![]()

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH
Alumni STIHPADA
Rasionalitas di balik kodifikasi hukum pidana senantiasa bertumpu pada upaya untuk menciptakan sistem yang koheren, adil, dan efisien. Namun, upaya tersebut seringkali terbentur pada kompleksitas inheren dalam konsep-konsep hukum itu sendiri. Salah satu contohnya adalah perdebatan mengenai ajaran dualistis dalam hukum pidana, yang memisahkan secara tegas antara actus reus (perbuatan materiil) dan mens rea (sikap batin).
Dalam konteks KUHP Baru Indonesia, adopsi ajaran dualistis ini ternyata tidak berjalan mulus. Alih-alih menciptakan sistem yang lebih jelas dan konsisten, KUHP Baru justru terjebak dalam serangkaian inkonsistensi yang berpotensi mengganggu praktik peradilan pidana.
Anomali Konseptual dan Implikasi Yuridis
Salah satu anomali utama adalah ketidakmampuan KUHP Baru untuk secara konsisten menghilangkan unsur kesengajaan (dolus) dari rumusan delik. Beberapa pasal masih mencantumkan unsur “dengan sengaja,” sehingga mengaburkan batas antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kesengajaan merupakan elemen yang melekat pada tindak pidana, ataukah ia harus dibuktikan secara terpisah sebagai bagian dari pertanggungjawaban pidana?
Implikasi yuridis dari ketidakjelasan ini sangat signifikan. Pertama, hal ini menciptakan ambiguitas terkait beban pembuktian. Jika kesengajaan dianggap sebagai elemen yang melekat, maka seharusnya jaksa tidak perlu membuktikannya. Namun, jika kesengajaan harus dibuktikan secara terpisah, maka hal ini akan menambah beban kerja jaksa dan berpotensi memperlambat proses peradilan.
Kedua, ketidakjelasan ini dapat mengarah pada pembuktian terbalik, di mana terdakwa harus membuktikan bahwa ia tidak memiliki kesengajaan. Hal ini bertentangan dengan prinsip presumption of innocence (praduga tak bersalah) yang merupakan salah satu pilar utama sistem peradilan pidana yang adil.
Kontradiksi Interpretatif dan Inefisiensi Praktis
Lebih lanjut, KUHP Baru juga mengandung kontradiksi interpretatif yang semakin memperburuk ketidakpastian hukum. Penjelasan Pasal 458 ayat (1), yang menyatakan bahwa hakim tidak perlu membuktikan kesengajaan dalam kasus pembunuhan, bertentangan dengan Pasal 36 ayat (2) yang mewajibkan pembuktian kesengajaan. Kontradiksi ini menimbulkan kebingungan di kalangan praktisi hukum dan berpotensi mengarah pada interpretasi yang berbeda-beda di pengadilan.
Dari segi efisiensi praktis, inkonsistensi ini juga menimbulkan masalah. Hakim dihadapkan pada dilema: apakah kesengajaan harus dipertimbangkan sebagai bagian dari rumusan delik atau sebagai elemen terpisah dalam pertanggungjawaban pidana? Pertimbangan ganda ini berpotensi menimbulkan kerancuan dan inefisiensi dalam proses peradilan.
Urgensi Kajian Mendalam dan Revisi
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan ajaran dualistis dalam KUHP Baru belum mencapai efektivitas dan efisiensi yang diharapkan. Inkonsistensi dalam rumusan delik, beban pembuktian, dan interpretasi pasal menimbulkan ambiguitas hukum dan berpotensi mengganggu praktik peradilan pidana.
Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam dan revisi untuk memastikan koherensi dan konsistensi dalam penerapan ajaran dualistis dalam hukum pidana Indonesia. Kajian ini harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan pembuat kebijakan, untuk menghasilkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Selain itu, perlu juga dipertimbangkan apakah ajaran dualistis itu sendiri masih relevan dalam konteks sistem peradilan pidana kontemporer. Dalam beberapa yurisdiksi, ajaran monistis, yang mengintegrasikan actus reus dan mens rea dalam satu rumusan delik, dianggap lebih praktis dan efisien.
Pada akhirnya, tujuan utama dari reformasi hukum pidana adalah untuk menciptakan sistem yang adil, efisien, dan dapat dipercaya. Untuk mencapai tujuan ini, kita harus berani mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dan mengeksplorasi alternatif-alternatif yang lebih baik. Hanya dengan cara inilah kita dapat membangun sistem peradilan pidana yang benar-benar mampu melindungi hak-hak individu dan menjaga ketertiban sosial.




