![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH
Alumni santri pondok sufi
Dalam kerangka pemikiran yang mendalam, kita tidak dapat memisahkan konsep kecemerlangan intelektual dari kesadaran akan akhir hidup yang tak terhindarkan. Seorang yang sesungguhnya cerdas – bukan hanya yang memiliki pengetahuan akademis atau keahlian teknis semata – adalah mereka yang mampu menempatkan keberadaan dirinya dalam konteks makro kosmik, di mana kematian bukanlah akhir dari semua hal, melainkan titik peralihan yang menentukan nasib abadi. Intelektualitas yang sesungguhnya tidaklah lengkap tanpa kesadaran bahwa setiap detik yang kita lewati adalah bagian dari hitungan mundur menuju pertemuan dengan Sang Pencipta, dan oleh karena itu, setiap tindakan, pikiran, dan perkataan harus diarahkan pada nilai-nilai yang akan bertahan melewati batas kehidupan fana ini.
Seperti yang tercatat dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya kamu akan mati, dan mereka juga akan mati” (QS. Az-Zumar: 30). Ayat ini bukanlah pesan yang menyedihkan atau merendahkan, melainkan pemberitahuan yang penuh dengan kebijaksanaan yang harus dipahami oleh setiap orang yang memiliki akal sehat. Seorang yang cerdas akan memahami bahwa kematian adalah hukum alam yang mutlak, tidak ada seorang pun yang dapat melarikan diri darinya – tidak peduli seberapa cerdas, kaya, atau berkuasa dia. Oleh karena itu, kesadaran akan kematian menjadi landasan bagi setiap keputusan yang dibuat, karena ia membuat seseorang menyadari bahwa apa yang terpenting bukanlah apa yang didapat di dunia ini, melainkan apa yang akan dibawa ke akhirat.
Selain itu, Allah berfirman: “Maka berilah peringatan kepada mereka (dengan Al-Quran), sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang yang bertakwa. Yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, mereka tidak akan takut kehilangan apa-apa dan tidak akan merisaukan diri” (QS. Az-Zumar: 8-9). Di sinilah kita melihat hubungan yang erat antara kesadaran kematian (yang merupakan inti dari peringatan) dan kecemerlangan intelektual. Seorang yang cerdas akan menerima peringatan ini dengan hati yang terbuka, karena ia menyadari bahwa tanpa peringatan tersebut, akalnya akan terjebak dalam kebodohan duniawi yang membuatnya lupa tujuan sejati kehidupannya. Peringatan tentang kematian adalah alat yang melatih akal untuk berpikir lebih dalam, lebih mendalam, dan lebih bertanggung jawab.
Hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memperkuat pentingnya mengingat kematian sebagai tanda kecemerlangan intelektual. Nabi bersabda: “Barangsiapa mengingat kematian empat puluh kali sehari, niscaya akan keluar dari semua kesesatan” (HR. At-Tabrani dan Al-Hakim, shahih menurut syarat Al-Hakim). Hadis ini menunjukkan bahwa mengingat kematian secara teratur bukanlah tindakan yang menyedihkan, melainkan tindakan yang menyelamatkan akal dari kesesatan. Seorang yang cerdas akan mengatur waktunya untuk sering mengingat kematian, karena ia menyadari bahwa hal ini akan membersihkan pikirannya dari hasrat yang sia-sia, keinginan yang berlebihan, dan keinginan untuk mengejar apa yang tidak abadi.
Dalam pemikiran intelektual, kesadaran akan kematian juga membentuk cara seseorang melihat dunia. Seorang yang cerdas dan selalu mengingat kematian akan melihat setiap ujian, kesulitan, dan kesenangan dunia ini sebagai bagian dari proses persiapan menuju akhir hidup. Ia tidak akan terlalu tergesa-gesa mengejar kesenangan duniawi, karena ia menyadari bahwa kesenangan itu hanyalah sementara. Sebaliknya, ia akan fokus pada pengembangan diri secara spiritual, penguatan iman, dan pengerjaan amal shaleh yang akan memberikan manfaat abadi. Seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran: “Mereka berbicara tentang kebaikan di dunia, tetapi mereka lupa akan akhiratnya” (QS. An-Nur: 37). Orang yang lupa akan kematian, meskipun terlihat cerdas di mata dunia, sebenarnya adalah orang yang bodoh dalam konteks yang sesungguhnya, karena ia mengorbankan kebahagiaan abadi untuk kebahagiaan yang sementara.
