negara yang sedang berjuang melawan korupsi yang tersistemis di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah lama menempati posisi yang sangat strategis sebagai lembaga penegak hukum yang diharapkan menjadi pelindung kepentingan publik dan pembenah tatanan politik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul diskursus yang semakin kuat di kalangan pakar hukum, akademisi, dan pengamat masyarakat bahwa lembaga ini cenderung terjebak dalam siklus publikasi yang berlebihan, sehingga mengorbankan fokus pada penanganan kasus korupsi yang berukuran besar dan memiliki dampak struktural. Perspektif ini tidaklah sekadar kritikan semata, melainkan wawasan intelektual yang muncul dari analisis mendalam terhadap dinamika lembaga penegak hukum, kebutuhan demokrasi, dan konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang diambil oleh KPK.
Pertama-tama, pakar hukum secara konsisten menekankan bahwa esensi dari kewajiban KPK terletak pada kapasitasnya untuk menindaklanjuti kasus korupsi yang melibatkan aktor-aktor berkuasa, baik di lingkup pemerintah pusat, daerah, maupun sektor swasta yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian nasional. Kasus-kasus semacam ini, yang seringkali melibatkan jumlah uang yang sangat besar, penyalahgunaan wewenang yang sistematis, dan kerusakan pada tatanan hukum serta kepercayaan masyarakat, membutuhkan sumber daya, keahlian, dan waktu yang besar untuk disidik dan dibawa ke pengadilan. Dalam konteks ini, konsep “kasus besar” tidak hanya diukur dari nilai materi yang terlibat, tetapi juga dari dampak normatifnya terhadap tatanan sosial dan politik – yaitu, seberapa jauh kasus tersebut mampu mengubah kebiasaan dan pola perilaku yang merusak integritas tata pamong.
Namun, realitas yang terjadi menunjukkan bahwa KPK seringkali lebih dikenal melalui publikasi berita seputar penangkapan yang spektakuler, penyebaran informasi yang cepat melalui media sosial, dan kemampuan untuk menarik perhatian publik. Meskipun publikasi ini memiliki fungsi strategis dalam membangun kepercayaan masyarakat dan menciptakan efek jera, pakar hukum berpendapat bahwa ketika publikasi menjadi tujuan sendiri dan bukan sarana untuk mencapai tujuan utama pemberantasan korupsi, maka lembaga ini akan terjebak dalam “logika perlihatkan” yang berbahaya. Dalam kerangka teori tata pamong, hal ini dapat diartikan sebagai pergeseran dari “substansi kebijakan” ke “representasi kebijakan” – di mana yang diutamakan adalah bagaimana lembaga itu dilihat oleh publik, bukan apa yang sebenarnya dicapainya dalam bentuk penuntutan yang berhasil dan pemulihan aset negara yang hilang.
Selanjutnya, analisis intelektual dari pakar hukum menunjukkan bahwa fokus yang berlebihan pada publikasi dapat menyebabkan konsekuensi negatif yang mendalam. Pertama, hal itu dapat menyebabkan penyebaran informasi yang tidak akurat atau belum terverifikasi, yang tidak hanya merusak citra pihak yang dituduh sebelum ada putusan pengadilan, tetapi juga melanggar prinsip praduga tak bersalah yang menjadi pijakan dasar hukum pidana. Kedua, fokus pada publikasi dapat membuat KPK lebih cenderung menindaklanjuti kasus yang mudah dipublikasikan (seperti kasus yang melibatkan tokoh publik yang populer) daripada kasus yang lebih kompleks dan sulit tetapi memiliki dampak yang lebih besar. Hal ini berpotensi menciptakan kesan bahwa KPK hanya “mencari sorotan” dan tidak benar-benar berani menghadapi aktor-aktor berkuasa yang sesungguhnya.
Pakar hukum juga menekankan pentingnya membedakan antara “transparansi” dan “publikasi yang berlebihan”. Transparansi adalah prinsip yang tidak dapat dinegosiasikan dalam lembaga penegak hukum, karena itu memungkinkan masyarakat untuk memantau kerja lembaga dan memastikan akuntabilitas. Namun, transparansi tidak berarti bahwa setiap tahap penyidikan harus dipublikasikan secara rinci sebelum ada bukti yang cukup. Dalam beberapa kasus, publikasi yang terlalu dini dapat merusak proses penyidikan, karena dapat membuat tersangka atau saksi cemas dan menghindari pemeriksaan, atau bahkan memungkinkan mereka untuk menghilangkan bukti. Oleh karena itu, pakar hukum menyarankan bahwa KPK harus mengembangkan kebijakan transparansi yang cerdas, yang membedakan antara informasi yang dapat diumumkan dan informasi yang harus dirahasiakan untuk melindungi integritas proses hukum.
Dalam konteks kebijakan publik, pakar hukum juga mengemukakan argumen bahwa fokus pada kasus besar adalah langkah yang tepat untuk mencapai tujuan jangka panjang pemberantasan korupsi. Kasus besar yang dituntut dengan sukses dapat menciptakan “efek deterensi” yang lebih kuat, karena itu menunjukkan bahwa tidak ada orang yang kebal terhadap hukum, bahkan aktor-aktor berkuasa. Selain itu, penuntutan kasus besar juga dapat mengakibatkan pemulihan aset negara yang signifikan, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, KPK harus berperan sebagai “pemulih aset” yang efektif, bukan hanya sebagai “penangkap tersangka” yang populer di media.
Selain itu, pakar hukum juga menekankan pentingnya memperkuat kapasitas KPK dalam menangani kasus besar. Hal ini termasuk meningkatkan kualitas personel penyidik dan jaksa, menyediakan sumber daya yang cukup untuk penyidikan yang kompleks, dan membangun kerja sama yang erat dengan lembaga lain seperti Bank Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan lembaga penegak hukum internasional. Tanpa kapasitas yang memadai, bahkan jika KPK memiliki keinginan untuk fokus pada kasus besar, mereka tidak akan mampu menuntutnya dengan sukses. Dalam hal ini, pemerintah dan DPR memiliki peran penting dalam memastikan bahwa KPK memiliki kebebasan dan sumber daya yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
Tidak dapat disangkal bahwa publikasi memiliki peran penting dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Namun, pakar hukum berpendapat bahwa peran itu harus berada di bawah tujuan utama pemberantasan korupsi. KPK harus menjadi lembaga yang “berhasil” dalam menangani kasus besar, bukan hanya lembaga yang “populer” di media. Dalam konteks demokrasi yang berkembang, masyarakat memiliki hak untuk mengharapkan bahwa lembaga penegak hukum bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan sendiri atau untuk menarik sorotan.
Kesimpulannya, pandangan dari pakar hukum bahwa KPK harus fokus pada kasus besar bukan hanya publikasi adalah wawasan yang mendalam dan relevan dengan tantangan yang dihadapi oleh negara ini dalam melawan korupsi. Fokus pada kasus besar tidak hanya sesuai dengan esensi kewajiban KPK, tetapi juga merupakan langkah yang tepat untuk mencapai tujuan jangka panjang pemberantasan korupsi, meningkatkan integritas tata pamong, dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal ini, KPK harus mengembangkan kebijakan yang cerdas dalam hal transparansi dan publikasi, memperkuat kapasitasnya dalam menangani kasus besar, dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip hukum dan akuntabilitas. Hanya dengan demikian, KPK dapat benar-benar menjadi lembaga yang dipercaya dan efektif dalam melindungi kepentingan publik dan membangun negara yang lebih adil dan makmur.



