Dekonstruksi Matematis Pembuktian Pidana dalam Sistem Hukum Indonesia

Loading

Opini Naratif: Daeng Supriyanto SH MH

Pengacara/ Advokat

Dalam ranah hukum pidana, pembuktian menjelma sebagai fondasi epistemologis yang krusial dalam mengurai kompleksitas perkara. Proses pembuktian, yang seringkali dianggap sebagai wilayah abu-abu yang sarat interpretasi subjektif, sebenarnya merupakan jalinan algoritma logis yang ketat dan dapat diuraikan secara matematis. Artikel ini menawarkan dekonstruksi mendalam terhadap sistem pembuktian Negatief Wettelijk dan Teori Kausalitas Adekuat, yang menjadi pilar dalam sistem hukum pidana Indonesia, melalui lensa persamaan matematika yang cermat.

Sistem Negatief Wettelijk, yang diamanatkan dalam Pasal 183 KUHAP, menggariskan bahwa vonis pidana hanya dapat dijatuhkan apabila hakim, dengan minimal dua alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan yang kokoh bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa adalah pihak yang bertanggung jawab. Hal ini mengisyaratkan bahwa keyakinan hakim tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus berakar pada cara dan alat bukti yang sah sesuai undang-undang. Dalam konteks ini, hakim dituntut untuk menggali kebenaran materiil guna mencapai Conviction Raisonnée, sebuah keyakinan yang rasional dan logis.

Untuk merekonstruksi logika ini secara matematis, kita dapat merumuskan Persamaan Vonis sebagai berikut: V = (B ≥ 2) x (Kh), di mana V adalah output vonis pemidanaan, B adalah jumlah alat bukti sah (minimal dua), dan Kh adalah keyakinan hakim sebagai konstanta validasi. Operator logika konjungsi “DAN” dalam bentuk perkalian menegaskan bahwa kedua syarat (alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim) harus terpenuhi secara kumulatif. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka persamaan bernilai False (0), yang secara sistematis mencegah subjektivitas yang tidak terkendali.

Selain itu, Teori Adekuat dari Von Kries, yang digunakan untuk menguji hubungan sebab-akibat, dapat direkonstruksi sebagai fungsi probabilitas kepatutan: Hubungan Kausal = (Perbuatan x Kepatutan) → Akibat. Rumusan ini mengimplikasikan bahwa hubungan kausal tidak hanya bersifat linear, melainkan juga mempertimbangkan variabel acak tak terduga yang dapat memutus validitas hubungan tersebut sebagai dasar pemidanaan penuh.

Melalui simulasi kasus logis, kita dapat melihat bagaimana variabel-variabel ini berinteraksi dalam menentukan liabilitas terdakwa. Dalam kasus di mana seorang penolong (C) menyebabkan luka parah pada korban (B) akibat kejadian force majeure (longsor), kita dapat menghitung nilai Pertanggungjawaban Total Nilai Kesalahan (Liabilitas) menggunakan rumus: Liabilitas = Unsur Terbukti x (Niat/Kelalaian – Pemaaf). Dalam kasus ini, meskipun unsur perbuatan terpenuhi, keberadaan alasan pemaaf (daya paksa) membuat nilai akhir pertanggungjawaban menjadi negatif atau nol, sehingga terdakwa C tidak memiliki “nilai kesalahan” yang cukup untuk dihukum.

Dalam konteks ini, hakim dihadapkan pada pilihan antara pemidanaan, bebas (Vrijspraak), atau lepas (Onslag van alle rechtsvervolging). Putusan lepas diberikan jika perbuatan terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan tindak pidana karena adanya alasan pembenar atau pemaaf.

Sebagai bagian dari tradisi Civil Law, hakim memiliki kewajiban untuk merumuskan pasal per pasal secara sistematis dan logis berdasarkan aturan tertulis. Hakim harus mampu menganalisis perkara secara sistematis dan logis, menyerupai fungsi Artificial Intelligence dengan rumusan pola pikir yang benar. Namun, yang membedakan hakim manusia dari algoritma AI adalah dimensi humanisnya. Hakim tidak hanya menjalankan rumus, tetapi juga harus memahami tujuan filosofis pembuatan aturan, mempertimbangkan alasan yang menyertai tindak pidana, dan menetapkan tujuan diberlakukannya hukum.

Dengan mengkombinasikan ketelitian logis aritmatika dan kedalaman pemahaman humanis, hakim Civil Law dapat menghasilkan putusan yang tidak hanya legalistik, tetapi juga adil dan sesuai dengan tujuan hukum pidana untuk mencari kebenaran materiil.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Mengurai Simpul Korupsi Perpajakan: Analisis Mendalam atas Penggeledahan dan Pencekalan oleh Jampidsus Kejagung

Kam Nov 27 , 2025
Opini Naratif: Daeng Supri Yanto SH MH Kasus dugaan korupsi yang melibatkan oknum pegawai pajak pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tahun 2016–2020, yang kini tengah diselidiki oleh penyidik Jampidsus Kejagung, membuka tabir kompleksitas permasalahan tata kelola perpajakan di Indonesia. Penggeledahan di sejumlah lokasi dan pencekalan terhadap beberapa individu […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI