Oleh : Daeng Supriyanto
Kemerdekaan adalah hak segala individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara bahkan peradaban manusia. Penjajahan di dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan, perikeadilan dan nilai-nilai kemuliaan manusia.
Kemerdekaan Indonesia adalah rahmat dan nikmat Allah swt atas perjuangan dan pengorbanan harta, darah dan nyawa para pejuang dan seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan Indonesia sebagai nikmat dari Allah swt harus disyukuri dengan menyadari secara mendalam bahwa kemerdekaan ini adalah karunia yang sangat mulia dari Allah swt, yang merupakan amanah untuk dimanfaatkan dan digunakan untuk meraih kembali kedaulatan negara, kehormatan, keadilan, kesejahteraan dan kemuliaan sebagai manusia dan hamba Allah.
Kemerdekaan merupakan salah satu karunia besar dari Allah subhaanahu wa ta’aala kepada hamba-Nya. Ia merupakan ni’mat utama sesudah ni’mat keimanan. Sebagaimana ni’mat-ni’mat lainnya Allah subhaanahu wa ta’aala memerintahkan kita untuk mensyukurinya.
Sebab mensyukuri ni’mat akan menghasilkan pelipatgandaan terhadap nikmat-Nya. Sedangkan kufur ni’mat akan menyebabkan ni’mat itu berubah menjadi sumber bencana bahkan azab dari Allah Swt.
Sedangkan Definisi kemerdekaan dalam bahasa Arab yaitu al-istiqlal sehingga hari kemerdekaan disebut ied al-istiqlal.
Sedangkan menurut KBBI, kemerdekaan sendiri bermakna keadaan berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya) atau kebebasan. Padanan kata bebas ini dalam bahasa Arab disebut juga al-hurr, dengan bentuk verbanya kebebasan adalah al-hurriyah.
Ibnu ‘Asyur dalam karyanya “Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah”, memaknai al-Hurriyah dengan dua makna yaitu yang pertama, kemerdekaan bermakna lawan kata dari perbudakan. Kedua, makna metaforis dari makna pertama, yaitu kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dan urusannya sesuka hatinya tanpa ada tekanan.
Menurut Ibn Asyur, ada beberapa aspek kemerdekaan dan kebebasan yang dikehendaki syariat Islam. Di antaranya, kebebasan untuk berkeyakinan (hurriyyah al-i’tiqad), kebebasan berpendapat dan bersuara (hurriyyah al-aqwal), termasuk di dalamnya kebebasan untuk belajar, mengajar, dan berkarya (hurriyyah al-‘ilmi wa al-ta’lim wa al-ta’lif), lalu kebebasan bekerja dan berwirausaha (hurriyyah al-a’mal).
Adapun Alquran tidak secara tersurat menyebutkan kata kemerdekaan, namun secara tersirat setidaknya ada beberapa ayat yang berbicara tentang kemerdekaan.
Pertama, makna kemerdekaan pada kisah perjalanan spritual Nabi Ibrahim alaihissalam dalam mencari Tuhan (QS al-An’am ayat 76-79).
Perjalanan spiritual tersebut merupakan upaya Nabi Ibrahim untuk membebaskan hidupnya dari keyakinan yang diyakininya keliru, yaitu keyakinan nenek moyangnya menyembah berhala.
Kedua, makna kemerdekaan pada kisah Nabi Musa alaihissam ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Fir’aun (QS al-Baqarah: 49, al-A’raf: 127, dan Ibrahim: 6). Fir’aun dikenal sebagai raja yang kejam, ditakuti, dan zalim terhadap Bani Israil. Kemudian Nabi Musa diutus Allah SWT untuk menghentikan kekejaman Fir’aun dan membebaskan bangsanya dari penindasan sehingga dapat meraih kemerdekaan.
Ketiga, makna kemerdekaan dari kisah keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam mengemban misi kenabian di muka bumi (QS. Al-Maidah: 3). Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyyah yang mengalami tiga penjajahan sekaligus yaitu disorientasi hidup (QS Luqman: 13), penindasan ekonomi (QS Al-Humazah: 1-4), dan kezaliman sosial (QS Al-Hujurat: 13).
Pada saat haji wada, Rasulullah SAW juga menyampaikan pesan kemerdekaan dalam khutbahnya, yang berbunyi:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ إِلَى أَنْ تَلْقَوْا رَبَّكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هذَا فِيْ بِلَدِكُمْ هذَا …
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya darah dan hartamu haram bagimu satu dengan yang lain kecuali dengan jalan yang sah, sampai kamu sekalian berjumpa dengan Allah, sebagaimana keharaman atasmu pada harimu ini, pada bulanmu ini, dan di negerimu ini…” (HR Bukhari)
Pesan Rasulullah SAW menjadi landasan penguat atas penjabaran Ibnu ‘Asyur terkait kemerdekaan bahwa merdeka adalah bebas dari tekanan pihak lain, sehingga terjamin keamanan dan ketenteraman bagi diri maupun harta. (Shafira Amalia, ed: Nashih)
Tugas utama sebagai rakyat indonesia khususnya umat Islam yang mayoritas di negeri tercinta ini adalah bagaimana menjaga, mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan, kedaulatan dan kehormatan bangsa untuk berdiri setara bahkan terdepan dengan bangsa-bangsa lain.
Begitupula bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin semua potensi yang dimiliki untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan berperadaban.
Adalah suatu ironi sebagai bangsa yang berjuang berabad-abad mengusir para penjajah seperti; Belanda, Inggris, Portugis, dan Jepang dengan semangat takbir Allahu Akbar, lalu saat meraih kemerdekaan justru membesarkan paham kesyirikan, materialisme, kapitalisme, sekulerisme, individulisme, hedonisme, serta pergaulan bebas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masihkah kita perlu heran mengapa setelah hidup di alam kemerdekaan berpuluh tahun justru kita sebagai bangsa semakin terpuruk? Ketidakadilan, dominasi kekayaan alam oleh negara lain, jeratan hutang (riba), gempuran tenaga kerja asing, kemiskinan, pengangguran, tingkat kriminal, ketimpangan sosial, maksiat, kerusakan moral, kebodohan dan lain-lain adalah fenomena yang hidup yang masih kita rasakan sampai sekarang ini.
Bukankah apa yang sedang kita alami sekarang hanyalah sebuah bukti kebenaran dan peringatan Allah swt ”… dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Mengingkari ni’mat maknanya di sini adalah tidak memanfaatkan ni’mat kemerdekaan di jalan Allah swt, artinya menjauhkan nilai-nilai ilahiyah sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Seorang manusia, menurut pandangan syariah, barulah akan disebut merdeka bilamana ia sadar dan berusaha keras memposisikan dirinya selaku hamba Allah swt saja dalam segenap dimensi dirinya, baik penciptaan, penghambaan, kecintaan, perasaan maupun perilaku.
Dan ia divonis tidak merdeka atau belum merdeka bilamana ia masih menghambakan dirinya kepada selain Allah swt. Atau dengan kata lain, kemerdekaan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan pada seberapa besar upaya individu atau bangsa tersebut menjadikan kalimat tauhid laa ilaaha illallah sebagai motivator dan inspirator utama pembebasan diri atau bangsa dari dominasi apapun atau siapapun selain Allah swt.
Dan pada dasarnya inilah yang telah di da’wahkan oleh Rasulullah saw dan segenap nabi dan rasul lainnya sejak dahulu kala, sebagaimana firman Allah swt yang artinya: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut (sembahan selain Allah) itu” (QS An-Nahl :36).
Suatu masyarakat atau negara bahkan individu tidak akan merdeka jika mereka tunduk kepada godaan syetan, nafsu dan cinta dunia. Mengapa? Pertama, nafsu akan membawa manusia kapada dosa-dosa dan kedzaliman.
Bila ke kedzaliman terus berlangsung Allah swt. akan mencabut keberkahan. Bila keberkahan tidak ada, maka penderitaan akan terus menimpa penghuni sebuah negeri. Kedua, nafsu akan menyeret manusia kepada kerakusan dan kesombongan. Kerakusan dan kesombongan melahirkan kekejaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak sedikit pelecehan dan pembantaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan terjadi hanya karena karakusan terhadap harta dan kekuasaan. Ketiga nafsu membuat manusia akan memiliki sifat-sifat seperti binatang.
Bila manusia lebih didominasi oleh sifat kebinatangannya ia akan lebih kejam dan lebih berbahaya dari binatang, sebagaimana firman Allah swt: ..“ulaaika kal an’aam balhum adhal.” Keempat, cinta dunia akan mematikan hati nurani sehingga hati menjadi keras karena mengagungkan dan diperbudak oleh dunia.
Sebab dengan mengagungkan dan diperbudak oleh dunia, ia akan lupa kepada amalan untuk bekal akhirat sebagaimana firman Allah swt yang artinya: ..“bal tu’tsiruunal hayaatad dunyaa wal aakhiratu khairuw wa abqaa.”
Kemerdekaan yang hakiki juga bermakna memberi kebebasan dan kelapangan hati, pikiran, dan perbuatan manusia untuk menyampaikan pendapat dan berkreasi dalam amal perbuatan secara terbuka tanpa ada rasa kahwatir, takut dan tertekan. Firman Allah swt yang artinya:
“Bebuatlah kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan Orang-orang beriman akan melihat perbuatanmu.” (QS. At Taubah [9]: 105).
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (untuk memilihnya). Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad [90]: 10-11).
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah [2]: 256).
Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.” (QS. Al Kahfi [18]: 29).
Selain itu, setiap orang dipersilahkan untuk menjalankan syariat agamanya. Kewajiban seorang muslim hanyalah menyampaikan kebenaran dengan cara yang arif dan bijaksana. Allah s.w.t. berfirman yang artinya “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kaafiruun [109]: 6).
Nabi Muhammad s.a.w. bahkan dinasehati Allah s.w.t. untuk tidak memaksa orang kafir beriman, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?.” (QS. Yunus [10]: 99)
Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu memerdekaan rakyat dan bangsanya dari ketergantungan ekonomi dan politik dari bangsa-bangsa lain serta mampu membangun kemandirian ekonomi dalam mengelola sumber ekonomi negaranya untuk menggapai kehidupan yang mandiri, adil dan sejahtera serta bermartabat.
Begitupula masyarakat mudah untuk memperoleh akses penghidupan yang layak, pekerjaan, informasi, pendidikan, kesehatan, perlindungan, lapangan usaha dan jaminan sosial serta bebas menjalankan syariat agama masing-masing.
Kemerdekaan membutuhkan kepastian hidup yang mensejahterakan dengan alokasi sumber-sumber sosial dan ekonomi yang adil sehingga membuka tabir dan sekat-sekat sosial ekonomi masyarakat untuk hidup secara harmonis dan saling menghormati.
Selain itu bangsa yang merdeka adalah masyarkat yang merasakan adanya kepastian hukum yang tegas dan adil kepada semua pihak, dimana hukum menjadi payung dan panglima dalam berbangsa dan bernegara tanpa ada sedikitpun diskriminasi untuk semua rakyat dalam kaca mata hukum apapun latar belakangnya.
Akhirnya kemerdekaan yang telah diraih dengan pengorbanan pikiran, tenaga, harta, air mata dan nyawa pejuang-pejuang bangsa terdahulu kita dapat menjaga, mempertahankan, memperjuangkan, dan mengisi kemerdekaan dengan memaksimalkan seluruh potensi alam, sumber daya manusia, dan nilai-nilai juang bangsa Indonesia.
Olehnya itu diharapkan semangat, dan kebersamaan sebagai bangsa yang besar untuk bangkit melawan belenggu ketertinggalan untuk mencapai kehidupan bangsa yang mandiri, adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah swt yaitu terwujudnya Negara dan bangsa yang baldatun tayyibatun warabbun ghafuur. Wallahu ‘alam