Kesadaran akan kematian juga membuat seseorang menjadi lebih bijak dalam berinteraksi dengan orang lain. Seorang yang cerdas dan selalu mengingat kematian akan menghargai setiap orang, karena ia menyadari bahwa kehidupan seseorang adalah singkat dan tidak dapat diprediksi. Ia akan menghindari perkelahian, permusuhan, dan kebencian, karena ia menyadari bahwa hal ini tidak akan memberikan manfaat apapun di akhirat. Sebaliknya, ia akan berusaha untuk menyebarkan kebaikan, kasih sayang, dan keadilan, karena ia menyadari bahwa ini adalah hal yang akan diperhitungkan di hadapan Allah. Seperti yang berfirman Allah: “Dan hendaklah kamu saling menyapa dengan salam yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Pengawas atas segala sesuatu” (QS. An-Nisa’: 86). Ayat ini mengajarkan kita untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang baik, dan kesadaran akan kematian akan membuat kita lebih tekun dalam melakukannya.
Selain itu, kesadaran akan kematian membuat seseorang menjadi lebih hemat waktu. Seorang yang cerdas dan selalu mengingat kematian akan menyadari bahwa waktu adalah harta yang berharga dan tidak dapat dipulihkan. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna, seperti mengobrol sembarangan, menonton acara yang tidak bermanfaat, atau mengejar hasrat yang sia-sia. Sebaliknya, ia akan menggunakan waktu untuk mempelajari Al-Quran, mengingat Allah, mengerjakan amal shaleh, dan mengembangkan keahlian yang bermanfaat untuk diri dan orang lain. Seperti yang dinyatakan dalam Hadis Nabi: “Tiga hal yang akan disenangi seseorang ketika dia mati: amal shaleh yang terus-menerus, anak yang sholeh yang berdoa untuknya, dan ilmu yang bermanfaat yang terus digunakan” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa apa yang kita kerjakan di dunia ini akan terus memberikan manfaat bahkan setelah kita mati, dan seorang yang cerdas akan memanfaatkan waktu untuk membuat hal-hal yang akan bertahan abadi.
Dalam konteks pemikiran intelektual yang lebih luas, kesadaran akan kematian juga merupakan dasar bagi pengembangan etika dan moral. Seorang yang cerdas dan selalu mengingat kematian akan memiliki pedoman etis yang jelas, karena ia menyadari bahwa setiap tindakannya akan diperiksa di akhirat. Ia akan menghindari melakukan kejahatan, kecurangan, dan ketidakadilan, karena ia menyadari bahwa hal ini akan membawa azab di akhirat. Sebaliknya, ia akan berusaha untuk melakukan kebaikan, keadilan, dan kebenaran, karena ia menyadari bahwa ini adalah hal yang akan membawa pahala. Seperti yang berfirman Allah: “Sesungguhnya orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, mereka adalah penghuni surga, mereka akan tinggal di sana selama-lamanya” (QS. Al-Baqarah: 82). Ayat ini memberikan janji pahala bagi mereka yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan kesadaran akan kematian akan membuat kita lebih tekun dalam mencapai tujuan itu.
Kesimpulannya, seorang yang sesungguhnya cerdas adalah mereka yang selalu mengingat kematian. Kesadaran akan kematian bukanlah tindakan yang menyedihkan atau merendahkan, melainkan tindakan yang penuh dengan kebijaksanaan dan intelektualitas. Ia menjadi landasan bagi setiap keputusan yang dibuat, membentuk cara seseorang melihat dunia, membuat seseorang menjadi lebih bijak dalam berinteraksi dengan orang lain, lebih hemat waktu, dan memiliki pedoman etis yang jelas. Al-Quran dan Hadis telah memberikan banyak petunjuk tentang pentingnya mengingat kematian, dan seorang yang cerdas akan menerima petunjuk-petunjuk ini dengan hati yang terbuka dan mengaplikasikannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian, ia akan mampu mencapai kebahagiaan abadi di akhirat dan menjadi contoh bagi orang lain dalam menjalani kehidupan yang bermakna dan berharga.




