“Cermin Hukum yang Kompleks: Putusan ‘Niet Ontvankelijk’ dan Wacana Keadilan Bagi Amrina Rachmi Warham”

Loading

Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH CMS.P

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perkumpulan Profesi Pengacara Indonesia (Propindo)

Dalam peta tatanan hukum yang kompleks dan dinamis, kasus yang melibatkan Amrina Rachmi Warham dan Kejaksaan Negeri Jeneponto menjadi cermin yang penting untuk memahami interaksi antara kekuasaan penegakan hukum, keadilan, dan hak-hak individu. Saat Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jeneponto, Akhmad Heru Prasetyo, memberikan tanggapan terhadap putusan praperadilan Pengadilan Negeri Makassar yang menyatakan permohonan ganti rugi dan rehabilitasi Amrina tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), kita dituntut untuk melihat fenomena ini melalui lensa yang kritis dan intelektual, mempertimbangkan berbagai aspek hukum, etis, dan sosial yang terlibat.

Pertama-tama, kita harus memahami makna intrinsik dari putusan “niet ontvankelijk verklaard” yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Makassar. Sebagai istilah hukum yang berasal dari tradisi hukum Belanda, putusan ini menunjukkan bahwa ada cacat formil atau kesalahan prosedural dalam gugatan yang diajukan Amrina, sehingga pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkaranya. Dalam konteks sistem hukum Indonesia yang menganut prinsip yurisdiksi relatif, hal ini berarti bahwa Pengadilan Negeri Makassar menilai dirinya tidak memiliki wewenang untuk menangani perselisihan hukum antara Amrina dan Kejari Jeneponto. Kajari Akhmad Heru Prasetyo yang menekankan pentingnya menghormati putusan hakim sebagai bagian dari independensi kekuasaan kehakiman adalah sikap yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Namun, kita juga tidak boleh mengabaikan implikasi yang lebih luas dari putusan ini terhadap keadilan bagi Amrina, yang telah mengalami penderitaan selama 10 bulan di penjara sebelum akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung.

Kedua, kita harus mempertimbangkan proses hukum yang telah dilalui Amrina dari awal hingga akhir. Kasus ini berawal ketika Kejari Jeneponto memeriksa distributor pupuk, pengecer, serta pejabat Dinas Pertanian Jeneponto dan Provinsi tahun 2022 terkait dugaan korupsi pupuk subsidi 2021. Dari sejumlah saksi yang diperiksa, hanya Amrina yang ditetapkan sebagai tersangka dan dijebloskan ke penjara. Setelah menjalani hukuman penjara selama 10 bulan, Amrina akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Tipikor Makassar pada Februari 2025, dan putusan ini kemudian dikonfirmasi oleh Mahkamah Agung pada September 2025. Proses hukum yang panjang dan melelahkan ini tidak hanya menyebabkan kerugian materi bagi Amrina, yang kehilangan pekerjaannya, tetapi juga memberikan dampak psikologis yang besar bagi dirinya dan keluarganya. Anak-anak Amrina bahkan mengalami bullying di sekolah, dan suaminya juga ikut stres akibat kasus ini. Dalam konteks ini, upaya Amrina untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan rehabilitasi adalah upaya yang wajar untuk mendapatkan keadilan dan memulihkan nama baiknya yang telah tercoreng.

Ketiga, kita harus mempertimbangkan pernyataan Kajari Akhmad Heru Prasetyo yang menyatakan bahwa seluruh tahapan dan langkah hukum yang dilakukan Kejari Jeneponto sudah dilaksanakan sesuai koridor hukum dan dengan profesionalisme. Meskipun hal ini mungkin benar dari sisi prosedural, kita juga harus mempertimbangkan apakah tindakan Kejari Jeneponto telah sepenuhnya objektif dan adil dalam menetapkan Amrina sebagai tersangka dan menjebloskannya ke penjara. Dalam kasus di mana hanya satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka dari sejumlah saksi yang diperiksa, ada kemungkinan bahwa ada faktor-faktor lain yang memengaruhi keputusan tersebut, seperti tekanan politik atau ketidaktahuan terhadap bukti-bukti yang ada. Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan apakah Kejari Jeneponto telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Amrina untuk membela dirinya selama proses penyelidikan dan persidangan.

Keempat, kita harus mempertimbangkan signifikansi dari “dissenting opinion” atau pendapat berbeda yang diungkapkan oleh salah satu anggota majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung dalam putusan terkait kasus Amrina. Pendapat ini menyatakan bahwa Amrina telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dakwaan dan tuntutan penuntut umum. Meskipun dissenting opinion tidak memiliki kekuatan hukum mengikat seperti putusan mayoritas, ia menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan di antara hakim mengenai kasus ini. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kejelasan dan konsistensi dalam penerapan hukum di Indonesia, serta apakah ada faktor-faktor lain yang memengaruhi keputusan hakim. Dalam konteks ini, Kajari Akhmad Heru Prasetyo yang mengungkapkan adanya dissenting opinion adalah sikap yang jujur dan transparan, namun kita juga harus mempertimbangkan apakah pendapat ini seharusnya menjadi pertimbangan dalam menilai tindakan Kejari Jeneponto.

Kelima, kita harus mempertimbangkan implikasi yang lebih luas dari kasus ini terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum di Indonesia. Kasus di mana seseorang yang akhirnya dinyatakan tidak bersalah harus mengalami penderitaan di penjara selama waktu yang lama dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan lembaga penegakan hukum untuk melakukan tugasnya dengan benar dan adil. Dalam konteks ini, upaya Amrina untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan rehabilitasi adalah upaya yang penting untuk menuntut akuntabilitas dari lembaga penegakan hukum dan memastikan bahwa hal yang sama tidak akan terjadi lagi pada orang lain. Selain itu, kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kebutuhan akan reformasi di sektor keadilan, termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di lembaga penegakan hukum, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum, serta perlindungan yang lebih baik bagi hak-hak individu.

Sebagai kesimpulan, kasus Amrina Rachmi Warham dan tanggapan Kajari Jeneponto Akhmad Heru Prasetyo terhadap putusan praperadilan Pengadilan Negeri Makassar adalah masalah yang kompleks dan membutuhkan pertimbangan yang cermat dari berbagai aspek hukum, etis, dan sosial. Meskipun putusan hukum yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Makassar harus dihormati sebagai bagian dari independensi kekuasaan kehakiman, kita juga tidak boleh mengabaikan implikasi yang lebih luas dari kasus ini terhadap keadilan bagi Amrina dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum di Indonesia. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak yang terlibat untuk mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menuntut akuntabilitas, memastikan perlindungan hak-hak individu, dan meningkatkan kualitas keadilan di Indonesia. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, makmur, dan damai.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

"Melintasi Batasan Ketidakpastian: Fenomena OTT Maraton KPK dan Wacana Keadilan yang Menggelora"

Ming Des 21 , 2025
Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH CMS.P Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Di penghujung tahun 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menorehkan cap sejarah yang tidak terabaikan melalui pelaksanaan tiga operasi tangkap tangan (OTT) secara berturut-turut dalam waktu kurang dari 24 jam, mencakup wilayah […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI