“Negara Indonesia Raya: Mimpi Persatuan yang Hampir Terwujud Antara Indonesia dan Malaysia 8 Dekade Lalu”

Loading

Opini Daeng Supriyanto SH MH

Pemerhati Geopolitik Global

Kenyataan bahwa Indonesia dan Malaysia nyaris bersatu di bawah naungan Negara Indonesia Raya (NIR) pada 8 dekade lalu merupakan babak sejarah yang tersembunyi namun memiliki makna intelektual yang mendalam dalam ranah studi politik, sejarah regional, dan pembentukan identitas bangsa. Meskipun rencana itu akhirnya kandas – meskipun telah ada tanda-tanda dukungan dari warga Malaysia yang mengibarkan bendera Merah Putih – cerita ini tidak hanya menjadi catatan masa lalu, tetapi juga sebagai cerminan dari dinamika kekuasaan, aspirasi nasional, dan realitas geopolitik yang membentuk lanskap Asia Tenggara pada masa peralihan kemerdekaan.

Awal kisah yang bermula pada 12 Agustus 1945, ketika tiga tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) – Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat – dipanggil ke Dalat, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Terauchi, pemimpin militer Jepang di Asia Tenggara, merupakan titik awal yang krusial dalam memahami konteks rencana NIR. Janji kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945 yang diberikan Terauchi tidak hanya merupakan respons terhadap tekanan global pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, tetapi juga sebagai upaya untuk membentuk tatanan politik baru di wilayah yang sebelumnya dikuasainya. Dari perspektif teori sejarah peralihan, momen ini menandai pergeseran kekuasaan dari kolonialisme Eropa dan imperialisme Jepang menuju upaya pembentukan negara-negara bangsa di Asia Tenggara – dan rencana NIR merupakan salah satu wujud dari aspirasi persatuan yang muncul dalam konteks tersebut.

Konsep Negara Indonesia Raya itu sendiri muncul dari paham bahwa wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai Hindia Belanda, Melayu, dan sebagian wilayah lain di Asia Tenggara memiliki ikatan sejarah, budaya, dan geografis yang kuat. Dalam kerangka teori pembentukan negara bangsa, aspirasi ini mencerminkan upaya untuk menciptakan identitas nasional yang lebih luas, melampaui batas-batas kolonial yang dibentuk oleh kekuasaan Eropa. Bagi para pendukungnya, NIR bukan hanya sekadar gabungan teritorial, tetapi juga sebagai wujud dari persatuan bangsa yang telah lama terpisah oleh kolonialisme. Tanda dukungan yang muncul dari warga Malaysia yang mengibarkan bendera Merah Putih menjadi bukti bahwa aspirasi ini tidak hanya ada di kalangan elit Indonesia, tetapi juga menemukan respon di kalangan masyarakat di wilayah yang diincar untuk disatukan.

Namun, dinamika geopolitik dan kekuasaan yang kompleks pada masa itu akhirnya menjadi hambatan yang tak terlewati bagi rencana NIR. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 – yang terjadwal lebih awal dari janji Terauchi – Indonesia harus menghadapi tantangan besar dalam menegakkan kedaulatannya, termasuk serangan dari Belanda yang berusaha memulihkan kekuasaan kolonialnya. Dalam konteks ini, upaya untuk menyatukan dengan Malaysia menjadi kurang prioritas dibandingkan pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan sendiri. Selain itu, terdapat juga dinamika internal di wilayah Melayu, yang pada masa itu juga sedang mengalami proses pencarian identitas nasional sendiri dan menghadapi tekanan dari kekuasaan Inggris yang masih menguasai wilayah tersebut. Dari perspektif teori realisme politik internasional, kepentingan nasional yang segera dan tekanan dari kekuasaan luar menjadi faktor penentu yang membuat rencana persatuan tersebut kandas.

Selain itu, perbedaan dalam konteks sejarah kolonial dan pengalaman masyarakat juga memainkan peran penting dalam kegagalan rencana NIR. Indonesia telah mengalami lebih dari 3,5 abad kolonialisme Belanda, yang membentuk identitas nasional yang berpusat pada perlawanan terhadap kekuasaan asing dan gagasan “Indonesia” sebagai entitas yang terpadu. Sementara itu, wilayah Melayu telah mengalami penguasaan yang bergantian dari Portugis, Belanda, dan Inggris, yang membentuk identitas yang lebih beragam dan terhubung dengan dunia Melayu yang lebih luas. Dalam kerangka teori antropologi politik, perbedaan ini dalam pengalaman kolonial dan pembentukan identitas menjadi hambatan dalam menciptakan ikatan emosional dan politik yang kuat untuk mendukung persatuan. Meskipun ada ikatan budaya dan bahasa yang sama, perbedaan dalam konteks sejarah dan aspirasi nasional akhirnya lebih kuat.

Meskipun rencana NIR kandas, cerita ini tetap memiliki makna intelektual yang abadi dalam studi sejarah dan politik Asia Tenggara. Ia menunjukkan bahwa aspirasi persatuan regional bukanlah hal baru, dan telah ada upaya untuk menciptakan tatanan politik yang lebih luas jauh sebelum berdirinya organisasi seperti ASEAN. Selain itu, cerita ini juga menjadi pengingat tentang kompleksitas pembentukan negara bangsa dan bagaimana faktor sejarah, geopolitik, dan identitas dapat membentuk nasib sebuah bangsa. Bagi Indonesia dan Malaysia hari ini, cerita NIR menjadi bagian dari warisan sejarah yang bersama, yang meskipun tidak terwujud, tetap memengaruhi hubungan antara kedua negara dan persepsi mereka terhadap diri sendiri serta wilayah.

Dalam konteks hubungan bilateral saat ini, ingatan tentang rencana NIR dapat dilihat sebagai elemen yang memperkaya pemahaman saling antara Indonesia dan Malaysia. Meskipun kedua negara telah membentuk identitas nasional yang terpisah dan memiliki kepentingan yang berbeda, mereka tetap terhubung melalui ikatan sejarah, budaya, dan geografis yang kuat. Dari perspektif teori kerja sama regional, cerita ini dapat menjadi dorongan untuk memperkuat kerja sama antara kedua negara dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, keamanan, dan budaya, dengan mengakui warisan sejarah yang bersama dan aspirasi untuk masa depan yang lebih baik.

Dalam kesimpulan, cerita tentang rencana Negara Indonesia Raya yang hampir menyatukan Indonesia dan Malaysia 8 dekade lalu merupakan babak sejarah yang tersembunyi namun memiliki makna intelektual yang mendalam. Ia mencerminkan aspirasi persatuan yang muncul dalam konteks peralihan kemerdekaan, serta tantangan yang ditimbulkan oleh dinamika geopolitik, perbedaan identitas, dan kepentingan nasional. Meskipun rencana itu kandas, ia tetap menjadi bagian dari warisan sejarah yang bersama kedua negara dan memberikan wawasan berharga tentang bagaimana masa lalu dapat memengaruhi masa depan. Sebagai demikian, memahami cerita ini tidak hanya penting untuk studi sejarah, tetapi juga untuk membangun hubungan bilateral yang lebih kuat dan pemahaman yang lebih dalam tentang identitas bangsa di Asia Tenggara.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Kesadaran Terhadap Kematian Sebagai Intelijen yang Sesungguhnya

Ming Des 28 , 2025
Opini: Daeng Supriyanto SH MH Alumni santri pondok sufi Dalam kerangka pemikiran yang mendalam, kita tidak dapat memisahkan konsep kecemerlangan intelektual dari kesadaran akan akhir hidup yang tak terhindarkan. Seorang yang sesungguhnya cerdas – bukan hanya yang memiliki pengetahuan akademis atau keahlian teknis semata – adalah mereka yang mampu menempatkan […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI